Bab 9
Tarian Suku Batak Toba
“Mau mau mau!” seru Ajeng, mengigau.
Lagi-lagi Bunda mendapati Ajeng mengigau saat sedang tidur. Bunda yang hendak membangunkan pun, mengurungkan niatnya. Dia justru memandangi wajah Ajeng yang tampak senyum-senyum sendiri dengan mata terpejam.
“Ajeng Ajeng … mimpi apa, sih? Kelihatannya bahagia banget,” gumam Bunda seraya membelai rambut Ajeng lembut.
Di sisi lain, gadis cantik dengan piyama merah muda itu justru merasakan keseruannya sendiri bersama Bufi di Negeri Impian. Ajeng yang kini berada di suatu tempat yang terkenal dengan legenda danaunya, terus berdecak kagum menikmati pemandangan Danau Toba yang terletak di Sumatera Utara.
“Udara di sini sangat sejuk, ya, Bufi,” ungkap Ajeng seraya merentangkan tangan.
“Iya, udah gitu, pemandangannya juga bagus banget. Kamu tahu nama pulau di tengah danau itu nggak, Jeng.”
“Tau dong. Itu Pulau Samosir namanya, aku udah hafal tentang legenda asal usul Danau Toba, Bufi,” jawab Ajeng sambil menyeringai.
“Iya, deh, percaya. Tapi, kalau nama tarian yang ada di sini, tahu nggak?” tanya Bufi seraya menaik-turunkan kedua alisnya.
Ajeng tersenyum kikuk. “Nggak tahu, emang apa nama tariannya?”
“Kasih tahu nggak, ya.” Bufi yang bermaksud mencandai Ajeng, langsung berlari menjauh.
“Ih, Bufi … kasih tahu, apa nama tariannya?”
Ajeng mengejar Bufi yang terus berlari sambil teriak, “Tangkap aku, baru nanti dikasih tahu!”
Padahal sudah lari sekuat tenaga, tetapi Ajeng tak dapat menyusul Bufi. Gadis jelmaan kupu-kupu itu belum juga tampak lelah, sedangkan napas Ajeng sendiri ngos-ngosan.
“Udah, ah, Bufi! Aku capek!” seru Ajeng yang berhenti di tengah jalan.
Sambil mengatur napas, dadanya tampak kembang kempis. Ajeng melambaikan tangan kepada Bufi agar berhenti lari. Dengan jalan tertatih-tatih, akhirnya Ajeng bisa menyamai Bufi yang memang menungguinya.
“Payah, baru segitu udah capek,” ledek Bufi yang kemudian merangkul pundak Ajeng.
“Lari kamu cepet banget, sih, Bufi.”
“Kamu nggak tahu apa? Kalau aku mantan atlet,” balas Bufi.
“Atlet lari?”
“Bukan, tapi atlet balap karung,” canda Bufi yang berhasil membuat Ajeng terbahak-bahak.
Tiba-tiba, Bufi meminta Ajeng berhenti tertawa. Dia menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssstt! Udah ketawanya, sekarang denger itu.”
“Itu suara musik apa?” Ajeng pun merasa mendengar suara itu.
“Itu suara musik gordang sambilan, musik pengiring Tari Tor-tor. Ayo, kita cepat ke sana.”
“Yah, kita ketinggalan dong.” Ajeng tampak kecewa.
Bufi kontan memberi tahu, jika dentuman musik gordang mulai terdengar, biasanya sebagai tanda bahwa tarian baru akan dimulai. Ajeng pun bernapas lega, tetapi segera dia mempercepat langkahnya.
Setibanya di acara adat suku Batak Toba yang diadakan, ternyata Tari Tor-tor benar-benar belum dimulai. Musik gordang sengaja ditabuh, supaya orang-orang yang ingin menyaksikan gegas berkumpul.
“Bufi, apa alat musik pengiringnya cuma gordang sambilan saja?”
“Ada lagi yang lain, seperti: Gong, Suling, dan Talempong. Tari ini disebut juga tarian purba, Jeng. Karena tari ini sudah ada sejak zaman purba.”
“Wah, hebat banget. Terus kenapa namanya Tari Tor-tor?”
Dijelaskan lagi oleh Bufi, nama tor-tor berasal dari bunyi entakan kaki pada lantai rumah adat suku Batak yang terbuat dari kayu. Lalu, menghasilkan suara yang berbunyi, “Tor tor tor”. Bufi juga memberi tahu, pada tari Tor-tor, penarinya dipanggil Panortor.
“Oh, gitu, ya. Eh! Itu mau mulai, Bufi. Panortornya sudah keluar. Terus itu, yang mereka pakai apa namanya?”
“Selendang atau kain ulos, Jeng.”
Ajeng memperhatikan selendang atau kain ulos yang diselempangkan di salah satu bahu mereka. Selendang menjulur sampai betis kaki. Agar selendang tak jatuh saat sedang menari, Panortor pun akan memakai kain yang dililitkan di pinggang sebagai sabuk.
Karena menyukai hal-hal baru, Ajeng jadi ingin mencoba menirukannya. Apalagi pada gerakan tari ini, semua penari cukup membuat gerakan tangan bersamaan gerak kaki jinjit-jinjit mengikuti iringan musik. Tampak mudah bagi Ajeng.
“Tari Tor-tor bukan cuma dalam acara pernikahan atau sambutan tamu aja, loh, Jeng. Saat ada seseorang yang meninggal juga dilakukan tari ini.”
“Hah! Kok, ada yang meninggal malah nari-nari, sih?” tanya Ajeng heran.
Kembali gadis berkepang dua itu menerangkan. Tari Tor-tor memang dilakukan sebagai sarana penyampaian batin baik kepada roh-roh leluhur, juga kepada orang yang dihormati atau tamu. Tari Tor-tor pada orang meninggal biasa disebut Manortor Matee (tarian mati).
“Lagian juga, ya, Jeng. Tari pada upacara adat atau pernikahan, berbeda sama tari untuk acara kematian, kok.”
“Emang apa bedanya, Bufi?”
“Gerakannya sama, sih. Yang beda cuma pada ekspresi wajah penarinya aja.”
Ajeng menggaruk-garuk kepala karena tak paha. Bufi pun menghela napas panjang. ‘Tumben, Ajeng telmi alias telat mikir,’ batin Bufi.
“Jadi, ya, Jeng. Tari Tor-tor pada acara kematian, ekspresi wajah penarinya, tuh, sedih dan dilakukan lebih khidmat. Bedalah pas acara pernikahan, ekspresi mereka tentu menunjukkan wajah kegembiraan atau suka cita.”
“Oh, gitu. Hehe ….” Ajeng kembali menggaruk-garuk kepala.
“Ada lagi yang mesti kamu tahu, Jeng. Tari Tor-tor ada tiga macam, loh. Tari Tor-tor Sigale-gale, Tari Tor-tor Tandok, dan Tari Tor-tor Sepitu Cawan.”
“Wah, keren. Jadi, ingin belajar semua tariannya, Bufi.” Ajeng tampak bersemangat.
Namun, Bufi justru diam sejenak. Kemudian, dia berkata, “Kamu belajar tarian ini nanti lagi aja, ya. Kamu harus pulang sekarang.” Bufi tampak cemas.
“Yaaah, aku kan belum puas.” Raut kekecewaan pun jelas tersirat di wajah Ajeng.
Akan tetapi, Ajeng tetap mengangguk dan langsung menutup mata tanpa diminta karena sudah mengerti. Dengan kekuatan serbuk emas, Bufi membawa Ajeng pulang.
Sekembalinya ke dunia nyata, Ajeng mendengar teriakkan Bunda. Seketika Ajeng terkesiap dan bangun dari tidurnya.
“Bunda?!”