Karya : Zahrotul Mujahidah
Semalam, mama memarut kelapa dan membuat santan sangat banyak. Lalu mama membuat bubur sumsum. Jumlahnya juga sangat banyak. Mama tak mencicipi rasanya. Kata Mama, masakan bubur sumsum itu khusus untuk acara yang akan dilaksanakan besok. Aturannya masakan itu tidak boleh dicicipi terlebih dahulu.
“Buat apa sih, Ma? Kok bikin bubur sumsum banyak banget?” tanyaku.
“Buat acara Serabi Kocor besok, Cantik,” jawab Mama sambil mengaduk campuran tepung beras, santan itu.
Kata mama tujuan mengaduk itu biar bisa rata matangnya. Kalau tidak diaduk, nanti akan menjadi kerak di bagian bawah panci.
“Ada juga yang buat sarapan besok pagi lho,” kata mama setelah mematikan kompor.
“Hah, sarapan bubur sumsum?” tanyaku tak percaya.
“Kenapa, Cantik?”
“Aku nggak suka, Ma.”
“Kamu harus coba. Kali ini pasti kamu pasti suka.”
“Nggak mau, aku mau makan mie goreng saja pas sarapan besok.”
***
Hari ini, siang harinya di dusunku ada acara yang baru pertama kali kulihat. Orang-orang di dusunku berkumpul di pematang sawah. Bukan untuk menanam atau memanen hasil pertanian. Para petani di dusunku belum menanam padi dan tanaman lainnya. Tanah dan sawah sudah mengering karena musim kemarau panjang.
Pada pematang sawah itu dijejer wadah makanan berisi bubur sumsum. Wadahnya bermacam-macam. Ada yang diwadahi panci stainless, mangkuk kaca berukuran besar, ada juga yang berbahan dari plastik.
Bubur sumsum itu makanan yang tidak kusukai. Terbuat dari tepung beras yang dimasak dengan air santan kelapa dan diberi sedikit garam dan daun salam.
Aku pernah melihat Mama membuat bubur itu. Untuk makan bubur sumsum itu, harus diberi juruh agar lebih nikmat. Juruhnya terbuat dari gula Jawa yang direbus dan diberi daun pandan wangi.
Mama dulu mengajakku makan bubur itu. Tapi hanya habis beberapa sendok. Rasanya aneh sekali di lidahku. Jadi, sisanya kuberikan kepada Mas Kevin, masku. Mas Kevin sangat menyukai bubur itu.
“Makannya itu pas masih anget, Dik. Nikmat banget!” kata Mas Kevin sambil mengacungkan ibu jari kanannya.
“Meski hangat, aku tetap nggak suka, Mas. Nggak enak!”
Mama tersenyum saat mendengar obrolan kami.
“Kenapa nggak suka, Cantik?” tanya Mama.
“Aku suka makanan yang gurih dan renyah. Kayak snack-snack gitu. Bukan seperti bubur. Dilihat saja aneh.”
“Kamu ini, diberi makanan sehat kok malah pilih jajanan snack yang banyak MSG-nya to, Cantik.”
Sejak merasakan bubur sumsum itu, aku tidak lagi mau mencicipi kalau ada bubur sumsum di meja makan.
***
Malam harinya.
Sepulang dari shalat Isya, mama duduk di ruang keluarga. Mama membaca buku yang sangat tebal meski mama adalah ibu rumah tangga. Kata mama, dengan membaca itu akan membuat pengetahuan luas. Manfaatnya pun banyak.
Aku yang sudah selesai belajar, akhirnya mendekati mama.
“Ma, tadi di pematang sawah kok banyak orang yang meletakkan wadah makanan ya? Itu acara apa sih?” tanyaku.
Mama menutup buku dan meletakkannya di pangkuannya.
“Oh, itu tradisi Serabi Kocor, Cantik. Tadi malam Mama cerita kalau bikin bubur sumsum untuk acara Serabi Kocor kan? Nah, Serabi Kocor itu termasuk tradisi lama sekali nggak dilaksanakan. Itupun tidak semua mengenal tradisi itu. Di kampung sebelah kita itu nggak ada tradisi seperti itu. Biasanya dilakukan kalau musim kemarau panjang.”
Lalu mama menceritakan kalau tradisi ini lama tidak dilaksanakan karena musim hujan segera datang. Kalau musim kemarau panjang, masyarakat biasanya shalat meminta hujan atau Shalat Istisqa dulu. Baru setelah itu dilaksanakan Serabi Kocor.
Mereka menyiapkan bubur sumsum dulu sebelumnya. Bubur itu dibagi menjadi dua. Ada yang digunakan untuk kenduren atau kendurian, untuk saling lempar bubur ke sesama tetangga. Kalau orang-orang di dusunku menyebut ceprot-ceprotan bubur sumsum. Ada juga yang khusus untuk dimakan bersama.
“Kok aneh ya, Ma. Itu kan mubadzir namanya. Makanan kok dilempar-lempar begitu.”
“Namanya juga tradisi biar bisa turun hujan dan bisa memanen padi atau tanaman lain. Ya seperti berbagi kebahagiaan dan rasa sayang kepada orang lain. Kalau berbagi kebahagiaan atau rezeki, kan akan semakin banyak rezeki yang diberikan Allah.”
Oh, aku baru paham. Ketika ikut ngaji TPA di masjid kampung, ustadz juga pernah mengatakan kalau orang yang senang berbagi kepada sesama, Allah akan menambah rezekinya.
“Oh iya. Bubur sumsum yang menjadi menu pokok acara Serabi Kocor itu simbol dari Air Susu Ibu yang sangat bermanfaat bagi anak atau bayi. Kamu tahu manfaatnya kan, Cantik?”
Aku mengangguk. Air Susu Ibu atau ASI itu jadi makanan pokok bagi bayi. Kata mama, bayi membutuhkan ASI sampai umur dua tahun.
“Ada rasa kasih sayang saat seorang ibu menyusui anaknya. Jadi, benar kalau tradisi ini mengajarkan kasih sayang kepada sesama manusia,” lanjut Mama.
Sebuah tradisi yang sangat kuat nilai agama dan dekat dengan budaya dusun kami.
“Serabi Kocor tadi termasuk salah satu cara nguri-uri kabudayan lho, Cantik.”
“Nguri-uri kabudayan? Maksudnya apa, Ma?”
“Melestarikan kebudayaan yang hampir hilang. Dengan adanya Serabi Kocor itu anak-anak seusiamu bisa tahu kalau ada tradisi baik yang dilakukan pada musim kemarau panjang.”
“Oh iya, Ma. Benar!”
Tiba-tiba aku ingat akan tugas dari Bu guru. Bu Guru memberi tugas untuk membuat tulisan tentang tradisi yang ada di sekitar rumah atau sekolah. Kukira aku tahu, apa yang akan kutuliskan.
Aku pun berjanji untuk belajar menyukai bubur sumsum sebagai salah satu makanan tradisional yang harus dilestarikan.
____
Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024.
#PaberLand #ForumPenulis #ForumPenulisCeritaAnak #ForumPegiatLiterasi #BacaanAnak #PenerbitBukuAnak
Branjang, 1-2 Maret 2024
Gambar bubur sumsum. Sumber: halodoc.com