Strategi Bocah-Bocah Karangduwur (Part 7)

Bermain Tulup

“Bagiamana ceritanya bisa hilang? Makanya kalau pinjam punya orang yang hati-hati. Kalau kayak gini Mbah, kan, jadi bingung. Mau buat api tapi enggak ada koreknya.” Panjang lebar Mbah Biyah mengomel.

Sekar, Ais, Yono, Yudi, dan Evan menunduk tak berani menatap Mbah Biyah. Mereka berdiri berbaris di belakang rumah Mbah Biyah.

“Yudi! Kamu yang pinjem tadi, kan? Ditaruh di mana emangnya?”

“Bukan Yudi, Mbah. Tapi, Yono.” Yudi menoleh ke arah Yono yang berada di sebelah kirinya.

“Iya, terserah Yudi atau Yono. Coba diinget-inget lagi, di mana terakhir makainya?”

“Evan yang bikin api, Mbah.” Yono mendongakkan wajahnya.

“Tapi, tadi kukasih Sekar, Mbah.” Evan membela diri.

“Kapan? Enggak, kok. Kan aku sibuk nggoreng, mana sempat pegang-pegang korek.”

“Lah, kok, malah salah-salahan. Ya, udah sana pada pulang. Lain kali enggak usah minjem-minjem. Jadi harus beli lagi, kan, ini.”

“Ngapunten, nggih, Mbah,” ucap mereka serentak lalu berbalik.

“Eh, tungu-tunggu!” cegah Mbah Biyah. “Kalian mau gorengan, enggak?” lanjutnya.

“Mau, Mbah!”

Mbah Biyah masuk ke rumah. Beberapa saat kemudian, keluar lagi dengan membawa senampan kecil gorengan yang sudah berwarna coklat kehitaman.

“Ambil, ambil.”

“Ada bumbu pecelnya, enggak, Mbah?” tanya Evan.

“Enggak ada. Hari Minggu Mbah enggak bikin pecel. Ini juga gorengan sisa kemarin.”

matur suwun,  Mbah.”

Sesuai rencana sebelumnya, Sekar dan teman-teman mencari bambu kecil untuk membuat tulup. Mereka memasuki kebun dan menuju ke area pesawahan.

Evan yang membawa gergaji bertugas menebang bambunya. Sementara Yono dan Yudi yang mengumpulkan.

“Ih, banyak banget, sih, nyamuknya!” keluh Ais sambil menggaruk-garuk lengannya.

Sekar juga menepuk-nepukan kedua telapak tangannya berusaha menangkap nyamuk. Tapi, tak ada satu pun yang berhasil ditepuk.

“Ais, kamu jadi bawang konthong aja, ya? Biar enak, enggak beresiko,” kata Evan sambil memilah bambu yang bagus.

“Ih, enggak mau.”

“Nanti nangis kena tulup.”

“Kanapa, sih, Van, kamu ngeremehin aku terus? Lihat aja nanti, aku pasti bakal ngalahin kamu.” Ais berkata dengan penuh percaya diri.

“Halah … enggak mungkin.”

“Kayaknya udah cukup, deh, Van,” ucap Yono sambil menghitung bambu.

“Yok, kita bikin di gubuk aja,” ajak Evan.

Mereka menuju gubuk yang ada di sisi timur sawah. Keringat mulai membasahi dahi-dahi mereka. Matahari siang ini memang cukup terik.

Rambut ikal Sekar melambai tertiup angin. Ujungnya yang kemerahan terlihat seperti rambut jagung.

“Eh, itu ada Pakde Sastro,” ucap Yono.

“Tadi belum bilang, kan, kalau minta bambu.”

“Oh, ya.” Evan meletakkan gergajinya dan menghampiri Pakde Sastro.

Terlihat Evan mengobrol dengan Pakde Sastro di sebelah sawah. Pakde Sastro meletakkan cangkulnya dan mendengarkan Evan. Mereka bercengkrama beberapa saat. Kemudian Evan kembali ke gubuk. Ia menyuruh teman-temannya untuk mengambil pisau agar bisa cepat selesai.

Suasana di sawah begitu sejuk. Angin berembus pelan menggoyangkan padi yang mulai menguning. Dedaunan albasia kering berhamburan saat tertiup angin.

Suara kicau burung saling bersautan. Mereka beterbangan ketika para petani menggerakkan orang-orangan sawah. Banyak capung berlalu lalang. Hinggap dari dahan dan berpindah ke ranting-ranting.

Sesekali suara tawa mereka pecah, saat salah seorang membuat banyolan. Yono dan Yudi, si kembar yang suka bertingkah konyol itu tak pelak membuat temannya tergelak.

Evan terlihat lebih terampil membuat tulup. Ia memulai dengan memotong bambu sepanjang 30cm untuk dijadikan laras. Bambu yang lain dibelah dan dipotong lebih panjang untuk dijadikan penyodok.

Evan menyerahkan satu per satu penyodok kepada temannya agar diserut. Ia juga mulai membuat pegangan.

“Karena kita berlima, jadi timnya enggak seimbang, dong. Ngajak siapa lagi, ya?” ucap Sekar.

“Ngajak Tejo aja biar seru, hehe,” ujar Yono.

“Ah, jangan Tejo juga kali,” kata Evan.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar