Ulasan Buku: Bulan Dimakan Grana

Judul Buku          : Bulan Dimakan Grana

Penulis                 : Dian Onasis, dkk

Penerbit              : BITREAD Publishing

ISBN                      : 978-602-6416-69-8

E-ISBN                  : 978-602-5804-56-4

Tebal                     : 131 Halaman

Terbit                    : Juli 2017

Buku Bulan Dimakan Grana ini merupakan kumpulan cerita pendek yang dihasilkan oleh komunitas Forum Penulis Bacaan Anak (PBA), sebagai bentuk rasa syukur karena anggotanya telah mencapai 20.000 orang pada tahun 2017. Wow, angka yang fantastis!

Dalam buku ini, terdapat 20 cerita pendek dengan genre realis muatan lokal yang ditulis oleh 20 orang penulis pegiat dan anggota PBA. Selain itu, buku ini juga diperindah dengan ilustrasi yang dikerjakan oleh dua belas orang ilustrator anggota PBA. Wah, sebuah kolaborasi yang menarik dan menjanjikan!

Tema dalam dua puluh cerita pendek tersebut juga beragam, mulai dari kisah keseharian, komedi, petualangan, hingga misteri. Semuanya sarat akan kearifan lokal. Melalui cerita-cerita yang dipaparkan, kita bisa sekaligus belajar tentang sosial budaya beberapa daerah di Indonesia, makanan khas, serta petuah-petuah lokal yang unik.

Misalnya, Bulan Dimakan Grana, yang menjadi judul buku ini. Siapa sangka kalau fenomena bulan dimakan grana yang tidak dipercaya oleh Danu, ternyata menyelipkan kisah menyentuh tentang Nara dan bapaknya yang terpisah samudra.

Dalam cerita Ketika Lian Berubah, absennya Lian dalam beberapa sesi latihan Tari Jaranan, ternyata memberikan kejutan yang mencengangkan teman-temannya dalam perayaan Cap Go Meh pada kemudian hari.

Ada kisah lucu mengenai Andrea, yang fisiknya sangat berbeda dengan abangnya. Ketika ia dan keluarganya melakukan perjalanan ke Ambon, teka-teki yang selama ini menyelimuti hari-hari Andrea terjawab dengan cara yang kocak.

Atau, ikuti keseruan Dina menghadiri acara baralek di Sumatra Barat. Dina begitu antusias memakan pinyaram, makanan yang digoreng dari campuran tepung beras, santan, dan gula aren. Selain itu, Dina juga sangat penasaran ingin mengenakan suntiang di kepalanya. Kira-kira, apa itu suntiang? Dan apakah Dina yang masih anak-anak boleh mengenakannya?

Petualangan Alvi sekeluarga mengikuti dinas ayahnya ke Banjarmasin juga tidak kalah seru. Di sana, mereka berkeliling pasar terapung, mencari jeruk limau, dan mencicipi soto Banjar.

Omong-omong masalah kuliner, sepertinya sebagian isi cerita dalam buku ini memang membahasnya. Liha saja si Cantika yang penasaran dengan kipo, makanan khas tradisional Yogyakarta. Atau si Dodi dan teman-temannya yang suka mencari kul di lahan sawah kemudian mengolahnya menjadi sate.

Lalu ada juga cerita sedih tentang Kadek yang mengikuti upacara ngaben untuk kakeknya. Bagaimana cara Kadek menghapus kesedihan dan merelakan kakeknya ketika ia harus mengikuti selangkah demi selangkah upacara tersebut?

Sekeping kisah tentang Saul Asso, anak pedalaman yang sedang senang-senangnya mandi memakai sabun dengan akhir yang benar-benar tak terduga, sungguh sangat menyayat hati.

Bisa dibilang, kumpulan cerita pendek dalam buku ini rasanya ‘nano-nano’. Sebuah paket komplet kisah tentang anak-anak dengan segala suka dukanya, yang berusaha melalui proses dengan caranya.

Jika setiap kisah dicermati dan didalami, akan menghadirkan simpati dan empati mengenai keragaman yang mewarnai kehidupan.

Salut untuk komunitas PBA yang telah berjalan bergandengan tangan, berkolaborasi antar sesama anggotanya sampai sejauh ini, dalam komitmennya menghadirkan bacaan-bacaan yang mendidik dan menghibur untuk anak-anak Indonesia.

Tentu, keberadaan PBA sangat berarti untuk literasi. Dalam perjalanan dan tantangan ke depan, berharap PBA makin solid dan buku-buku yang dihasilkan semakin banyak dan bervariasi.

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Ulasan Buku: Bulan Dimakan Grana”

Tinggalkan komentar