“Adik jatuh sendiri, Bu. Bukan salah saya.” Saya membela diri.
“Kalau kamu nggak mainan kelereng di sini, adik nggak bakal terpeleset,” ujar Ibu sambil menggendong Alif.
Saya mendesah. Selalu begitu. Kalau mendengar Alif menangis, selalu saya yang disalahkan. Padahal, tidak selalu saya yang salah.
Saya merasa Ibu tidak adil. Ibu pilih kasih. Selalu Alif yang dibela.
Saya menatap kelereng yang berserakan. Saya tak berminat lagi bermain kelereng. Kelereng-kelereng itu saya masukkan ke dalam plastik. Lalu saya melangkah menuju lapangan.
“Tumben sekali lapangan sepi. Biasanya teman-teman bermain di sini.”
Sinar matahari yang menyengat mungkin menjadi penyebabnya. Ya, akhir-akhir ini cuaca terasa begitu panas.
Saya melangkah gontai. Saya masih malas pulang ke rumah. Baru berjalan beberapa meter, sebuah mobil berhenti di samping saya. Seorang pemuda keluar dari dalamnya.
“Hai, Adik, kamu mau ke mana?” tanya pemuda itu.
Saya memandang pemuda itu waspada. Ibu pernah mengingatkan agar berhati-hati dengan orang asing.
“Kamu jangan takut. Saya cuma mau tanya, kamu tahu rumahnya Pak Agung?” Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari kantongnya dan mulai merekam.
Saya mengangguk. Pemuda itu memperkenalkan diri, Sandi namanya. Ia menyapa orang-orang lewat ponselnya. Saya juga disuruh menyapa.
“Namamu siapa, Dik?” tanya Bang Sandi.
“Rifki,” jawab saya singkat.
“Nah, Rifki, bisakah kamu mengantar saya ke rumah Pak Agung?”
Saya tertarik dengan video yang dibuat Bang Sandi. Kalau video itu viral, saya bisa terkenal.
“Bisa, Bang,” jawab saya.
Kami masuk ke mobil. Mobil melaju meninggalkan lapangan. Saya menunjukkan arah menuju rumah Pak Agung.
“Nanti habis pertigaan belok kanan, Bang.”
Bang Sandi mengangguk. Namun, begitu sampai di pertigaan, ia malah belok kiri.
“Bang, salah. Harusnya belok kanan.”
Bang Sandi tersenyum, tapi ia tak mengubah arah mobilnya. Saya merasa ada yang tidak benar.
“Bang Sandi katanya mau ke rumah Pak Agung?”
“Sudah, diam saja kamu. Nanti saya nggak konsentrasi menyetir, bisa bahaya.”
Keramahan Bang Sandi seakan hilang. Kata-katanya barusan sontak membuat saya takut. Mata saya berkaca-berkaca.
Akhirnya saya mendapat ide.
“Aduh, mules, Bang. Saya mau buang air.” Saya pegang perut dan pasang muka memelas.
“Tahan dulu.”
“Saya sudah nggak tahan, Bang. Takutnya keluar di sini. Saya memang lagi diare.”
“Huh, merepotkan saja. Awas kalau buang air di sini.”
Bang Sandi menghentikan mobilnya. “Jangan coba-coba lari!” teriaknya saat saya keluar dari mobil.
Tak membuang waktu, saya langsung berlari sekuat tenaga. Bang Sandi yang terkejut segera mengejar. Sambil berlari saya menyebar kelereng di belakang.
Bang Sandi kehilangan keseimbangan saat menginjak kelereng itu. Ia pun jatuh.
Kesempatan itu saya gunakan untuk bersembunyi. Saya masuk ke pekarangan rumah terdekat. Ada pohon mangga yang cukup rimbun. Saya berdiri di balik pohon mangga itu. Sesekali saya mengintip ke arah jalan.
Beberapa saat kemudian tampak Bang Sandi berjalan sambil celingak-celinguk. Saya berdoa supaya Bang Sandi tak menemukan saya. Saat saya kembali mengintip, Bang Sandi sudah tidak ada.
“Aaa…!”
Saya hendak lari, tapi kaki saya seakan terpaku di situ.
“Diamlah. Nanti cucuku bangun karena teriakanmu itu. Sedang apa kamu di sini?”
“Saya … saya ….” Saya bingung menjelaskannya.
“Ooo … Kamu yang suka mencuri mangga saya, ya?” tuduh kakek itu.
“Nggak, Kek. Saya tadi dikejar orang.” Saya lalu menceritakan dari awal pertemuan dengan Bang Sandi.
Kakek memerhatikan cerita saya. Ia percaya saya berkata jujur. Saya diajak masuk ke rumah. Kakek mengambilkan segelas air putih. Dalam sekejap gelas itu tandas isinya. Saya mau pamit pulang, tapi ragu.
“Kamu takut bertemu dengan Sandi lagi?”
Saya mengangguk.
“Ya sudah. Kakek antar kamu pulang.”
“Terima kasih, Kek.”
Saya dan kakek berjalan kaki menuju rumah. Di tengah jalan kami bertemu dengan tetangga saya.
“Rifki, ke mana saja kamu? Tadi dicari ibumu ke mana-mana,” ujar si tetangga.
“Panjang ceritanya, Bang. Saya pulang dulu, ya.”
Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa Ibu mencari saya?
Kami tiba di rumah. Saya mengucap salam.
Ibu menghambur keluar. Tampak sisa-sisa air mata di sudut matanya. Ia langsung memeluk saya.
“Kamu tak apa-apa, Nak?” tanyanya cemas.
Saya mengangguk.
“Tadi ada yang lihat kamu masuk mobil orang. Ibu jadi khawatir, takut kamu diculik.”
Saya termenung. Ibu mengkhawatirkan saya. Entah mengapa saya merasa bahagia. Saya pun menceritakan semuanya.
“Maafkan saya, Bu. Sudah membuat Ibu khawatir.”
“Nggak, Nak. Kamu nggak salah. Niatmu membantu orang. Hanya saja, kamu membantu orang yang salah. Lain kali harus lebih berhati-hati, ya.”
Ibu memandang kakek. “Terima kasih, Kek, sudah mengantarkan anak saya pulang.”
Hiks! Kenapa aku jadi nangis ya bacanya? Ceritanya menyentuh banget di akhir ceritanya. Keren ih. Banyak pesan di dalamnya ^__^
Beneran, Kak? Makasih banyak apresiasinya?
Bagus kak. Hiks. Saya terharu
terima kasih, kak