Teman Baru di Granada (Kisah Sebelum Vesivatoa)

Akhir pekan yang cerah. Om Pasha, ayah Ghazi yang seorang pilot, mengajak geng Dollabella untuk mengendarai balon udara miliknya. Cuaca cerah, langit pun biru. Balon-balon berwarna-warni menghiasi langit Dollisola pagi itu. Angin lembut bertiup menerpa wajah anak-anak yang sedang asik menikmati pemandangan dari balon udara.

Dari ketinggian ternyata Pulau Dollisola terlihat berbentuk seperti hati. Semakin jauh mereka pergi, pulau itu pun terlihat makin kecil. Orang-orang yang ramai menonton di pinggir pantai, kini tampak seperti kerumunan semut di tepi pantai.

Tiba-tiba angin kencang mulai bertiup. Awan hitam besar pun mendekat. Balon udara mereka mulai berguncang. Semuanya di luar dugaan. Perkiraan cuaca hari ini cerah dan tak berangin.

“Berpegangan yang kencang, Anak-anak!” perintah Om Pasha sigap. “Kita akan segera mencari tempat mendarat.”

Anak-anak mulai ketakutan. Sambil berjongkok Alana menggenggam tangan Nabiella dengan erat sambil memejamkan mata. Mereka semua pasrah sambil terus berdoa. Om Pasha mencoba mengendalikan balon sekuat tenaga hingga keringatnya bercucuran.

Angin besar datang, Volarancione terombang-ambing di udara. Mereka semua berteriak sambil memejamkan mata. Seketika kilatan cahaya memenuhi angkasa. Tak lama Volarancione mulai melayang turun perlahan. Anak-anak masih ketakutan dan tak berani melihat ke  bawah.

“Dukk” mereka mendarat dengan selamat.

Om Pasha dan kelima anak itu bersyukur lega. Satu persatu mereka turun dari balon dan kembali menginjak tanah.

“Alhamdulillah, kita selamat,” ujar Kalma lega.

Ia berlari-lari mengelilingi balon udara kegirangan. Banyak pohon di sekitar tempat mereka mendarat. Pohon-pohon itu berbaris rapi, berdiri kokoh di atas tanah tandus. Buahnya kecil lonjong berwarna hijau. 

“Om Pasha, ini pohon apa ya? Aku belum pernah melihatnya,” tanya Kalma ingin tau.

Om Pasha yang sedari tadi sedang melipat balon berwarna oranye itu baru sadar dan melihat sekelilingnya. Sesaat beliau tampak kaget.

“Sepertinya ini pohon Zaitun, dan tidak tumbuh di Negeri Dolla” Jawab Om Pasha dengan wajah yang masih bingung.

“Jadi sekarang kita ada di mana?” Tanya Nabiella khawatir

“Aku tidak tahu, tapi bukan di Negeri Dolla,” jawab Om Pasha. “Oh iya, tadi ketika kondisi darurat, aku melihat kipas ini terjatuh. Saat kuambil, dia terbuka. Tiba-tiba kilatan cahaya datang dan akhirnya kita bisa mendarat,” jelas Om Pasha.

Seketika anak-anak saling berpandangan,

“Hmm.. jangan-jangan kita berteleportasi, Yah,” ujar Ghazi.

“Ah, itu kan hanya ada film-film saja,” ujar Om Pasha tak percaya.

“Tapi kami–”

“Bagaimana kalau kita jalan-jalan di kota?” Kalma memotong ucapan Ghazi agar rahasia mereka tak terbongkar.

Lebih dari setengah jam mereka berjalan di kota asing itu. Di sebuah persimpangan jalan terlihat papan dengan tanda panah di bawahnya. Di papan itu tertulis ‘Mezquita Mayor de Granada’. Om Pasha membacanya dengan setengah tak percaya.

“Sepertinya kita berada di Granada, Spanyol,” ujarnya setengah tak percaya. Baginya mustahil sampai di tempat yang jauhnya ribuan kilometer dari negeri Dolla hanya dalam beberapa detik saja.  “Panah ini menunjukkan kita ke arah Masjid Granada, mungkin kita bisa shalat Zhuhur di sana,” usul beliau.

“Mesjid?” Alana heran. “Di Spanyol ada Masjid juga ya?” lanjutnya.

“Ada, meskipun sangat sedikit. Banyak juga muslim yang tinggal di Spanyol, lho,” tambah Om Pasha lagi.

“Ayo kita ke sana,” ajak Nabiella yang sudah tidak sabar.

Mereka menyusuri jalan berbatu yang tertata rapi. Di kiri kanan jalan terdapat rumah-rumah yang berwarna putih. Warna-warni bunga menghiasi balkon dan jendela rumah-rumah itu.

Dari kejauhan, di puncak bukit tampak bangunan putih beratap trapesium.Sebuah menara kecil berdiri kokoh di puncaknya. Halamannya luas dihiasi taman dan air mancur kecil. Itulah Masjid Granada, masjid yang pertama kali dibangun kembali oleh umat islam di Spanyol setelah menanti 500 tahun lamanya.

Usai shalat zhuhur, Ghazi datang dengan seorang anak laki-laki, lalu menyapa teman-temannya.

“Perkenalkan ini teman baruku,” ucap Ghazi.

Anak itu berkulit putih, hidungnya lancip, rambutnya ikal berwarna coklat.

“Assalamualaikum, aku Ahmed, asalku dari Suriah,” sapa anak itu dengan malu-malu.

Mereka pun saling berkenalan. Tak butuh waktu lama, Om Pasha dan keenam anak itu sudah tampak akrab. Mereka asyik berbincang-bincang di taman masjid.

“Indah sekali pemandangan dari sini,” ucap Kalma takjub.

Anak itu membentangkan tangannya menghadap ke lembah. Menikmati angin sepoi-sepoi yang membelai lembut rambut lurusnya.

“Kamu tau bangunan kemerahan yang berada di puncak bukit seberang sana?” tanya Ahmed pada Kalma.

“Aku tidak tau, tapi tampaknya bangunan itu cantik sekali,” jawab Kalma.

“Itu adalah Istana Alhambra. Dulunya adalah benteng dan juga tempat tinggal Sultan Nashrid.” Ahmed menjelaskan. “Di sekitar istana itu banyak ditumbuhi pohon jeruk dan bunga mawar,” tambahnya lagi.

Pemandangan dari halaman masjid Granada memang sangat menakjubkan. Dari sana terlihat komplek istana Alhambra dengan gunung Sierra Nevada yang berdiri perkasa di belakangnya.

“Anak-anak, kalian lapar? Kita cari makan siang, yuk!” Ajak Om Pasha yang sudah mulai merasa perutnya keroncongan.

“Aku tau tempat restoran halal di dekat sini. Kalau kalian mau, aku bisa mengantar,” tawar Ahmed riang.

Mereka pun setuju. Hanya sebentar berjalan kaki, sampailah mereka di sana.  Tepat di pintu restoran tedapat tulisan ‘halal’ yang ditulis dengan bahasa Arab.

Om Pasha memesan Paella, masakan khas Spanyol. Paella adalah nasi yang dimasak bersama seafood dan bumbu saffron di dalam wajan besi. Bubuk saffron membuat nasi paella menjadi berwarna kuning dan memberi citarasa yang khas.

Kerang dan udang yang menjadi topping nasi itu terlihat sangat menggoda selera. Mereka pun makan dengan lahapnya. Dalam sekejap, wajan paella mereka pun sudah kosong.

“Makanan ini enak sekali,” ujar Alana.

“Bentuknya seperti nasi kebuli, tapi rasanya berbeda,” timpal Adora.

Tiba-tiba seorang laki-laki datang mengantarkan kue kecil ke meja mereka. Tampaknya beliau adalah koki di restoran itu.

“Silakan dimakan, kue ini namanya Pionino, asli Granada. Jangan khawatir, kue ini halal karena dibuat tanpa alkohol,” ucapnya dengan ramah.

“Terima kasih,” jawab Om Pasha. “Tapi kami tidak memesannya.”

“Anggap saja itu traktiran dariku,” seru sang koki kembali. “Ahmed, layani tamu kita dengan baik ya.”

“Okay, Ayah,” jawab Ahmed sambil mengacungkan jempolnya.

Tanpa menunggu lagi, Ghazi langsung memakan pie dengan topping cream panggang itu. Rasanya manis dengan sedikit aroma kayu manis.

Ternyata Ayah Ahmed bekerja sebagai koki di restoran itu. Ketika masih tinggal di Suriah, sebenarnya ayah Ahmed adalah seorang arsitek. Namun, beberapa tahun yang lalu situasi di kota tempat tinggalnya semakin memburuk akibat peperangan. Beberapa kali serangan bom menghantam kotanya hingga menewaskan istri serta anak perempuannya.

“Ayah memutuskan untuk pindah kemari dan bekerja sebagai juru masak,” kisah Ahmed. “Ayah ingin aku bisa sekolah dengan baik.”

Sesekali Ahmed ikut membantu mencuci piring di restoran agar mendapatkan uang tambahan untuk ditabung. Di waktu luangnya Ahmed juga gemar bermain biola hadiah dari ibunya. Dulu ia sering bermain biola bersama dengan ibunya. “Setiap kali bermain biola, aku merasa ibu berada di sampingku,” katanya.

Selesai makan siang, Nabiella dan teman-temannya pergi berjalan-jalan melihat sekolah Ahmed. Bangunan tua itu tampak cantik dihiasi bunga berwarna-warni di balkonnya. Beberapa anak laki-laki terlihat sedang bermain bola di lapangan belakang sekolah.

Tiba-tiba Ahmed bersembunyi, seakan tak ingin terlihat oleh mereka.

“Ahmed, apakah mereka teman-temanmu?” tanya Alana penasaran.

“Iya, mereka teman sekelasku. Tapi aku malas bertemu dengan mereka,” jawab Ahmed enggan.

“lho, memangnya kenapa?”

“Mereka sering mengejekku. Aku dijuluki ‘Si Tas Buluk’ karena tasku sudah lusuh dan tidak sebagus punya mereka. Padahal tasku sebetulnya belum rusak kok,” tambahnya.

“Huh, anak-anak sombong!” seru Kalma geram

Keenam anak itu terdiam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing, memikirkan cara untuk menghibur Ahmed. Tiba-tiba Ghazi tersenyum dan berbisik ke arah teman-temannya. Tampaknya Ghazi telah menemukan ide cemerlangnya.

Sekolah Ahmed terletak di jalan yang cukup ramai dilalui oleh wisatawan. Keenam anak itu berjalan ke arah depan sekolah dan berkumpul di trotoar. Ahmed mengeluarkan biolanya, namun ia masih tampak ragu-ragu.

“Aduh, tapi aku malu bermain biola di sini,” ujarnya lirih.

“Tidak apa-apa, aku yakin orang-orang akan suka dengan musikmu,” jawab Ghazi dengan mantap.

“Aku akan menemanimu dengan bermain harmonika,” celetuk Kalma tiba-tiba.

Kalma mengeluarkan harmonika yang selalu tersimpan di dalam tasnya. Anak-anak lain tampak makin bersemangat. Mereka hampir saja lupa bahwa Kalma sangat piawai bermain harmonika.

Tak lama alunan biola Ahmed berpadu indah dengan suara harmonika Kalma. Mereka memainkan lagu Turkish March karya Mozart yang sangat ternama itu. Beberapa orang wisatawan mendekat dan berhenti untuk menikmati penampilan musik mereka. Beberapa orang lainnya lewat sambil meletakkan uang koin di dalam kotak yang berada di depan mereka.

Anak-anak yang tadi main bola di belakang sekolah pun datang mendekat ikut mengerumuni Ahmed dan Kalma. Mereka tampak takjub dengan kemampuan Ahmed bermain biola. Sama sekali mereka tak pernah menyangka, Ahmed yang selama ini sering mereka ejek ternyata mahir bermain biola.

Ketika lagu Turkish March berakhir, tepukan tangan dari para penonton pun terdengar riuh. Kotak yang berada di depan Ahmed pun mulai penuh terisi koin, bahkan ada yang memberi uang kertas dengan nilai yang cukup besar.

Gabriel, salah seorang teman sekelas Ahmed datang mendekat. Ia meminta maaf kepada Ahmed.

“Maafkan kami, selama ini suka mengejekmu.” Gabriel berujar sambil meletakkan koin dua euro ke dalam kotak.

“Tidak apa, aku senang jika bisa berteman dengan kalian,” jawab Ahmed senang

“Kamu mau kan bermain biola di pentas drama kelas kita bulan depan?”

“Dengan senang hati,” seru Ahmed sambil tersenyum.

Ahmed dan Kalma memulai pertunjukan kedua. Kali ini mereka memainkan lagu Canon In D. Lagu ini lebih mendayu-dayu. Membawa pikiran Ahmed terbang jauh ke kampung halamannya.

Sejenak terlintas wajah ibu dan adik perempuannya yang telah tiada. Sebulir air mata menetes dari pelupuk matanya. Ghazi dan teman-temannya pun ikut terharu melihatnya.

Usai pertunjukan sebagai musisi jalanan, mereka menghitung uang yang didapatkan. Tak disangka, ternyata Ahmed bisa mengumpulkan uang sebanyak 35 euro. Uang tersebut cukup untuk membeli tas baru untuk Ahmed. Dengan begitu, ia tidak akan dijuluki “Si tas buluk” lagi.

“Sekarang kamu bisa beli tas baru, Bro,” seru Ghazi senang.

“wah betul juga,”

“Mau ditemani?”

“Tapi aku belum merasa perlu membeli tas baru. Tas ini masih belum rusak, warnanya saja yang pudar.” jawab Ahmed. “ Aku ingin mengirim uang ini untuk saudara-saudaraku di Suriah. Mereka yang hidup di pengungsian lebih butuh uang ini.” Ahmed berujar sambil membayangkan saudara-saudaranya yang bahkan untuk makan pun kesulitan.

Anak-anak lain pun ikut merasa iba. Mereka mengambil uang jajan mereka dari dompet lalu meletakkannya ke dalam kotak milik Ahmed.

“Maaf, uang jajanku tidak banyak,” ujar Adora.

“Tak apa, terima kasih. Allah sudah mencatat niat baikmu Insya Allah.”

Sore mulai menjelang. Langit pun memerah, membuat istana Al hambra semakin kemerahan. Tiba saatnya anak-anak dan Om Pasha mengucapkan kata perpisahan untuk Ahmed. Meskipun hanya beberapa jam saja, namun pertemuan dengan Ahmed membuat Ghazi dan anak-anak Dollabella sangat terkesan.

“Aku senang sekali bisa bertemu dengan kalian,” ujar Ahmed.

“Aku juga. Bolehkah aku meminta sebuah barang sebagai kenang-kenangan?” tanya Ghazi tiba-tiba.

“Hah!? Tapi aku tidak punya apa-apa,” jawab Ahmed sedih.

“Bagaimana kalau kita bertukar tas?”

“Aduh, tasku kan sudah jelek.”

“tidak apa-apa. Aku ingin tasmu itu menjadi kenang-kenangan.”

Ghazi melepaskan tas yang baru dibelikan ayahnya minggu lalu itu dari punggungnya. Ahmed memberikan tas lusuhnya kepada Ghazi dengan berat hati. Bagi Ghazi, tas lusuh itu akan mengingatkannya pada Ahmed dan perjuangan anak-anak Suriah lainnya. Bagi Ahmed tas Ghazi itu memberi semangat baru, untuk terus melanjutkan perjuangan dan meraih cita-citanya.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar