Nana sedang menyapu teras rumah. Dia sangat gembira di sore itu. “Praak ….” Tiba-tiba sapu yang diayunnya menyenggol meja. Seketika pas bunga terjatuh dan pecah karena terbentur lantai teras.
“Aku akan dimarahi Ibu.” Nana ketakutan. Beling pas bunga berserakan di lantai.
Naya mendengar suara pas bunga pecah. “Sepertinya ada yang pecah.”
Naya menjumpai Nana sedang memunguti beling di teras. “Nana, kau tidak apa-apa “kan?” tanya Naya.
Nana tidak sempat menjawab pertanyaan Naya. “Aduh …!” Nana meringis dan memegang jari telunjuknya yang tertusuk beling.
Naya memapah Nana ke tempat duduk. “Duduklah, aku akan mengambil obat!”
Naya sedikit berlari menuju ruang tengah dan mengambil kotak obat. Naya kembali menemui Nana sambil memegang kotak obat.
Nana kembali merintih saat lukanya dibersihkan. “Nana, harus kuat menahan perih,” kata Naya sambil melumuri luka dengan betadine.
Ibu Nang mendengar suara rintihan dari teras rumah. “Sepertinya ada suara rintihan.”
Ibu Nang langsung menuju teras. Ibu Nang terkejut melihat Naya sedang mengobati jari telunjuk Nana. Ibu Nang langsung bertanya, “Nak, mengapa jari telunjuk Nana terluka?”
Naya dan Nana terkejut mendengar suara Ibu mereka. Belum sempat mereka menjawab, Ibu langsung berkata dengan lembut, “Ibu bantu papah ke ruang tengah, ya …. Nanti lanjut diobati.”
Nana menjelaskan kejadian sebenarnya. “Ibu, maafkan Nana!” kata Nana. “Nana bersalah. Nana menjatuhkan pas bunga dan pecah serta membuat Ibu dan Naya sibuk.
Ibu tersenyum sambil memperbaiki letak plester luka. “Ibu tidak marah. Ibu hanya berpesan harus hati-hati dalam bekerja,” ujar Ibu Nang.
“Nah, Ibu akan membersihkan beling pas bunga.” kata Ibu kepada Naya dan Nana. Keduanya menggangguk.
Setelah membersihkan beling, Ibu kembali ke ruang tengah. Kemudian Ibu duduk di samping Nana. Begitupula Nana nampak tenang dan mulai hilang ketakutannya.
Sambil mengusap pundak Nana, Ibu Nang menyampaikan niat Ayah mereka, namanya Pak Kato. “Nak, Ayah kalian ingin mengadakan hajatan,” kata Ibu dengan suara lembut. Naya dan Nana berpandangan kemudian memandang Ibu mereka.
“Itu, mau mengadakan tradisi monggisil.” Ibu menyampaikan niat itu dengan suara penuh kelembutan. Naya dan Nana terlihat binggung karena baru mendengar hajatan monggisil.
Naya langsung memberanikan diri menanyakan. “Maaf, Ibu. Kami baru mendengar tradisi monggisil. Dapatkah Ibu menjelaskan kepada kami?”
Sejurus kemudian, Ibu menjelaskan kepada Naya dan Nana tentang tradisi monggisil. “Tradisi monggisil adalah tradisi di lingkungan masyarakat Saluan. Tradisi meratakan gigi bagi anak perempuan yang beranjak remaja,” kata Ibu Nang.
“Merataan gigi dilakukakan oleh seorang biang menggunakan batu asah ,” tutur Ibu. Saat mendengar penjelasan Ibu Nang, Nana sedikit memekik dan memandang Naya yang sedang tersenyum.
“Nah, acara tradisi tersebut, akan dilaksanan pada minggu depan. Kalian sudah siap?” Naya mengatakan siap sambil tersenyum. Sementara, Nana hanya menggangguk pelan.
Naya dan Nana berada di kamar mereka pada malam hari. “Naya, sebenarnya aku takut digisil,” kata Nana sambil memasukan buku ke tas. Lalu, Naya mengatakan bahwa monggisil tidak seseram yang dibayangkan Nana.
“Bukan seramnya, tapi ngilu yang membuatku takut,” kata Nana.
Naya memberi semangat. Nana harus kuat seperti halnya kuat menahan sakit ketika tangannya tertusuk beling.
Tiba-tiba terdengar suara Ibu Nang memanggil mereka. Naya dan Nana bergegas. Saat berada di ruang tengah, mereka melihat Ayah dan Ibu duduk.
Rasa takut Nana muncul kembali. Jangan-jangan Ayah dan Ibu akan menyampaikan tentang tradisi monggisil. “Apakah aku menerima atau menolak?” kata Nana dalam hati.
“Sini, Nak. Pekerjaan rumah sudah dikerjakan?” tanya Ayah. Naya dan Nana menjawab hampir bersamaan.
Kemudian, Ayah mengatakan bahwa monggisil perlu bagi seorang anak perempuan suku Saluan.
Pak Kato membelai rambut Nana sambil berkata, “Kalian harus kuat seperti Ayah dan Ibu.”
Pak Kato lanjut menjelaskan bahwa monggisil tidak memakan waktu lama. Alat yang digunakan pun hanya batu asah dilapisi kain putih.
“Jika Nana merasa ngilu,” kata Pak Kato. “Nana bisa mengatakan kepada biang untuk menghentikan sementara dan berkumur. Setelah itu, monggisil dilanjutkan.”
Pak Kato menjelaskan bahwa gigi yang digisil adalah gigi susu. Gigi susu diratakan dan dibersihkan agar susunan gigi baik dan sehat.
Suasana ruang tengah hening sejenak. Nana mulai terisak. “Naya bisa kuat dan Nana juga kuat,” kata Pak Kato dengan lembut. Nana semakin terisak.
Disela-sela isak Nana, Ibu Nang berujar, “Makna monggisil mengajarkan kita berkata sopan. Kita dapat menempatkan diri saat berbicara.”
Nana yang masih terisak pelan-pelan menggangguk di dekapan Ayahnya. Anggukan Nana menandakan tidak takut ngilu Naya langsung memeluk Nana dan Ayahnya. Ibu Nang tersenyum bahagia.