TENTANG MIMPI MARISHA
Karya: Zahrotul Jannah
Semalam, mimpiku begitu aneh. Aku terbangun dalam keadaan basah oleh keringat. Jantungku berdegup sangat kencang, serta napasku tak beraturan. Aku sampai harus berpikir beberapa detik hingga menyadari yang kualami hanyalah mimpi. Kulanjutkan tidur setelah mengucapkan do’a.
Subun sudah berlalu dan aku baru saja terbangun. Mimpi semalam membuatku terjaga beberapa saat menyebabkan aku terlambat membuka mata pagi ini.
Aku heran, karena tiba-tiba banyak sekali orang di rumahku. Kerabat dan tetangga semua berdatangan. Padahal ini masih pagi. Mereka semua sibuk. Ada yang menyalakan api di tungku, ada yang membersihkan rumah hingga menggeser-geser meja dan kursi. Sementara para lelaki terlihat mendirikan tenda hajatan di halaman.
“Marisha, kamu sudah bangun?” tanya seorang perempuan renta yang sangat kukenal.
“Nenek?” Aku mengucek mata beberapa kali dan memastikan bahwa wanita di hadapanku adalah Nenek. “Kapan Nenek datang?”
“Tadi malam. Kamu sudah tidur jadi tidak tahu Nenek datang.”
Kupandangi matanya sejenak. Tampak merah dan sembab. Pasti Nenek naik motor untuk datang ke sini. Perjalanan yang jauh di malam hari mungkin membuatnya lelah dan mengantuk.
“Nek, ada acara apa, sih? Kok, rame banget? Kenapa mereka berkumpul di sini?”
“Mau ada acara selamatan buat nyambut kepulangan ibu kamu?”
“Ibu mau pulang?” Mataku langsung berbinar. Entah sudah berapa bulan ibuku merantau ke Jakarta. Katanya baru mau pulang tahun depan. Tapi aku bahagia sekali jika ternyata Ibu akan pulang lebih cepat.
“Iya. Kamu sudah sholat subuh belum?”
“Belum, Nek.”
“Ya, sudah. Sana sholat dulu!”
Aku yang biasanya lambat sekali jika disuruh sholat, mendadak menjadi sangat bersemangat. Tetangga dan kerabat yang sedang sibuk, melihatku penuh perhatian. Mereka pasti ikut senang karena ibuku akan pulang. Jangan-jangan, mereka juga mengharapkan oleh-oleh dari Ibu. Hihi, aku cengar-cengir sendiri membayangkannya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Pakde Juned saat aku sedang bersiap untuk ke sekolah.
“Ya, mau sekolah, Pakde.”
“Hari ini tidak usah berangkat dulu, ya.”
“Lho, kenapa?”
“Kan, ibu kamu mau pulang.”
“Memangnya Ibu sampai jam berapa nanti?”
“Sebelum jam sembilan mungkin sudah sampai.”
Baiklah. Mungkin Pakde ingin aku ikut menyambut Ibu. Tapi, kok, cepat sampainya? Kata ibuku perjalanan Jakarta – Wonosobo sekitar 9/12 jam. Jadi Ibu berangkat jam berapa dari Jakarta? Ah, itu tidak penting.
Saat matahari mulai terang, rumahku semakin ramai. Banyak kerabat dari jauh berdatangan. Mereka memelukku erat dan menatap penuh perhatian. Aku lebih senang ketika sepupu-sepupuku juga datang. Kami pun bermain bersama di halaman rumah yang telah terpasang tenda hajatan.
Aku melihat beberapa wanita merangkai berbagai macam bunga. Mulai dari bunga mawar, bogenfil, dan masih banyak lainnya yang tak kuketahui namanya. Mereka merangkainya menggunakan benang dan jarum jahit sehingga memanjang sekitar satu meter.
“Itu untuk apa, Bibi?” tanyaku penasaran.
“Ehm ….”
“Marisha! Ayo ke sana!” Salah seorang sepupu menarik lenganku sebelum Bibi menjawab. Aku terpaksa menurutinya.
“Aduh!” Tanpa sengaja, aku menabrak tempat sampah yang dibungkus kain hijau dengan lubang ditengahnya.
“Kita main ke sana saja, yuk!” ajak sepupuku seraya menunjuk satu taman di halaman rumah tetanggaku.
“Ayo!”
Di sini juga ramai ternyata. Para ibu berkumpul di ruang tamu dan nampak sedang membuat berkat. Mereka memasukkan satu bungkus kecil beras, gula pasir, dua butir telur, dua bungkus mie instan, dan satu saset kopi ke dalam cething plastik.
“Ini mau buat apa, sih, Bi? Kok, bikinnya banyak banget?” Aku sangat penasaran.
“Untuk selamatan ibu kamu,” jawab salah seorang tetangga.
Wah! Ternyata acara penyambutan Ibu sangat meriah. Aku jadi tidak sabar ingin bertemu Ibu. Pasti dia sangat gembira, karena semua orang datang untuk menyambutnya.
Beberapa saat kemudian aku baru sadar, sejak tadi tidak melihat bapak dan kakak perempuanku.
“Din, kamu tahu nggak bapakku dan Mbak Sinta ada di mana?” tanyaku pada Dina, sepupuku.
“Tadi aku lihat Mbak Sinta sama bapak kamu ada di serambi masjid.”
“Hah, ngapain di sana?”
“Nggak tahu.”
Kemudian, Dina mengajakku untuk sarapan. Saat aku kembali ke rumah, rangkaian bunga yang dibuat ibu-ibu sudah jadi tiga helai. Ada juga satu keranjang kelopak bunga di antara mereka.
“Sudah datang, sudah datang,” ucap seseorang diiringi suara ambulan yang terdengar mulai mendekat.
Orang-orang segera bangkit meninggalkan pekerjaan mereka menuju ke halaman masjid dekat rumahku.
“Ibu sudah sampai, Nek?” tanyaku sambil melangkah mengikuti nenek.
“Iya.” Nenek meraih tanganku dan menuntunnya.
Aku semakin bingung. Orang-orang berkumpul di halaman masjid dan ada ambulan berhenti di sana. Beberapa orang mendekati mobil berwarna putih itu. Mengeluarkan sesuatu seperti sebuah jasad yang tertutup kain putih dan memindahkannya ke keranda.
Keranda digotong oleh empat orang, termasuk bapak dan Pakde, lalu dipindahkan ke serambi masjid. Rangkaian bunga yang dibuat ibu-ibu tadi pagi diletakkan di atas keranda. Aku melihat sekeliling, dan tak menemukan ibuku di manapun.
Aku tersentak, saat mendengar isakan Nenek. Persis seperti yang ada di mimpiku. Aku merinding dan memeluk Nenek erat. Nenek meraih tubuh kecilku dan menggendongku.
Aku masih belum mengerti. Banyak orang sholat di depan keranda itu. Hingga saat Mbak Sinta dan calon suaminya dinikahkan di depan keranda, aku tak menemukan sosok Ibu.
“Nek, di mana Ibu?” Tangis nenek justru semakin deras saat kutanyai.
Aku tersadar, tangisan orang-orang yang kudengar semalam bukanlah mimpi.
(Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba cipta cerpen anak PaberLand 2024)
cerita yang manis dan menyayat hati