“Cari di sini!” seru Satria.
Aji mengaduk-aduk dasar pantai dengan kayu. Air menjadi keruh, “Tidak ada!”
“Cari di sana!”
Aji mengaduk-aduk lebih kencang. Lumpur dasar pantai naik ke permukaan air, “Tidak ada juga!”
“Kita cari tempat lain!” ajak Satria.
“Aku capek sudah banyak mengorek-ngorek, tapi tidak ada udangnya!” Aji membuang kayu yang dibawanya ke pantai. Pantai itu berada di hutan bakau Kampung Wamargege, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya.
Dari jauh terlihat beberapa orang dewasa berbicara di samping perahu. Mereka mengenakan pakaian adat daerah Papua Barat Daya. Perahu kayu itu cukup panjang.
“Heh! Sedang apa kalian?”
Aji dan Satria kaget. Di belakang mereka ada dua anak Papua. Mata yang berkaos putih melotot pada Aji dan Satria. Yang lain berkaos merah.
“He… hendak menangkap udang,” Aji gugup.
Si Kaos merah berbisik pada temannya. Seketika mata yang melotot itu berubah tenang.
Si Kaos Merah mendekati Aji dan Satria, “Sepertinya kalian bukan anak Papua dan tidak tinggal di sini.”
“Kami baru sebulan tinggal Papua, tepatnya di Kota Sorong. Saya Satria, ini teman saya, Aji. Kami dengar pantai hutan bakau ini banyak udangnya.”
Si Kaos Merah mengangguk, “Saya Enos, itu Pison sepupu saya. Memang pantai ini ada udangnya.”
“Tapi kami sudah mengorek-ngorek pantai ini, tetap tidak dapat udangnya,” keluh Aji.
“Bukan begitu cara mencarinya!” Pison kembali melotot.
“Tenang Pison, biar saya yang bicara,” Enos kembali menenangkan sepupunya.
“Kami salah, ya?” bisik Satria takut.
Enos mengangguk, “Menangkap udang bukan dengan cara mengorek-ngorek dasar pantai. Itu membuat airnya keruh. Air keruh mengganggu kehidupan udang. Di sini menangkap udang ada aturan adatnya.”
“Maaf sudah melanggar aturan adat kalian. Kami benar-benar tidak tahu,” ujar Satria menunduk sedih. Aji juga merasa bersalah
“Aturan adat ini memang tidak ditulis, apalagi dibuat papan pengumumannya. Tapi semua warga kampung Wamargege dan sekitarnya sudah paham. Setelah kalian juga tahu, kalian harus patuhi. Ini untuk kelestarian udang di sini,” jelas Enos.
“Kami janji akan mematuhinya. Di sekolah kami diajari pentingnya menjaga kelestarian alam. Karena jika alam rusak, manusia juga yang akan merasakan sulitnya,” jawab Satria.
“Bagaimana aturan adat menangkap udang di sini?” tanya Aji.
“Suku Yaben menangkap udang dengan upacara adat. Terutama saat sulit mendapatkan udang itu. Dalam upacara itu ada doa syukur pada Tuhan atas karunia udang. Udang ini menjadi bahan makanan dan sumber penghasilan warga,” jawab Pison tenang tanpa mata melotot.
“Apakah suku Yaben itu suku asli di sini?” tanya Aji.
“Ya. Suku Yaben tinggal di Kampung Wamargege. Saya dan Pison berasal dari suku itu,” Enos menunjuk Pison.
“Bolehkah kami ikut upacara adat itu?” minta Satria.
“Mari ikut kami,” Enos dan Pison berjalan diikuti Aji dan Satria.
Enos dan Pison mendatangi sekumpulan orang dewasa. Orang-orang ini yang tadi dilihat Aji dan Satria mengenakan pakain adat setempat. Perahu panjang dari kayu juga masih di sana. Mereka menyiapkan jala, ember, dan perlengkapan lainnya. Kini Satria dan Aji mengerti, orang-orang ini hendak menangkap udang.
Enos mendekati salah satu pria itu. Mereka terlibat percakapan serius. Enos kembali pada Satria dan Aji, “Ini Om Yeris, Paman saya. Kita diijinkannya ikut mencari udang.”
“Terima kasih, Om!” Aji dan Satria menyalami Om Yeris.
Om Yeris tersenyum, “Ayo, kalian bantu dorong perahu ke dalam air. Kita akan segera berlayar.”
Keempat anak lelaki itu mendorong perahu. Om Yeris dan dua orang pria dewasa lainnya juga ikut mendorong.
Om Yeris membantu seorang Nenek naik ke perahu. Nenek itu duduk di bagian tengah perahu. Angin pantai lembut meniup mahkota bulu dan pakaian tradisional yang dipakai Nenek.
Enos dan ketiga temannya naik ke perahu. Om Yeris dan dua teman tadi juga ikut naik. Mesin dinyalakan, perahu berlayar membelah air laut sekitar hutan bakau.
Angin menerpa wajah Aji dan Satria. Keduanya senang dibolehkan ikut naik perahu.
Tiba di tempat yang dituju, mesin perahu dimatikan. Nenek menyanyikan lagu tradisional sepenuh hati sambil menari di atas perahu.
“Mengapa Nenek menari?” bisik Aji pada Enos.
“Nenek ini salah satu Tetua atau Pemimpin Adat. Ia sedang memimpin upacara adat mencari udang.”
Nenek menghentikan tariannya lalu duduk di bagian depan perahu. Ia berseru lantang dengan bahasa suku Yaben.
“Apa yang diucapkan Nenek?” tanya Satria pada Enos.
“Nenek berdoa memohon keberkahan Tuhan. Keberkahan itu tidak hanya untuk kami, tapi juga untuk para leluhur kami yang sudah wafat. Salah satu keberkahan itu agar kami dimudahkan menangkap udang.”
“Kalian hebat punya cara sendiri untuk bersyukur, mendoakan leluhur, dan menjaga kelestarian alam,” Aji terharu.
Om Yaris dan teman-temannya menebar jala. Pison ikut membantu. Nenek masih mengucapkan doa-doanya.
“Dapat!” seru Pison.
“Keren!” Satria terbelalak melihat udang-udang besar tersangkut di jala.
Tidak semua udang diambil Pison. Ada beberapa udang yang dibuangnya.
“Kenapa dibuang?” Satria terheran-heran.
“Bukan dibuang, tapi dikembalikan ke laut,” jawab Pison.
“Kenapa begitu?” Satria penasaran.
“Di antara kaki-kaki udang itu ada telur. Telur-telur udang berwarna kuning. Udang yang sedang bertelur harus dikembalikan ke laut biar telurnya menetas. Jika telur-telurnya menetas, jumlah udang di sini tetap banyak. Udang yang masih anak-anak juga saya kembalikan ke laut. Biar mereka tumbuh lebih besar saat diambil,” Pison menggulung jalanya.
“Kita pulang, udangnya sudah cukup!” seru Om Yeris mengarahkan perahunya ke darat.
Om Yeris menghadiahkan delapan ekor udang kepada keempat anak itu. Itu karena mereka sudah membantunya. Anak-anak mengucapkan terima kasih.
“Kita bikin udang bakar, yuk,” ajak Enos. Teman-temannya setuju.
Pison mencuci udang di mata air. Anak-anak yang lain mencari kayu-kayu kering.
Pison membuat api dari dua batang kayu yang saling digosokan. Api unggun segera menyala. Udang-udang ditusuk kayu lalu diletakkan sisi api unggun.
“Enak, manis!” Aji mencicipi udangnya.
“Udang yang baru dipanen memang manis,” Pison tersenyum.
“Bagaimana jika udang yang ditangkap berlimpah? Udang-udang itu jadi tidak habis dimakan atau dijual,” tanya Satria.
“Di sini ada koperasi yang membeli udang hasil tangkapan nelayan. Di koperasi ini udang dibersihkan lalu dibekukan sehingga tidak mudah busuk,” jelas Enos.
“Kita beli udang di koperasi, yuk,” ajak Aji pada Satria.
“Betul, kalian sebaiknya beli udang di koperasi. Jadi kalian tidak perlu mengorek-ngorek mengganggu tempat tinggal udang,” ujar Pison.
Enos mematikan api unggun, “Ayo, Pison, kita antar teman-teman kita ke koperasi.”
———————-.
Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024.