Tellasan Topak

“Bu, kapan sih, kita pulang?” Agung terus mengekor di belakang Ibu.

“Nanti setelah tellasan topak kita juga pulang, Gung.”

“Iya, tapi kapan? Agung bosan ah, di sini. Tidak bisa main,” gerutu Agung lagi.

Ibu meletakan piring bersih yang baru selesai dicuci. Menarik kursi dan duduk menatap Agung.

“Kenapa tidak bermain sama Samil dan Rezfan? Bukannya kalian sudah saling kenal. Waktu pertama sampai di sini juga, Agung langsung bermain sama mereka.”

Agung mendengus kesal. Pertama sampai di rumah Nenek, dirinya memang mendapat sambutan baik dari mereka. Anak dari Nom Kamil, adik dari ayahnya. Agung diajak tarawih bareng. Dikenalkan dengan kebiasaan anak-anak di kampung kelahiran ayahnya di Pamekasan. Setiap pulang tarawih, mereka akan beli rujak yang menurutnya unik. Namanya jhek coreg. Kata ibunya itu bisa disebut juga dengan nama rujak bor. Karena rujaknya hanya dari sebuah timun utuh yang isinya dikerok dan dicampur sama bumbu racikan. Kemudian dimasukkan lagi ke dalam timun. Cara makannya pun harus hati-hati. Jangan banyak bicara biar tidak tersedak, bumbunya masuk ke hidung. Tapi Agung suka dengan rujak itu. Ada sensasi unik saat makan dan rasanya enak, begitu menurut Agung.

Selain itu, katanya kurang lengkap jika pulang tarawih tidak makan keripik. Ada keripik khas yang selalu jadi idola setelah pulang tarawih. Namanya keripik tangghuk. Karena keripik satu ini akan jadi viral saat bulan Ramadhan saja kata Samil dan Rezfan. Lagi-lagi Agung dibuat ketagihan dengan keripik satu ini selain keripik tette yang sudah sering dimakannya. Kata Nenek keripik tangghuk bisa juga disebut sebagai keripik raksasa. Karena ukurannya yang besar kira-kira satu meter. Inilah yang membuat Agung penasaran. Karena yang Agung makan, keripiknya sudah dipotong-potong. Samil pernah berjanji akan mengajaknya melihat ukuran keripik tangghuk sebelum dipotong. Sayangnya sampai selesai hari raya IdulFitri, janji Samil belum ditepatinya.

“Agung marahan sama Samil dan Rezfan?” Ibu menatap Agung penuh selidik. Ini kali ke dua Agung diajak mudik ke Pamekasan oleh ayahnya. Pertama saat Agung masih kecil umur dua tahun. Jadi Agung tidak begitu ingat saat mudik dulu. Dan sekarang dirinya sudah umur delapan tahun. Waktu yang cukup lama karena Ayah dan Ibu yang tidak bisa mudik setiap tahun dikarenakan kerjaannya.

“Duh, anak Ibu kok, malah bengong. Lagi marahan, ya?”

“Ti-tidak, kok.”

“Kenapa tidak main bersama?”

“Mereka lagi puasa. Katanya takut capek dan puasanya batal.” Agung merengut kesal.

“Oh…” Ibu tersenyum dan menarik tangan Agung mendekat.

“Bagaimana kalau Agung ikut belajar puasa juga seperti Samil dan Rezfan.”

Mata Agung seketika melotot. Puasa lagi? Batinnya. Apakah tidak cukup puasa satu bulan penuh Ramadhan kemarin? Agung melepaskan pelukan Ibu dan berlalu dengan hati kesal. Inilah yang membuat Agung kesal dan merasa aneh. Semua orang di rumah Nenek puasa setelah sehari kemarin lebaran. Termasuk Samil dan Rezfan juga ikutan puasa. Sehingga Agung merasa tidak nyaman. Mau makan apapun harus sembunyi di kamar.

“Aw…” Agung berteriak kaget saat ada pukulan di pundaknya.

“Hahaha…., kalau jalan jangan sambil melamun,” Samil menyeringai puas melihat sepupunya itu kaget.

Sementara Agung malah mendelik dengan wajah kesal.

“Besok tellasan topak. Ikut yuk, ambil deun trebunng di Nom Slawi,” ajak Samil.

“Apaan tuh tellasan topak.

Tellasan topak itu tellasan petto’ atau bisa juga disebut hari Raya Ketupat. Ini sebagai rasa Syukur setelah menjalankan puasa sunnah syawal selama tujuh hari. Besok ada pameran ketupat raksasa juga, loh,” jelas Samil membuat mata Agung makin melebar dan kepala mengangguk-angguk.

“Sepertinya seru. Terus kamu ambil deun trebung itu buat apa?”

“Buat kerangka ketupat. Oh iya, kamu hanya tahu kalau ketupat itu hanya memakai janur dari pohon kelapa, kan. Kalau di sini ketupat yang enak itu dari deun trebung atau daun siwalan. Jadi ketupatnya selain rasanya enak, juga wangi.” Samil kembali menjelaskan apa yang tidak diketahui Agung.

Agung mulai paham mengapa semua keluarganya puasa lagi setelah lebaran. Dari Nenek, orang tuanya, paman dan bibi, bahkan Samil dan Rezfan pun ikutan puasa. Duh, selama ini Agung tidak tahu apa-apa tentang puasa sunnah. Terutama puasa sunnah syawal seperti yang diceritakan Samil. Tahun depan Agung mau belajar ah, puasa sunnah Syawal, batin Agung dalam hati.

Hari ini, seperti kata Samil merupakan hari kemenangan setelah berhasil melakukan puasa sunnah syawal dengan merayakan tellasan topak atau Hari Raya Retupat. Banyak sekali yang saling berbagi ketupat dengan beragam masakan. Sungguh meriah, sampai Agung kebingungan mau makan ketupat yang mana. Pantas saja saat hari raya Idulfitri kemarin Agung tidak melihat neneknya masak ketupat. Ternyata ada hari special untuk bisa makan ketupat. Agung tersenyum sendiri.

Seperti janji Samil, Agung diajak melihat pameran ketupat raksasa. Ternyata ketupat raksanya hanya satu namun hidangan pelengkapnya yang banyak. Ada opor, rendang, gulai dan masih banyak lagi lainnya. Tiba-tiba mata Agung tertarik dengan seorang penjual rujak. Ada bungkusan plastik putih besar di samping Ibu penjual rujak. Menyadari Agung yang aneh, Samil melayangkan pandangannya ke arah si penjual rujak.

“Gung, ikut yuk,” ajak Samil menyeret tangan Agung mendekati penjual rujak.

“Ini bentuk asli keripik tangguknya,” tunjuk Samil setelah berdiri tepat di depan pedagang rujak.

“Waah… besar, ya.”

“Sst…lunas semua ya, janjiku,” bisik Samil membuat Agung tertawa.***

“Cerpen Ini Diikursertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Tellasan Topak”

Tinggalkan komentar