Tongkonan dan Kopi Toraja

Bukit-bukit masih diselimuti kabut tebal.  Udara dingin berhembus memasuki rumah yang terbuka. Di dapur, seorang anak perempuan sedang menunggu ibunya menyeduhkan kopi untuk penjaga tongkonan mereka.

“Berilah kopi ini bersama makanan di piring saji itu, lalu segeralah pulang. Udara masih sangat dingin,” titah ibunya pada Kamasean, putrinya yang manis berkulit kuning langsat.

Kamasean mengangguk patuh, diambilnya satu nampan berisi piring saji, teko kopi dan satu buah cangkir. Dia berjalan keluar rumah tanpa menggunakan jaket atau sarung tangan. Gadis itu sudah terbiasa dengan udara dingin di tempatnya. Baginya udara dingin ini sudah menyatu dengan dirinya.

Pohon-pohon pinus berjejeran di sekitar rumah dan tongkonan keluarganya. Nampak butiran embun bergelantungan bagaikan mutiara di daun pinus. Kamasean sangat menyukai suasana ini, dia merasa berada di dalam surga yang indah. Hidup bersama orang tuanya, udara yang sejuk, alam yang indah, dan sebuah tongkonan keluarganya yang sudah puluhan tahun berdiri dengan kokoh sebagai warisan budaya lokal di tempatnya tinggal, Tana Toraja.

Kamasean menaiki beberapa anak tangga untuk masuk ke dalam tongkonan. Pintu kayu berderit ketika dibuka, seketika penjaga itu terjaga dari tidurnya.

“Siapa di sana?” tanya penjaga sambil menghunus pedang.

“Aku, Kamasean,” jawab gadis itu takut-takut. Kamasean tidak tahu mengapa orang tuanya menunjuk lelaki tua itu sebagai penjaga tongkonan mereka. Tubuhnya sangat kurus tetapi terlihat kekar. Senjatanya berupa pedang tak pernah lepas dari tangannya. Kamasean tidak tahu untuk apa senjata itu, apakah untuk berburu binatang?

Penjaga tongkonan yang disapa dengan sebutan paman itu tertawa sambil menyarungkan pedangnya kembali. Dia lalu merapikan selimut kain tebal yang dipakainya menghangatkan badan.  Di sebelahnya ada meja kecil yang disediakan Ibu untuk menyimpan makanan dan minuman. Kamasean menyimpan nampan di atas meja itu. Paman terlihat sangat senang melihatnya. Segera dituangkan air kopi dari teko ke dalam cangkir kemudian diciumi aroma segar yang keluar dari cangkir itu. Kamasean sempat pula menghirup aroma khas kopi, tetapi gadis itu tidak terlalu peduli.

Ketika dia hendak berbalik pulang, Paman menahannya seraya berkata. “Tidakkah kau cium aroma khas kopi ini? Setiap aku mengendusnya, pikiranku langsung tertuju pada masa mudaku.”

Kamasean menggeleng, tetapi kemudian dia mengakuinya. “Ya, aku sempat menghirupnya pula. Sangat segar, tapi aku tidak suka kopi.”

Paman tertawa renyah, “Hehehe, sepertinya belum suka bukan tidak suka. Kalau kau sudah besar, aku yakin kau akan suka kopi ini. Bagiku, kopi adalah kenangan terindah bagi masa lalu, begitupun dengan tongkonan ini, tak akan terlepas dari semua kenangan itu.”

Gadis itu melihat paman tua terus saja menciumi aroma kopinya, membuat Kamasean menjadi penasaran. Apa yang membuat paman ini begitu menyukai kopi?

“Kenangan apa, Paman? Apakah seru?” tanyanya sambil mendekat.

“Duduklah kemari, dengarkan cerita Paman sambil kau tatap wajah tuaku ini. Agar kau bisa membuat tau-tau setelah aku mati.”

Kamasean bergidik mendengarnya, tetapi paman itu memang sudah tua. Jikalau dia mati, maka akan dibuatkan boneka berwajah orang mati itu, yang disebut Tau-tau, untuk ditaruh di mulut tebing tempat peti mati disimpan. Begitulah orang Toraja memperlakukan orang yang sudah meninggal, lengkap dengan upacaranya.

“Dahulu, aku adalah pejuang daerah ini. Tempatmu dilahirkan ini sangat kaya akan biji kopi yang lezat. Ini adalah kopi terharum dan ternikmat di seluruh dunia. Banyak sekali yang ingin merampasnya dari kami. Aku adalah satu dari kelompok yang mempertahankan wilayah ini. Banyak yang sudah mati, aku tidak tahu mengapa aku panjang umur. Tetapi aku senang, karena bisa lebih lama berdiam diri di tongkonan ini, sebuah bangunan warisan budaya yang tidak boleh mati. Mungkin saja aku akan mati nanti, tapi tongkonan ini tetap akan berdiri selama bumi Toraja berdiri.”

“Mengapa Paman selalu membawa pedang?” tanya Kamasean melepas penasarannya.

“Ini adalah temanku, dulu pedang ini yang membantuku menghalau semua musuh. Sekarang dia hanya sebagai teman tidur. Aku tidak akan melepaskannya. Kelak jikalau aku mati, buatlah tau-tauku sedang memegang pedang.”

Gadis itu tersenyum manis. “Aku akan bilang pada Ibu, mungkin dia yang akan membuat tau-tau Paman.”

Paman tua terkekeh. “Hehehe…keluargamu adalah keluarga yang paling baik. Kakekmu adalah teman seperjuangaku, dia diwarisi tongkonan yang sangat indah oleh leluhurnya. Dalam pertempuran kakekmu terluka, dia kemudian  dirawat  dalam tongkonan ini. Aku setia menemaninya berjuang melawan sakit, tetapi kakekmu tidak bertahan. Bagi kami dia adalah pahlawan, aku tak kan pernah melupakan dan meninggalkannya. Karena itulah aku setia menjaga tongkonan ini hingga aku mati.”

Kamasean mendongak, tongkonan ini memang sangat indah. Sebuah bangunan persegi empat dengan atap bermodel perahu. Dinding-dindingnya dipenuhi hiasan berupa simbol-simbol. Terlihat kokoh dan bercahaya. Dia tahu, paman tua inilah yang sering membersihkannya dari debu. Menyapu bagian dalam dan halaman luar. Jikalau dia sudah tidak ada, siapakah nanti yang akan merawatnya? Kenapa sekarang dia selalu mengatakan mati?

Kopi dalam cangkir baru habis setengah, paman tua meminumnya perlahan-lahan. Setelah itu dia memakan cemilan yang dibuat Ibu sambil menoleh kembali padanya.

“Kamasean, belajarlah yang rajin. Rawatlah tongkonan ini dengan hatimu, lestarikan budayamu maka kau akan menjadi orang yang selalu mensyukuri perjuangan orang-orang dahulu.”

Gadis itu mengangguk. Dia memang tidak rela jikalau tongkonan ini dirusak atau dibiarkan terbengkalai.

“Aku akan belajar dari Paman cara merawatnya,” sahut Kamasean bersemangat.

“Gadis yang rajin, Paman suka mendengarnya. Sekarang pulanglah, matahari sudah nampak, tetapi udara masih dingin. Setelah menghangat datanglah lagi sambil membawa perlengkapan yang dibutuhkan. Aku ingin segera mengajari generasi penerus untuk merawat warisan budaya ini sebelum aku mati.”

Kamasean tersenyum kecut. Lagi-lagi paman mengatakan kata mati. Hal itu membuatnya semakin bersiap-siap menjadi orang yang akan menjaga tongkonan ini sesudahnya.

“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar