Usai salat magrib, jemaah anak-anak bubar. Di teras masjid, Rio sedang memberi gelang manik-manik untuk temannya.
“Wah, terima kasih. Gelangnya bagus,” ucap Akbar gembira.
Ada satu gelang lagi di kantung Rio. “Boni nggak ada. Besok aja deh saya kasih gelangnya.”
Rio berjalan menuju tempat sandal, diikuti Akbar.
“Lho! Sandal saya nggak ada?” ucap Rio heran. Matanya celingak-celinguk mencari sandal yang berjajar di teras masjid. Walau dibantu Akbar dan Mang Ujang, ttetap saja sandal Rio tidak terlihat di mana-mana. Padahal setiap penjuru masjid sudah mereka kelilingi.
“Uuuh, padahal itu sandal oleh-oleh Papa dari Bali,” sungut Rio kesal. Akhirnya ia pulang ke rumah dengan meminjam sandal jepit masjid.
***
Esok pagi, di sekolah saat menunggu bel masuk, Rio bercerita tentang kejadian sandal hilang semalam.
“Pasti ada yang ambil sandal kamu, Yo. Kan sandal jepitnya bagus. Gambarnya lucu, beda dengan sandal biasa,” ujar Akbar berpendapat.
Rio mengangguk. “Iya ya, tapi siapa yang ambil?”
“Ehm, bukannya nuduh, tapi kemarin saya lihat Bima pulang sebelum rakaat terakhir.”
Ucapan Akbar membuat Rio terbelalak. Ia teringat kalau sandalnya Bima sudah jelek. Tiba-tiba Akbar menyenggol lengan Rio. Bima masuk ke dalam kelas, Rio dan Akbar mendekatinya.
“Semalam salat belum selesai, kok kamu buru-buru pulang, kenapa?” tanya Rio penuh selidik.
Bima meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. “He he, semalam perut saya mules, jadi buru-buru pulang. Memang kenapa?”
Rio dan Akbar saling berpandangan.
“Semalam sandal Rio hilang di masjid!” celutuk Akbar. Rio menyenggol tangan temannya.
Wajah Bima memerah. “Oh, jadi kalian nuduh saya yang ambil sandalnya?”
“Eh, bukan, Bim. Saya cuma pengin tahu kenapa Bima pulang buru-buru. Sekarang perut kamu udah sembuh?” ucap Rio menenangkan.
Bima mengangguk. “Alhamdulillah selesai dari toilet, perut saya nggak mules lagi.”
***
Sorenya, Rio dan Akbar bermain sepeda keliling kompleks. Setiba di taman, mereka melihat pemulung yang masih anak-anak. Badannya kurus dan memakai baju kumal. Anak itu sedang merapikan karung berisi botol-botol bekas wadah air mineral.
Tiba-tiba Rio terbelalak saat melihat sandal yang dikenakan anak itu. “Eh, itu kan …!”
Anak itu sudah memanggul karung dan bergegas pergi. Melihat hal itu, Rio cepat-cepat memanggil. “Hei, tunggu!”
Anak itu spontan menoleh. Cepat-cepat Rio mengayuh sepeda mendekatinya. Akbar mengikuti dari belakang.
“Maaf, sandal itu, kamu dapat dari mana?” selidik Rio tanpa basa-basi sambil menunjuk sandal yang dipakai anak itu.
Anak itu terdiam dan melirik sandalnya. “Oh ini, tadi pagi nemu di tempat sampah.”
Rio mengernyit. “Tempat sampah mana?”
“Di depan masjid komplek sini,” jawab anak itu. “Kenapa?”
“Karena itu sandal saya yang hilang semalam,”
Ucapan Rio membuat anak itu kaget. Matanya membulat. Kemudian dengan cepat, ia melepas sandalnya.
“Ini sandalmu. Saya pikir sandalnya sudah dibuang.”
Anak itu hendak pergi tanpa memakai sandal, Rio jadi tidak enak karena sudah menuduh anak itu mengambil sandalnya.
“Eh, maafkan saya. Ini tolong dipakai.” Rio buru-buru melepas sandal yang dikenakannya. Namun, anak itu diam saja. “Ayo, pakai saja. Nanti kakimu luka kalau tidak pakai sandal.”
Anak itu akhirnya mau menerima sandal yang diberikan Rio. “Terima kasih,” ucapnya sebelum pergi.
***
Sandal jepit oleh-oleh dari Bali sudah ditemukan. Rio sudah mencuci bersih dan memberinya nama dengan huruf besar-besar. Walau begitu, Rio masih bingung mengapa sandalnya ada di tempat sampah masjid.
Saat salat magrib berjemaah di masjid, Rio kembali memakai sandal jepit dari Bali. Jemaah anak-anak usai salat langsung bubar. Buru-buru Rio menghampiri Boni yang berdiri termangu di depan jajaran sandal.
“Kok ada lagi?” ucap Boni pelan, tetapi Rio mendengarnya.
“Kamu bingung sandalnya ada lagi?”
Boni terkejut. Ia tidak sadar jika Rio berdiri di sampingnya. “Eh Rio ….” Boni menunduk. Wajahnya memerah. “Maafkan saya. Karena udah buang sandal kamu ke tempat sampah.”
“Tapi semalam Boni nggak ke masjid. Bagaimana cara buang sandalnya?”
Boni menatap tidak enak pada Rio. “Semalam saat semua salat, saya masuk ke teras masjid dan ambil sandalmu. Lalu saya buang ke tempat sampah di depan masjid.”
Rio terdiam. Rasanya tidak percaya Boni bisa setega itu. “Kita kan selama ini temanan. Kok kamu begitu?”
Boni menatap Rio dengan pandangan menyesal. “Maaf, Rio. Soalnya saya sebal dengan gaya kamu yang suka pamer. Mentang-mentang papamu suka pergi ke mana-mana.”
Rio terdiam. Wajahnya jadi murung. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya.
“Maaf, Bon, saya nggak niat pamer. Malah saya deketin kamu karena mau kasih ini,” ujar Rio sambil menyerahkan sebuah gelang manik-manik kepada Boni.
Malu-malu Boni menerima gelang itu. “Terima kasih, Rio. Maafkan saya sudah jahat.”
Rio mengulurkan tangan pada Boni. “Nggak apa-apa. Saya juga minta maaf. Karena sudah bikin kamu sebal.”
Boni menerima uluran tangan Rio. “Kita tetap temanan?”
Rio mengangguk. “Iya, dong!”
#TalisCerpen