Uhuk, uhuk
Utari Ninghadiyati
“Huam!” Kubi menguap lebar.
Ia membuka mata kirinya dengan malas. Mengintip. Lubang pintu masuk ke sarang Kubi terlihat temaram. Sepertinya hari masih gelap.
Sambil merentangkan tangannya, Kubi menutup kembali matanya dan melanjutkan tidur. Digerak-gerakkan badannya untuk mendapatkan posisi yang nyaman.
“Kriuk,”
Kubi memasang telinganya dengan baik. Mencoba mencari asal suara yang tadi terdengar.
“Hm, mungkin hanya perasaanku saja,” ujar Kubi dengan malas dan bersiap tidur lagi.
“KRIUK.KRIUK.”
Kubi kaget. Suaranya terdengar keras sekali. Kubi memegang perutnya. Suara itu berasal dari sana. “Ya, ampun ternyata perutku berbunyi. Tapi di luar kelihatannya masih gelap, masa aku sudah lapar?” tanyanya seperti tidak percaya.
Sebagai seekor lebah kayu, Kubi memang tidak pernah makan di malam hari. Dia akan tertidur lelap sepanjang malam. Kubi baru akan kembali mencari makan saat pagi tiba.
Dengan malas, Kubi membuka matanya lebar-lebar. Merentangkan tangan dan kakinya. Menggerakkan sayapnya agar kantuknya hilang.
Satu, dua, tiga, Kubi berjalan menuju muka lubang.
“Sepertinya ada yang aneh, kenapa cahaya tidak terlalu terang ya?” tanya Kubi penasaran.
Semakin mendekati pintu, Kubi mulai mencium bau asap.
“Uhuk. Uhuk,”
Kubi terus berjalan sambil sesekali terbatuk.
Di muka lubang, Kubi melihat hari sudah siang tetapi sinar matahari terlihat redup. Bau terbakar semakin tercium. Kubi sampai berulang kali menutup lubang hidungnya.
“Aduh, asap apa ini?” Kubi benar-benar bingungn. Ia keluar dan merayap di dekat sarangnya. Sayapnya digerakkan untuk mengipasi asap. Tetapi asapnya tidak mau pergi.
Kubi mengerakkan sayapnya semakin kuat. Tetapi asapnya masih belum pergi.
Kalau begitu gerakkan sayap lebih kuat lagi. Tetapi, asapnya tidak juga hilang.
Uh, uh. Kubi jadi kelelahan.
Kriuk. KRIUK. Perutnya kembali berbunyi. Suaranya lebih keras dari sebelumnya.
Tidak ada pilihan, Kubi harus mencari makan. Asap membuat semuanya terlihat samar-samar. Kubi jadi kesulitan mencari bunga-bunga.
“Sebaiknya aku berjalan saja. Siapa tahu di ujung papan aku bisa melihat dengan lebih jelas,” ujar Kubi.
Tap, tap, tap.
“eh, bukankah itu pucuk daun?” Kubi bertanya dengan gembira.
Kubi mengepakkan sayapnya dan hinggap di pucuk daun sirih. Di sini tidak ada bunga untuk Kubi.
Lagi-lagi Kubi berjalan. Satu, dua. Satu, dua. Uhuk, uhuk. Asap membuat Kubi sesak.
“Aduh, perutku sudah lapar sekali.”
Di ujung daun sirih, Kubi samar-samar melihat sesuatu bergoyang-goyang.
“Oh, itu bunga anggrek hutan. Di dekatnya ada pohon jambu,” seru Kubi senang.
Kubi kembali mengepakkan sayapnya dan hinggap di bunga anggrek. Bunganya indah, tetapi Kubi tidak bisa mendapatkan serbuk sari.
Makanan kesukaan Kubi ada di pohon jambu.
“Bisa, aku pasti bisa terbang ke pohon jambu,”
Kubi kemudian terbang sambil terbatuk-batuk. Untunglah Kubi bisa hinggap di pucuk daun jambu dengan selamat. Kubi lalu berjalan hingga ke ujung dahan lainnya. Siapa tahu ada bunga jambu tumbuh.
Wrr. Wrr.
Kubi mendengar suara kepak sayap di dekatnya. Suaranya halus sekali. Lebih halus dari suara kepak sayap Kubi.
“Lebah, apakah itu kamu?” tanyanya sambil berteriak lalu terbatuk.
“Iya, aku lebah! Kubi, apakah kau sakit?” Lebah balik bertanya.
“Asap membuat sesak,” jawab Kubi singkat.
Lebah lalu terbang mendekati Kubi. “Sepertinya kau perlu istirahat.”
Kubi mengangguk, “tapi, perutku lapar.”
“Masih ada sedikit serbuk bunga, ambillah. Aku bisa mencari di tempat lain,” kata Lebah dengan ramah.
Kubi tersenyum, “terima kasih kawan, setelah makan aku akan kembali ke sarang.”
Lebah lalu terbang meninggalkan Kubi.
Sekarang Kubi dapat makan sampai perutnya kenyang. Setelah itu Kubi kembali ke sarang dan beristirahat.