Oleh: Dwie Elsker Sulistyo
Kaki Violet menendang-nendang kotak kayu di depannya. Ia gelisah. Besok hari ulang tahunnya yang ke sepuluh. Ia ingin hilang ditelan bumi sehari itu saja.
Sesuai tradisi, peri berusia sepuluh tahun harus menunjukkan kemampuannya mengubah warna bunga. Dan Violet belum berhasil melakukannya.
Violet menyesal kemarin selalu menunda ajakan Ibu untuk menemui Bibi Merlina. Di saat ia sudah mau pergi malah Bibi Merlina sakit. Jadi, Bibi Merlina tidak bisa mengajari Violet.
Entah berapa lama Violet mengurung diri hingga terlelap di gudang. Tiba-tiba Ibu membangunkannya dan menyuruhnya bersiap. Violet terkejut. Ia tak bisa sembunyi lagi.
Violet tampak cantik dengan gaun ungu, selaras dengan sayapnya. Ibu membimbing Violet menuju halaman yang sudah dihiasi aneka bunga. Para peri juga sudah berkumpul di sana.
“Ayo, Vio. Kamu bisa memulainya,” kata Ibu.
Violet ragu mengangkat tongkatnya. Bibirnya mengucap beberapa kata, dan boom… Bunga mawar merah di depannya berubah menjadi ungu.
Tepuk tangan mengiringi keberhasilan Violet. Meskipun heran dirinya berhasil, Violet sangat senang.
“Ternyata tanpa belajar pun aku sudah bisa,” gumamnya sedikit sombong.
Tok tok tok….
Ketukan cukup kencang membuat kepala Violet seakan berputar-putar. Ketika sadar, dirinya sudah berada di gudang lagi.
Belum hilang terkejutnya, pintu gudang terbuka. Ibu berdiri di sana.
“Dicari ke mana-mana ternyata di sini. Ayo, semua sudah menunggu,” ujar Ibu sambil menggandeng tangan Violet.
“Sebentar, Bu. Aku kan sudah berhasil melakukannya. Semua juga melihatnya,” kata Violet.
“Kamu baru akan melakukannya, Nak. Semoga berhasil, ya.” Ibu mengusap kepala Violet.
Ternyata tadi hanyalah mimpi. Kepala Violet kembali berdenyut.