#TalisCerpen DUA RIBU KEJUJURAN

Tepat pukul 12.30. Saya baru saja pulang sekolah ketika tiba-tiba ibu berteriak dari dapur. Sepertinya ibu belum selesai memasak menu makan siang.

“Maya, tolong belikan garam ke warung Mak Ijah. Persediaan garam habis ini!”

“Iya, Buk. Tapi saya lepas sepatu dan ganti baju dulu, ya.” Saya menyahut sambil masuk kamar.

Bergegas saya letakkan tas di meja belajar. Selanjutnya saya lepas sepatu dan saya taruh di sudut kamar.

“Maya, cepatlah supaya sayurnya cepat matang!” Lagi-lagi ibu berteriak saat saya masih ganti baju.

“I-iya, Buk!”

Tanpa menghiraukan sinar matahari yang sedang terik, saya pun berangkat ke warung Mak Ijah yang berjarak 500 meter dari rumah. Sambil menggenggam erat selembar uang lima ribuan, saya melangkah pelan menyusuri jalan.

Rasa lapar dan haus mendera. Namun, mau bagaimana lagi, sebagai anak semata wayang tentu saya harus patuh pada perintah ibu. Sesekali saya berhenti melangkah ketika diserang rasa lelah.

Betapa tidak! Jarak dari sekolah ke rumah sekitar 3 km. Perjalanan sejauh itu saya tempuh dengan halan kaki saat berangkat dan pulang sekolah. Belum pula sempat makan atau minum, ibu sudah pula menyuruh saya beli garam.

Di tengah perjalanan saya sempat berpikir nakal. Harga sebungkus garam hanyalah tiga ribu. Berarti masih ada uang kembalian sebesar dua ribu. Ingin rasanya uang kembalian itu saya belikan es lilin. Tentu akan terasa sangat nikmat dan menyegarkan jika minum es lilin di cuaca yang panas begini.

Ah, saya sampai menelan air liur sendiri.

***

“Beli apa, Maya?” tanya Mak Ijah saat saya sudah berdiri di depan warungnya dengan tubuh berkeringat.

“Garam, Mak,” sahut saya sambil mengulurkan uang yang lusuh dalam genggaman.

“Ini.” Mak Ijah memberikan sebungkus garam dan uang kembalian dua ribu rupiah.

“Es lilinnya satu berapa, Mak?” Saya bertanya sambil membuka sedikit tutup termos es yang ada di hadapan.

“Dua ribu.”

Melihat es lilin yang berwarna-warni, rasa haus saya terasa semakin menyiksa sekali. Terbayang sudah kesegaran yang akan mengalir di kerongkongan.

Tangan saya sudah terulur hendak mengambil sebatang es lilin dari dalam termos itu, tapi tiba-tiba bayangan ibu yang sedang melotot marah menyadarkan saya.

“Bagaimana Maya, jadi beli es lilinnya?” Suara Mak Ijah mengagetkan saya.

Astagfirllah haladzim! Perlahan saya terik tangan dari termos itu. Hampir saja saya melakukan perbuatan tak terpuji. Menggunakan uang ibu buat jajan tanpa meminta ijin terlebih dulu. Hal itu adalah perbuatan keliru. Sama dengan korupsi.

“Bagaimana jadi beli, Maya?” Mak Ijah mengulang pertanyaannya yang belum sempat saya jawab.

Dengan cepat saya menggeleng. Lantas segera pergi berlalu dari warung itu. Saya tahan rasa dahaga yang semakin menyiksa.

***

“Ini Buk, garam dan uang kembaliannya,” kata saya sambil menahan rasa lelah.

“Garamnya taruh saja di meja dan kembaliannya kau ambil saja buat beli es.”

“Haduuh … Buk … Buk ….” Saya menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

“Kenapa? Enggak mau dikasih uang?”

“Mau Buk, mau!” Saya sahut uang dua ribu yang sedari tadi disodorkan ibu.

“Mau kok ngeluh?”

“Habis … tadinya sih saya sudah berpikir untuk beli es lilin dengan uang kembalian itu. Tapi karena takut Ibuk marah kalau saya pakai uang tanpa ijin, gak jadi deh beli esnya. Eh, sekarang uang itu malah Ibuk kasih buat beli es. Nanggung deh mau balik ke warung lagi. Capek.” Saya mengangkat bahu sambil tersenyum getir. Lalu saya menuang segelas air putih dari teko plastik yang ada di atas meja.

Ibu hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Saya yakin ibu pasti merasa bangga dengan kejujuran yang telah saya lakukan.

“Ya sudah, sekarang kau segera makan saja. Sayur dan tempe gorengnya sudah matang semua kok.”

“Iya, Buk.”

Bergegas saya mengambil nasi, sayur dan lauk secukupnya. Dengan lahap saya menikmati makan siang di balai bambu yang ada di dapur.

Ibu menunggui selama saya makan. Dengan lembut sesekali tangan ibu mengelus kepala saya. Saya merasa bersyukur menjadi anak yang berbakti dan selalu patuh pada orang tua. Sifat jujur yang selalu diajarkan oleh bapak dan ibu, menjadikan saya sebagai anak yang bertanggung jawab. Sekalipun saya tidak pernah menggunakan uang atau barang tanpa ijin terlebih dulu.

Berkat kejujuran, uang dua ribu itupun pada akhirnya tetap jadi milik saya. Namun karena sudah kenyang, uang dua ribu itu saya simpan buat jajan besok di sekolah. Saya benar-benar bahagia. Anak jujur disayang orang tua serta semua orang tentu saja.

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “#TalisCerpen DUA RIBU KEJUJURAN”

Tinggalkan komentar