Tak Ada Piring, Pincuk Pun Jadi

Ibu menyuruh Ratri mengantar bekal makan siang. Sekarang musim tanam. Bapak dan simbah ada di sawah. Mereka sedang menanam padi. Sejumlah tetangga juga membantu jadi buruh tani.

Ibu masih punya bayi. Adik kecil Ratri umurnya baru enam puluh hari. Jadi, ibu tidak bisa ikut menanam padi. Ibu menata makanan dalam rantang. Ada nasi, urap, tahu bacem, ayam goreng, dan sambal.

“Aku ikut makan di sawah ya, Bu,” pinta Ratri.

“Galih juga. Tapi pakai telur mata sapi,” imbuh adiknya. Khusus untuk Galih, ibu pun menambahkan telur mata sapi.

“Jangan lari-lari ya. Hati-hati.”

Ibu menyerahkan rantang kepada Ratri. Galih membawakan teh hangat dalam termos yang baginya besar sekali. Ia menolak bantuan Ratri. “Aku kuat,” ucap Galih penuh percaya diri.

Ratri berlari-lari kecil di pematang. Langkahnya kadang terseok-seok sebab membawa rantang. Galih adiknya, menyusul di belakang. Ia juga terengah-engah membawa termos air besar dengan kedua tangan.

Sesampainya di sawah, Ratri melihat orang-orang ramai menanam padi. Gabah yang sudah disemai selama 25 hari tumbuh menjadi bibit-bibit padi. Bibit itu dicabuti, lalu dipindahkan dengan hati-hati.

Dari kejauhan tampak bapak sedang mencabuti benih padi. Simbah dan para buruh tani menanam padi dengan hati-hati. Supaya benih padi tidak terinjak oleh petani yang menanam, petani harus berjalan mundur. Tanam padi di lubang, lalu mundur satu langkah. Tanam lagi, mundur lagi, begitu seterusnya. Tandur, tanam mundur.

Tandur juga dilakukan supaya tanaman padi tertanam secara lurus dan sejajar. Ketika menanam padi dengan langkah mundur, petani dapat melihat dan menyesuaikan barisan benih tersebut.

“Makan-makan!” Ratri berteriak-teriak memanggil dari pematang.

“Tanggung. Tunggu sebentar lagi selesai,” teriak bapak dari tengah sawah. Para buruh tani makin lekas menanam padi.

Tapi, Simbah segera berhenti. “Pegal sekali pinggangku,” keluh Simbah. Galih membantu simbah naik ke pematang. Simbah memang sudah tua. Usianya sudah tujuh puluh tiga. Walau begitu, simbah tetap ingin bekerja.

Ratri meletakkan rantang di atas rerumputan. Ia menggelar nasi dan lauk pauk yang dibawa dalam rantang. Mereka hendak makan di bawah naungan pohon pisang. Galih menuang teh dari termos besar.

Tiba-tiba Ratri tampak kebingungan. “Piringnya mana ya? Galih kamu ambil piringnya?”

“Tidak! Mbak Ratri tadi bawa piring tidak?”

Ratri celingukan mencari. Waduh. Sepertinya, Ibu lupa membawakan piring.

“Ada apa?” Simbah datang usai mencuci tangannya yang penuh lumpur di sumur. Sumur di sawah sangat berguna saat musim kemarau tiba, khususnya untuk mengairi tanaman palawija.

“Ibu lupa membawakan piring,” jawab Ratri. Rantang ini tidak cukup untuk wadah makan semua orang. Ratri mencoba menghitung. Ada bapak, simbah, Ratri, Galih, dan tiga buruh tani. Mereka butuh tujuh piring. Alangkah capeknya kalau harus pulang ke rumah mengambil piring. Mana tengah hari panas terik begini. Tapi, mau bagaimana lagi. Ratri harus segera pulang untuk mengambil piring.

“Galih kamu tunggu di sini. Aku pulang ambil piring dulu ya!”

Ratri hendak berlari. Tapi, simbah menahan lengannya. “Tidak usah. Capek nanti kamu bolak-balik. Kita pakai daun pisang saja.”

Simbah menyelonjorkan kaki yang kelelahan. Ia menyuruh Ratri dan Galih mengambil daun pisang. Galih memotong setangkai daun pisang di belakang mereka. Simbah juga menyuruhnya meraut lidi daun kelapa.

“Dulu waktu simbah masih kecil, kami biasa makan pakai alas daun pisang. Seperti ini!”

Tangan simbah dengan cekatan menyobek selembar daun pisang dari tangkai, lalu melipatnya. Daun pisang dilipat seperti segitiga. Simbah menggunakan lidi untuk menyematkan lipatan daun pisang tadi.

“Nah sekarang pegang ini. Ini namanya pincuk,” kata Simbah.

“Wah!” Ratri dan Galih berseru gembira. Ratri pernah sekilas menemukan bentuk pincuk seperti itu. Biasanya, saat ada hajatan atau selamatan. Tapi, ia belum pernah mencoba membuatnya.

“Makanan ditaruh di dalam pincuk, lalu dipegang seperti ini,” lanjut simbah memeragakan. Saat makan dengan pincuk, tangan kita harus menyangga bagian bawahnya. Menurut simbah, cara menyangga makanan seperti itu juga mengandung makna. Kita harus ikhlas menerima segala hal yang terjadi dalam hidup kita.

“Dulu waktu masih muda simbah biasa jualan bubur dibungkus pincuk. Jualan jenang juga pakai pincuk,” tutur simbah. Oh, pantas saja simbah lihai membuatnya.

“Tapi bubur kan berkuah?” Galih heran.

“Tidak masalah. Pilih daun pasang yang tidak terlalu tua atau muda, supaya tidak mudah robek. Bubur yang dibungkus daun pisang rasanya berbeda. Lebih sedap, ada aroma daun pisangnya,” lanjut simbah. Galih tampaknya sulit membayangkan. Ia belum pernah menemukan bubur dibungkus daun pisang. Sekarang, dimana-mana orang jualan bubur dibungkus plastik atau sterofoam.

“Aku mau coba buat juga.” Ratri dan Galih menyobek selembar daun pisang. Mereka ingin coba membuat pincuk juga. Tapi belum apa-apa sudah robek. Ratri tidak bisa menyobek daun pisang dengan sempurna dari tangkainya.

Ternyata, menyobek daun pisang dari tangkai juga ada tekniknya. Tidak asal tarik. Kita harus menyobeknya dari arah belakang ke depan. Galih dan Ratri mencoba berkali-kali. Tapi tetap tidak bisa. “Kita pakai pisau saja,” ucap Ratri segera. Ia meraih pisau, lalu memotong daun pisang dari tangkainya. Simbah cermat mengawasi.

“Setelah ini bagaimana?” tanya Ratri.

“Lihat ini,” ucap Simbah seraya menunjukkan. Ratri dan Galih mengikuti gerakan tangan simbah melipat daun pisang. Lipat bagian atas daun, buat bentuk lancip di bagian bawah, lalu sematkan dengan lidi.

“Hore!” Ratri bisa membuatnya. Galih juga. Mereka senang sekali. Keduanya membuat pincuk untuk semua orang yang akan makan bersama.

Sebidang sawah sudah selesai ditanami. Bapak dan para buruh tani datang menghampiri. Mereka lapar usai bekerja keras sejak pagi. Tak ada piring, pincuk pun jadi. Masakan Ibu rasanya sedap tak terkira. Semua makan dengan gembira.

*Cerpen ini diikutsertakan dalam Lompa Cipta Cerpen Anak Paberland 2024

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar