Penguasa Angin dan Awan
Laura Aqnellya
Sore itu di taman perumahan sebuah kota. Sorak sorai anak-anak yang sedang bermain terhenti oleh kedatangan seorang anak perempuan berambut panjang.
“Halo, perkenalkan nama saya adalah Putih, saya baru pindah ke kota ini. Ayahanda saya bernama Pak Biru. Ibunda saya bernama Bu Jingga. Saya juga mempunyai satu orang kakak yang bernama Marun, ” kata anak perempuan berwajah bulat itu.
“Kami menempati rumah di ujung gang satu, ” lanjutnya.
Anak-anak itu menahan tawanya.
“Bolehkah saya ikut bermain bersama kalian?” tanya Putih kemudian.
Mereka tidak dapat lagi menahan tawa. Namun, ada satu anak perempuan yang tersenyum manis kepada Putih. Anak perempuan berambut ikal itu tidak ikut menertawakan dirinya seperti anak lainnya.
“Hai, Putih. Perkenalkan, namaku Aini, yuk main saja denganku, ” ajaknya.
Mereka berdua duduk di pinggir taman dan saling bertukar cerita.
“Kenapa anak laki-laki itu menertawakan saya? ” tanya Putih tiba-tiba.
“Mereka tidak bermaksud jahat. Mereka tidak pernah mendengar seseorang menggunakan kata saya untuk menyebut dirinya sendiri,” jelas Aini
“Biasanya mereka menggunakan aku, ” lanjutnya.
Putih mengangguk tanda mengerti.
“Aini, saya perlu menceritakan sesuatu yang penting terlebih dahulu. Karena saya tidak mau berbohong kepada anda, ”
“Sebenarnya saya bukan makhluk bumi, saya datang dari planet warna warni. Karena itu nama kami menggunakan nama warna yang sesuai dengan kekuatan yang kami miliki,” Putih bercerita dengan suara pelan.
Anak perempuan berambut panjang itu juga bercerita jika ayahnyalah yang mengajarinya bahasa bumi dengan menggunakan kata baku sesuai dengan buku yang dibacanya.
Aini mendengarkan dengan bingung. Namun, entah mengapa dia yakin sekali bahwa teman barunya itu berkata jujur.
“Kemarilah, saya akan menunjukkan kekuatan yang saya miliki.” Mereka berdua pergi ke balik pohon.
Putih memiliki kekuatan yang dapat mengendalikan angin dan awan. Ayahnya dapat mengendalikan air. Ibunya dapat mengendalikan cahaya. Dan, kakaknya dapat menumbuhkan tanaman dengan singkat.
Aini tidak berkedip melihat gumpalan awan berukuran kecil bermain-main di telapak tangan Putih.
Ternyata awan tak seperti bayangannya selama ini, yang lembut dan empuk. Ketika Aini mencoba menyentuhnya, awan itu tercerai berai.
“Wow! Lalu kenapa kalian datang ke Bumi?” tanyanya sambil mencoba memegang awan itu lagi.
“Ayah saya dan beberapa orang lainnya mendapat tugas dari pemimpin planet kami untuk mempelajari manusia bumi. Kebetulan tugas keluarga kami mengamati kehidupan manusia yang tinggal di negara ini, agar kelak kami dapat hidup berdampingan,” kali ini Putih membiarkan awan itu naik ke dagunya, dan membuatnya tampak seperti kakek tua. Kedua gadis itu tertawa riang.
***
Keesokan harinya. keadaan taman perumahan sangat kacau karena dipenuhi oleh daun-daun berguguran bekas pemotongan pohon yang dilakukan oleh petugas taman di pagi hari.
Anak-anak kecewa karena tidak dapat bermain di taman. Seketika Putih memiliki ide yang bagus. Dia berbisik kepada Aini dan menceritakan rencananya. Anak perempuan yang berasal dari planet lain itu menjauh dari taman. Dia mulai menggerakkan jari jemarinya sambil mengucap mantra dari balik perosotan, “Putih-putih melati Alibaba. Wahai angin datanglah!”
Angin tiba-tiba berhembus di taman. Menerbangkan daun-daun yang berserakan. Daun-daun itu terbang melayang dengan rapi kemudian berhenti bergerak tepat di dekat bak sampah. Dalam sekejap taman kembali bersih. Anak-anak yang berada di taman melihat kejadian itu dengan terpana. Mereka bersorak dan bergegas bermain tanpa mencurigai kejadian tersebut.
Aini menghampiri teman barunya dan bertepuk tangan. “Itu keren sekali!” Putih tersenyum dengan bangga.
***
Di hari lain. Ketika anak-anak sedang asik bermain, tiba-tiba datang segerombolan remaja dan mengusir mereka dari taman. Anak-anak kesal sekali, namun mereka tidak berani melawan. Sudah hampir seminggu para remaja itu menguasai taman. Tidak ada satu anak pun yang berani menghadapi para remaja yang kasar itu.
Aini bergegas pergi ke rumah sahabat barunya. “Putih, kami butuh bantuanmu.” Mereka berdua berjalan ke taman sambil menyusun strategi jitu untuk menghadapi para remaja nakal itu.
Tanpa kesulitan Putih memanggil sahabat awannya. Dia berbisik dan menepuk awan yang turun rendah di hadapannya.
Tak lama kemudian, awan bergerak ke atas para remaja itu. Semakin lama semakin gelap. Tiba-tiba, awan itu menurunkan hujan yang deras. Anehnya, hujan hanya turun di satu tempat itu saja. Para remaja berlarian dan berniat mencari tempat berteduh, akan tetapi awan hujan terus mengikuti mereka.
Tanpa Putih sadari, semua anak ternyata melihat kejadian tersebut. Mereka bersorak dan menyanjungnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang dapat mengganggu Putih dan teman-temannya untuk bermain di taman.