Tradisi Mencari Jelmaan Putri Mandalika

Liburan sekolah telah tiba, Runi senang sekali!

Liburan kali ini, Runi diajak kedua orang tuanya berlibur ke rumah Paman dan Bibi yang berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Runi belum pernah bertemu mereka. Ini pertama kalinya Runi berkunjung ke sana. Rumah Paman dan Bibinya berada tidak jauh dari Pantai Kuta Mandalika. Hanya berjarak dua kilometer saja dari rumah mereka.

“Besok ada tradisi Bau Nyale. Nanti kita main ke pantai sana, pasti ramai sekali,” ujar Ardan, sepupunya.

“Tradisi apa itu?” tanya Runi penasaran.

“Menangkap cacing warna-warni di laut. Cacing-cacing itu dipercaya jelmaan Putri Mandalika.”

Bibi yang baru saja datang dari dapur dan mendengar percakapan mereka, akhirnya ikut menimbrung. “Runi mau dengar kisah dari Putri Mandalika?”

Runi tersenyum antusias. “Mau, mau!”

Bibi mulai bercerita. “Putri Mandalika adalah putri yang cantik jelita dan baik hatinya. Sehingga, banyak pangeran yang berlomba-lomba memenangkan hati sang putri. Bahkan, mereka sampai bersaing demi memperebutkan Putri Mandalika. Persaingan itu akhirnya mengancam kerukunan masyarakat Lombok.”

“Putri Mandalika yang baik hati itu memilih untuk mempertahankan kerukunan masyarakat Lombok. Ia kemudian membuat keputusan besar berdasarkan petunjuk dari hasil semadinya. Sang putri mengumpulkan seluruh pangeran yang melamarnya di Bukit Seger, Mandalika.”

“Putri Mandalika tidak memilih satupun pangeran yang melamarnya, karena rasa cintanya yang begitu besar kepada masyarakat Lombok. Putri Mandalika kemudian terjun dari atas bukit dan menceburkan dirinya ke laut. Semua orang yang menyaksikannya langsung mencari keberadaan sang putri. Sayangnya, tidak ada yang bisa menemukan ke mana Putri Mandalika menghilang.”

“Setelah kepergian sang putri, muncullah cacing warna-warni di tempat Putri Mandalika menghilang. Cacing warna-warni itu yang kemudian disebut nyale. Masyarakat Lombok percaya, cacing-cacing itu adalah jelmaan Putri Mandalika.”

Runi terharu mendengar kisah itu. “Putri Mandalika pasti sangat dihormati masyarakatnya. Ia rela berkorban demi menjaga kerukunan masyarakatnya.”

“Makanya, Run. Kita terus mempertahankan tradisi Bau Nyale untuk menghormati pengorbanan Putri Mandalika,” sahut Ardan.

Runi jadi tidak sabar menantikannya!

Ketika hari baru berganti, Runi sudah dibangunkan pada pukul dua dini hari. Suasana di luar masih gelap gulita. Walaupun masih mengantuk, rasa antusiasnya lebih besar. Runi kemudian mencuci muka agar kantuknya hilang.

Bau Nyale memang dilakukan sejak pagi-pagi buta seperti ini. Tepatnya ketika air laut sedang surut. Hal itu dilakukan agar lebih mudah dalam mencari nyale di pinggir pantai.

“Ardan, ayo ke pantai! Kamu belum bangun, ya?” Runi mengetuk pintu kamar Ardan, berniat membangunkannya. Tidak ada sahutan. Huh! Dasar anak itu, pasti belum bangun.

“Runi cari siapa?” tanya Paman dari luar rumah.

“Ardan belum bangun, ya, Paman?”

“Dia sudah bangun, Run. Tuh, anaknya di luar. Dia juga tidak sabar seperti kamu. Ardan selalu menantikan tradisi ini setiap tahunnya.” Paman terkekeh kecil setelahnya. Runi jadi malu menuduh Ardan belum bangun tidur.

Gadis itu kemudian menghampiri Ardan di luar rumah. Ardan sedang menyiapkan jaring untuk menangkap nyale. Dia juga memastikan senter kepalanya berfungsi. Karena matahari belum muncul, maka diperlukan alat bantu penerangan.

Ketika semuanya sudah siap, Runi dan keluarga berangkat menuju Pantai Kuta Mandalika menggunakan mobil pribadi. Perjalanan yang ditempuh tidak sampai lima belas menit. Terlihat pantai sudah ramai dengan banyak orang yang juga ingin menangkap Nyale. Ada juga turis asing yang ikut menyaksikan bagaimana tradisi ini berlangsung. Tidak sedikit juga dari mereka yang ikut mencoba mencari cacing warna-warni itu.

Penerangan yang berasal dari senter membuat kerumunan orang terlihat menyala dalam gelap. Pemandangan ini indah sekali bagi Runi. Ibarat bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.

Runi mengikuti Ardan ketika mencari nyale. Ia diberikan sebuah jaring dan sebuah ember kecil untuk mewadahi nyale yang berhasil ditangkap. Runi dan Ardan juga diawasi orang tua Runi beserta Paman dan Bibi agar tidak mencari terlalu jauh dari pinggir pantai.

Ternyata tidak gampang menangkap cacing warna-warni itu. Cacing-cacing itu mudah lepas dari jaring. Belum lagi, semua warga berebut untuk menangkap nyale tersebut. Begitu juga Runi dan Ardan yang berlomba menangkap nyale sebanyak-banyaknya. Mereka akan tertawa bersama-sama ketika gagal menjaring nyale.

Sesekali, Ardan jahil mencipratkan Runi dengan air. Runi langsung membalasnya dengan menyibak air ke Ardan. Semuanya merasa gembira dalam kebersamaan ini. Karena tujuan utama dari tradisi ini adalah untuk menjaga kerukunan antarwarga Lombok, seperti yang diharapkan Putri Mandalika.

Runi dan keluarga berlanjut mencari nyale sampai siang hari. Rasanya melelahkan sekaligus menyenangkan. Ardan dan Runi memamerkan hasil tangkapannya kepada orang tua mereka masing-masing. Hasil yang didapat keduanya cukup banyak. Runi sendiri cukup bangga karena berhasil menangkap nyale sebanyak itu untuk pertama kalinya.

“Nantinya nyale ini akan dibuat apa?” tanya Runi.

“Biasanya kita masak jadi pepes nyale. Jangan salah, lho. Nyale ini mengandung banyak protein,” jawab Bibi.

Gadis itu langsung menutup mulutnya sambil menggelengkan kepala. “Menangkap nyale, sih, memang asyik. Tapi, aku kabur kalau disuruh memakannya.”

“Ah, kamu belum coba saja, Runi. Kalau sudah makan pasti ketagihan,” ujar Ardan.

Semua tertawa mendengar percakapan keduanya. Meskipun begitu, tradisi ini merupakan pengalaman berharga bagi Runi. Ketika masuk sekolah nanti, ia akan menceritakannya di hadapan guru dan teman-teman!

***

“Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar