Strategi Bocah-Bocah Karangduwur (Part 9)

Bermain Egrang

Sekar dan teman-temannya berhenti di halaman masjid. Mereka kelelahan hingga napasnya terengah-engah. Jalan dari kebun ke perkampungan yang menanjak, membuat mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra saat berlari. Mereka takut, tapi tetap tertawa.

Dahi mereka basah oleh peluh. Baju kardusnya kusut tak karuan. Apalagi milik Ais yang basah, sudah sobek dan tercecer di jalan.

Sekar duduk di serambi masjid. Ia melepaskan baju kardusnya. Teman-teman mengikuti.

“Ais, kamu jangan duduk di sini! Bajumu basah, nanti lantainya kotor,” cegah Sekar.

Ais pun memilih duduk di tanah dan meluruskan kakinya.

“Gara-gara kamu, sih, Yon. Nembak sembarangan,” ketus Evan.

“Eh, bukan aku, ya. Tapi Yudi.” Yono berkilah.

“Enak aja. Kamu, kok, Yon. Aku, kan, cuma nembak ke arah pohon pisang. Kamu yang nembakin pohon jati.” Yudi membela diri.

“Halah, kalian ini! Selalu saja salah-salahan. Intinya gara-gara Yono dan Yudi,” ucap Sekar.

“Iya, deh. Kami minta maaf.” Yono dan Yudi mengucapkannya bersamaan.

“Astagfirullah …!” Suara seorang ibu-ibu mengagetkan mereka. “Habis ngapain kamu, Is? Kok, bajumu basah kuyup kayak gitu? Bau lagi.”

“Eh, Mama. Tadi lagi main, Ais enggak sengaja jatuh ke parit.”

“Main di kebun lagi pasti. Kan, Mama udah bilang, jangan main di sawah, jangan main di kebun! Masih nyeyel aja kamu.” Mama Ais mulai mengomel.

“Kalian juga! Enggak usah ajak-ajak Ais ke kebun. Kalau main enggak usah aneh-aneh. Apa lagi ini pakai kardus bekas segala.”

Sekar dan teman-teman menunduk. Tak ada satu pun yang berani menjawab.

“Kok, diam aja?”

“Iya, Mama Ais. Kami minta maaf.”

Tanpa dikomando mereka menjawab bersamaan.

“Ayo, Ais pulang! Mandi!”

“Iya, Ma.”

Ais bangkit dan beranjak. Ia melirik teman-temannya dan melambaikan tangan. Mereka mengangguk.

Hari ini, Bu Guru memberikan pengumuman akan diadakannya lomba egrang di sekolah untuk siswa kelas 4. Yang menjadi juara akan bertanding di tingkat desa dalam rangka memeriahkan hari pendidikan nasional. Tapi, semua peserta harus membawa egrang masing-masing.

“Aku mau minta tolong Bapak suruh bikinin egrang nanti,” ucap Sekar.

“Aku juga,” imbuh Evan.

“Emangnya kamu enggak bisa bikin sendiri, Van?” tanya Yono.

“Enggak tahu juga, sih. Soalnya aku belum pernah buat.”

Mereka jalan beriringan sepulang sekolah. Jarak sekolah dengan Dusun Karangduwur sangat dekat. Bahkan mereka bisa berlari pulang jika ada seauatu yang tertinggal.

“Ais, kamu ikutan, kan?” tanya Sekar.

“Enggak, ah.”

“Kan, wajib buat semua siswa kelas 4,” ujar Yono.

“Iya, Is. Kamu harus ikut,” tambah Yudi.

“Enggak ikutan juga enggak apa, Is. Dari pada kamu nangis nanti,” kata Evan.

Ais melirik Evan Sebal. Ia masih belum menjawab. Ais memikirkan sesuatu.

“Tidak ada yang membuatkanku egrang,” ucap Ais sedih.

Mereka semua memiliki ayah, yang akan membantu membuatkan egrang. Tapi, Ais tidak. Ayahnya telah meninggal dua bulan lalu karena sakit. Ibunya, tidak mungkin bisa memuatkan egrang. Ia sibuk berdagang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar