Tinka Tidak Malu Lagi

Tinka Tidak Malu Lagi

Oleh Hatfina Dini

 

“Assalamu’alaikum….” Yuna dan Ayu mengucapkan salam di depan rumah berpagar putih pendek. Seorang kakek berkaos oblong dan bertubuh pendek menjawab salam mereka.

“Tinka ada, Kek?” tanya Yuna.

“Kalian teman sekolahnya Tinka?” Kedua murid kelas 5 SD itu mengangguk.

“Iya, Kek, hari ini kami ada janji untuk kerja kelompok. Kami mau menjemput Tinka.”

“Kerja kelompok?” Wajah kakek mengerut bingung. “Wah, sepertinya Tinka tidak tau kalau ada kerja kelompok hari ini. Barusan saja dia pergi menemani ibunya ke pasar.”

“Nggak kok, Kek. Tinka tau kalau kita mau kerja kelompok. Tadi sebelum pulang kita sudah sepakat tempatnya di rumah Anes,” jawab Ayu.

“Iya, Kek. Aneh, tadi Tinka bilang bisa. Tinka kenapa ya, Kek?”

“Tinka kenapa?” Kakek mengulang pertanyaan Yuna.

Yuna mengangguk. “Iya, Kek. Sudah dua kali kita kerja kelompok, tapi Tinka tidak pernah datang, padahal kami sudah janjian.”

Setelah Yuna dan Ayu pulang, Kakek sibuk menerka-nerka alasan Tinka bolos dari kerja kelompok. Kakek memang sudah memperhatikan keganjilan sikap Tinka semenjak cucunya itu pindah sekolah dari Malang ke Bogor, tempat mereka sekarang. Tinka terlihat lebih pendiam dan jarang ke luar rumah. Setiap ditanya bagaimana sekolahnya, Tinka hanya menjawab pendek-pendek. Kakek merasa sudah waktunya untuk berbicara serius dengan Tinka.

Malamnya, saat Tinka sedang belajar di kamar, kakek memutuskan untuk menemui Tinka. “Tinkaaaaa….” Kakek masuk ke dalam kamar Tinka dengan hati-hati.

“Kakek?” tanya Tinka, tidak menyangka kakek akan mengunjunginya pada jam belajar. Tidak biasanya kakek seperti ini.

“Boleh Kakek masuk?” tanya kakek dengan senyum.

Kakek masuk dengan langkah pendek-pendek, mendekati Tinka yang duduk di kursi belajar. “Tadi waktu kamu ke pasar, ada teman kamu yang datang,” kata kakek ringan.

“T-teman?” suara Tinka tercekat, jadi mirip tikus yang terjepit pintu.

“Iya, Kakek yang bertemu mereka. Namanya… Yuna dan Ayu. Mereka mau menjemput kamu untuk kerja kelompok.” Kakek duduk di pinggir ranjang dekat meja belajar Tinka. Dilihatnya tangan Tinka bergerak gugup. “Kenapa kamu tidak datang kerja kelompok, Tinka? Mereka bilang kamu sudah dua kali tidak datang. Kakek boleh tau alasannya?”

Tinka bertambah gugup. Lama-lama tubuhnya berguncang kecil diiringi isak tangis.

“Ada apa, Tinka? Kamu bisa bicara dengan Kakek,” kata kakek lembut.

“Aku m-malu, Kek…,” jawab Tinka terbata-bata. “Tinka takut teman-teman mengejek Tinka karena badan aku….”

Akhirnya Tinka mengeluarkan rahasia yang ia simpan semenjak kepindahannya dari Malang. Tubuhnya memang pendek, sangat pendek dibanding tinggi normal seusianya. Di SD-nya yang baru, Tinka merasa banyak yang suka memperhatikan dan membicarakan tubuhnya yang pendek. Hal itu sangat mengganggu Tinka dan membuatnya menyendiri. Ia sengaja tidak datang setiap ada kerja kelompok, karena takut teman-teman akan mengejeknya. Bisa jadi mereka tidak berani melakukannya di sekolah karena ada guru, tetapi siapa yang tahu di luar sekolah? Bisa jadi mereka berani mengolok-olok dirinya.

“Kamu malu karena tubuhmu pendek, Tinka?”

Tinka mengangguk. Air matanya jatuh satu-satu dari matanya.

“Apa kamu juga malu punya kakek pendek seperti ini?”

Tinka menggeleng cepat, air matanya bertambah deras. “Nggak Kek, aku nggak malu sama Kakek. Tinka malu sama diri aku sendiri. Hu-hu-hu….” Tangis Tinka bertambah keras. Ia sadar rahasianya sudah membuat kakek yang juga bertubuh pendek terluka. Memang betul, tubuh pendeknya memang warisan dari sang kakek. Kedua orangnya memiliki tinggi normal orang Indonesia. Ia sendiri yang berbeda, tetapi serupa dengan sang kakek.

 “Aku nggak pernah malu dengan kakek,” kata Tinka pelan.

“Kakek tahu itu, Tinka. Dan apa kamu pernah melihat kakek malu dengan tubuh kakek?”

Tinka diam. Ia mengingat-ingat apakah pernah melihat kakek bersembunyi dari banyak orang. Tidak pernah. Ia hanya ingat keramahan kakek dengan para tetangga dan keluarga. Tinka juga tidak pernah mendengar seorang pun mengejek kakek.

“Betul. Kakek tidak pernah malu dengan tubuh Kakek, Tinka. Apa kamu tau mengapa?” Tinka menggeleng lagi.

“Kalau kamu ingin tahu, besok pagi ikut kakek berkeliling kota dengan sepeda,” kata kakek dan langsung ke luar dari kamar Tinka tanpa berkata apa-apa lagi.

Esok paginya, pagi hari Minggu, kakek memenuhi janji. Kakek mengajak Tinka bersepeda setelah sarapan.

“Kita mau ke mana, Kek?” tanya Tinka bingung.

Kakek bersiul senang. “Kakek akan menunjukkan kamu sesuatu. Kamu siap?”

Kakek mengayuh sepeda ke luar kompleks, menuju pusat kota yang Tinka tau berlabel car free setiap hari Minggu.

“Lihat!” Tiba-tiba kakek menunjuk ke suatu arah. Seorang ibu-ibu bertubuh pendek dan sedikit bungkuk berjalan dengan beberapa anak di sisi jalan menuju alun-alun kota. “Kamu lihat Tinka, ibu-ibu itu juga pendek dan dia memiliki anak-anak. Apa kamu pikir ibu itu malu dengan tubuhnya?”

Tinka diam. Kakek meneruskan perjalanan. Kakek mengangkat telunjuknya ketika mereka melewati gedung balai kota dan di sana berdiri seorang ibu-ibu bertubuh pendek lainnya. Kakek masih terus menunjuk orang-orang bertubuh pendek yang mereka lihat sepanjang jalan. Hingga sampai di salah satu sudut taman kota, kakek menghentikan sepeda mereka.

“Kamu masih ingat Mbak Lela, tetangga kita di Malang. Ia juga bertubuh pendek, kan? Tapi dia tidak malu melayani pelanggan warnetnya. Tinka juga lihat kan, orang-orang tadi, mereka juga bertubuh pendek seperti kita. Tapi mereka tidak malu dan tetap melakukan aktivitas seperti orang lain.”

Tinka menunduk. “Bagaimana caranya agar tidak merasa malu, Kakek?”

Kakek tersenyum. “Bekerja, Tinka. Berkarya. Jangan melulu mengeluh tentang kondisi kita. Kalau kita begitu terus, kita nggak akan sempat melakukan apa-apa dan membuat orang mengejek kita.”

“Kita harus bergerak, bekerja, berkarya agar orang-orang tidak punya kesempatan untuk mengejek kita. Begitulah Tinka, cara kakek dan orang-orang itu untuk bertahan hidup. Apa kamu mau melakukannya?”

Tinka mengangguk. Dia siap melakukan apa pun itu seperti yang diucapkan kakek. Dia tidak akan membiarkan orang mengejeknya. Tubuhnya memang pendek, tapi bukan penghalang segalanya.

***

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar