Untuk Apa Lelah Mendaki?

Cerita ini sudah dipublikasikan dalam antologi RAMADAN PALING BERKESAN.

Brrr!
Udara dingin bertiup kencang dari luar ke garasi.
Bayu dan Adi merapatkan jaketnya sambil menenteng
tumpukan rantang berisi kurma. Meski puasa,
kedua sepupuan itu tetap berangkat demi memenuhi
permintaan Sang Nenek.

“Apa aku harus ikut?” tanya Bayu ragu, sambil
menggeser standar sepeda dengan kakinya.

“Katanya, kamu bosan kalau liburan hanya di
rumah Nenek?” Adi balik bertanya sambil mulai
menaiki jok sepedanya.

“Apa kamu yakin mau
melewatkan kesempatan jalan-jalan ini? Silakan aja.”
sambungnya sambil berlalu.

“Tunggu aku, Mas Adi!” seru bocah gempal itu
sambil mengayuh sepedanya hingga bergoyang-goyang. Rantang di keranjang sepeda Bayu jadi berbunyi nyaring karenanya.

Adi sudah sejak kecil tinggal di desa dan terbiasa
bersepeda maupun berjalan ke mana-mana. Masjid di dusun sebelah memang cukup jauh dan mendaki. Namun, ia yakin bisa sampai tepat waktu tanpa kendala berarti.

Jalanan begitu berbatu, tetapi masih datar. Bayu
yang anak rumahan dan biasa tinggal di kota sudah
terengah-engah mengayuh sepeda. Ia berusaha
menyamai posisi Adi yang jauh di depannya.

“Mas, mas tahu enggak kenapa kita yang harus ke
sana?” tanya Bayu sambil menggigil menahan dingin.

“Kan kamu tahu, Dek. Kakek dan rombongan
keluarga kita lagi berbagi takjil di pinggir jalan kota.
Nenek masak.”

“Iya, sih, tapi nenek bisa minta tolong tetangga,
kan?”

Baru saja sepupunya ingin menimpali, Bayu
langsung menjawab sendiri.
“Aku tahu! Soalnya, Nenek maunya kita yang
dapat sangu (uang saku) habis ngasih ta’jil ini. Hihi.”
kekeh Bayu sambil menutup mulutnya.

“Hush! Itu namanya pamrih.”

“Bercanda …” ujarnya sambil memonyongkan
bibir.

Saat jalanan terlihat menjulang tinggi, Bayu berhenti. Ia terdengar menghela napas kuat sekali.

“Kenapa?” tanya Adi yang ikut berhenti.

“Apa jalanan ini bisa dilewati manusia?” tanya Bayu sambil garuk-garuk kepala.

“Haha! Tanjakan ini ndak jauh, kok. Nanti jalanan mendatar dulu. Setelah itu, baru menanjak lagi. Aku contohkan, ya!” ujar Adi yang segera melaju dengan kecepatan penuh.

Tak lama kemudian, Adi sudah melambaikan tangan dari atas tanjakan. Ia mengepalkan tangan untuk menyemangati Bayu.

Bayu mencoba maju, meski ia begitu keberatan mengayuh. Sepedanya hanya berderit dan bergerak sedikit. Baru sebentar mengayuh, ia turun dari sepeda.

“Aku jalan kaki aja,” katanya sambil menuntun sepeda.

Adi menepuk jidatnya. Matahari makin condong ke barat. Mereka harus sampai ke Masjid Mi’raj sebelum adzan maghrib.

“Dek, aku kira naik sepeda itu cara yang paling cepat, ternyata kamu ndak kuat. Menurutmu, gimana caranya kita bisa sampai lebih cepat?” Adi ikut menuntun sepedanya agar menyamai langkah Bayu.

“Hmm,” gumam Bayu sambil memegang dagunya. “Kita lomba lari aja!” sahutnya kemudian.

“Hmm, boleh. Sepedanya kutitipkan teman dulu, ya,” ujar Adi sambil melipir ke rumah teman terdekat. Adi merasa harus bertanggung jawab memulangkannya. Namun, kembali lagi saat ini hanya makin mengulur-ulur waktu.

“Sebenarnya, aku yakin enggak bisa mengalahkan Mas Adi, kecuali Mas mengalah, ya. Setidaknya, aku berlari biar enggak ketinggalan. Kalau ketinggalan, nanti aku malah menyasar dan makan di rumah orang, hehe.”

Adi berdecak heran sambil menggelengkan kepala.

“Oke, setuju. Kita mulai di hitungan ketiga, ya. 1,2,3!” serunya, kemudian melaju.

Belum lama berlari, Adi sudah nun jauh di atas bukit. 

Bayu tetap berlari, meskipun lambat sekali. Bayu jadi bosan. Di tepi ladang jagung, Bayu iseng mengagetkan domba jantan yang sedang merumput.

Domba jantan itu mulai mengikuti langkah Bayu. Bocah itu menoleh ke belakang dengan heran, kemudian mempercepat langkahnya. Namun, ternyata domba jantan itu terus membuntuti!

“Mas Adiii!” teriaknya sambil berlari jauh lebih kencang dari sebelumnya.

Adi tetap fokus berlari tanpa menoleh. Kalau Bayu minta ia menunggu, itu bukan lomba lari namanya.

Domba yang tadi dikagetkannya pun mengejar makin cepat. Bayu terus berlari hingga mendahului Adi. Adi terperangah melihat kecepatan lari saudaranya itu.

“Toloong!” jeritnya pilu sambil berlari sepenuh jiwa-raga.

Adi baru menoleh ke belakang. Ada domba yang berlari ke arah mereka diikuti Bapak gembala yang mengejar dombanya. Beberapa lama kemudian, domba tersebut berhasil ditangkap penggembala.

Huft! Bayu bernapas lega. Di sebuah gubuk pos kamling, bocah tambun itu merebahkan diri. Adi menghampirinya, kemudian duduk beristirahat.

“Aku ndak mengalah lho, Dek. Luar biasa kecepatan larimu itu!” puji Adi sambil mengacungkan jempol.

“Terpaksa, Mas. Aku enggak mau diseruduk domba …” jelasnya setengah merengek.

Adi malah tertawa.

“Masih jauh ya, Mas?”

“Sekitar setengah perjalanan lagi.”

“Apa kita buka puasa di sini dulu, Mas? Isi tenaga dulu. Habis maghrib, baru lanjut mendaki lagi.”

“Kurma ini kan buat dibagi ke jamaah masjid saat berbuka …”

“Oh, iya … Ya Allah, aku lapar dan lelah. Rugi banget kalau enggak dapet apa-apa …” rengeknya sambil bertekuk lutut dan menunduk.

“Emangnya kamu mau dapat apa?”

Di kejauhan, ada mobil pick up melaju ke arah mereka. Adi segera bangkit dengan wajah yang berseri-seri.

“Bowo!” panggil Adi sambil melambaikan tangan.

Mobil bak terbuka itu berhenti tepat di hadapan mereka.

“Alhamdulillaah …” pekik Bayu, kemudian terlonjak girang.

Adi begitu ringan menaiki bak terbuka. Lain halnya dengan Bayu yang harus ditarik dari atas dan didorong dari bawah untuk menaikinya.

Angin sejuk mengusap wajah mereka yang lengket dan berkeringat. Bayu terlihat mengagumi pemandangan di sepanjang tepi jalan. Pohon Pinus merkusii yang berjajar rapi, kebun stroberi yang digarap bu tani, juga pohon cengkeh yang menjulang tinggi.

“Aku jadi iri pada kalian,” tutur Bowo dari ruang kemudi. “Puasa, berlelah-lelah, juga berbagi makanan untuk mereka yang puasa. Banyak sekali pahala kalian!”

“Kamu juga banyak pahala insyaAllah. Sedekah kan ndak hanya berupa harta, tapi juga jasa. Matur nuwun sanget atas tumpangannya ya, Bowo dan Bapak.”

“Kita harus selalu luruskan niat ya, Di. Kalau kita niatnya untuk dapat pahala, semoga saja Allah terima amal kita dan berikan pahala. Kalau niatnya cuma dapat dunia, ya receh-receh dunia aja yang didapat. Ckck. Miris  ya.” timpal Bowo.

“Iya, astaghfirullah …” lirih Adi.

Sementara itu, Bayu menunduk dalam sambil bibirnya sibuk beristighfar. Ia merasa malu sekali. 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar