Semalam Bulek Yus baru saja tiba dari Jogja. Bulek bilang akan menginap di rumah Widuri selama tiga hari ke depan. Tentu saja Widuri senang sekali. Ia tambah senang ketika Bulek mengeluarkan banyak oleh-oleh dari Jogja! Ada bakpia, salak pondoh, aneka cokelat, dan juga yongko. Ada pula beberapa souvenir bertuliskan I Love Jogja! Bulek Yus memang baik sekali.
Semalam sebelum semua orang tidur, Bulek sedikit bercerita mengenai kehidupannya di Jogja. Ibu dan Bapak banyak bertanya seputar perkuliahan Bulek saat ini—karena Bulek memang masih berkuliah, sementara Widuri lebih tertarik bertanya soal tempat-tempat wisata yang ada di sana. Bulek bilang, di Jogja ada banyak sekali tempat wisata, ada Candi Borobudur, Candi Prambanan, Taman Sari, Museum Benteng Vredeburg, Museum Sonobudoyo, Monumen Jogja Kembali (Monjali), dan masih banyak lagi. Mendengar itu, Widuri jadi ingin pergi ke Jogja. Selama ini ia memang belum pernah pergi ke sana.
“Kalau di Jogja banyak tempat wisata, kenapa Bulek malah datang ke Jepara?” tanya Widuri penasaran.
“Ya tujuannya memang pengen ketemu sama kamu. Selain itu, kemarin Bulek baru saja selesai membaca buku soal Raden Ajeng Kartini. Nah berhubung beliau lahir di Jepara, Bulek jadi semakin tertarik datang ke sini,” jelas Bulek Yus. “Besok Bulek berencana pergi ke Museum Kartini. Widuri mau ikut?”
Widuri mengangguk penuh semangat. “Tentu saja mau! Selama di Jepara, aku siap mengantar Bulek kemanapun!”
“Wah, terimakasih, ya! Nanti kita mampir ke Pantai Kartini juga, bagaimana?”
“Siap, Bulek!”
***
Pagi harinya Widuri bangun dengan penuh semangat. Ini akan menjadi hari yang menyenangkan! Tepat pukul enam pagi, Widuri bergegas mandi tanpa menunggu perintah Ibu, padahal biasanya Ibu harus bersusah payah memaksanya terlebih dahulu. Setelah selesai mandi, ia membuka lemari untuk mencari baju terbaik yang ia punya. Pilihannya jatuh pada gaun putih istimewa buatan tangan Nenek. Sempurna! Widuri tersenyum puas di depan kaca.
“Loh, Widuri mau kemana? Kok pagi-pagi sudah pakai baju begitu?” tanya Ibu heran.
“Hari ini Widuri akan menemani Bulek Yus jalan-jalan, Bu. Jadi sekolahnya libur dulu saja, ya.” Widuri memohon.
“Bukannya hari ini ada tugas membuat kerajinan di sekolah? Ibu sudah mencarikan bahan-bahan yang kamu minta kemarin, lho.”
“Tidak apa-apa, Bu. Bahan-bahannya bisa dipakai lain waktu. Kan, jarang-jarang Bulek Yus main ke sini.”
“Dua hari lalu, kan, kamu sudah bolos karena menginap di rumah Nenek. Jadi hari ini harus tetap berangkat sekolah. Pergi dengan Bulek Yus bisa nanti siang sepulang sekolah. Lagi pula, Bulek baru tiba semalam, pasti masih capek sekali, masih butuh istirahat,” kata Ibu sambil berjalan menuju dapur. “Ayo, ganti seragam, setelah itu sarapan sama-sama.”
Widuri menolak mengganti seragam, ia tidak ingin berangkat sekolah hari ini. Sementara itu, Ibu tetap pada pendiriannya, Widuri harus masuk sekolah. Akhirnya perdebatan panjang pun terjadi di antara mereka. Bulek Yus yang baru keluar dari kamar dan mendengar perdebatan tersebut langsung berusaha menengahi.
“Widuri berangkat sekolah dulu saja, ya. Lagi pula museum pasti masih tutup jam segini. Bulek tunggu di rumah, kita tetap jadi berangkat, kok, siang nanti,” kata Bulek Yus sembari mengusap-usap kepala Widuri yang mulai merajuk.
“Nah, dengarkan perkataan Bulek Yus. Ke museum nanti siang saja. Kalau sedikit-sedikit bolos sekolah, nanti bakal jadi kebiasaan. Ibu tidak suka punya anak yang malas dan tidak disiplin,” tambah Ibu sembari menyajikan lauk untuk sarapan.
Widuri tidak menjawab lagi. Ia berusaha untuk tidak menangis di depan Bulek Yus. Maka dengan perasaan kacau, ia mengganti gaun putih yang dipakainya dengan seragam sekolah. Akhirnya pagi itu Widuri tetap pergi ke sekolah meski dengan suasana hati kurang baik. Ia masih kesal dengan Ibu karena tidak mengizinkannya bolos sekolah. Menyadari hal itu, Bulek Yus berusaha menghiburnya dengan memberi uang saku tambahan. Namun tetap saja Widuri pergi ke sekolah dengan muka masam.
***
Pulang dari sekolah, Widuri cepat-cepat menemui Bulek Yus untuk menagih janjinya pergi ke museum. Ternyata Bulek sudah bersiap, cantik sekali mengenakan setelan berwarna coklat. Widuri buru-buru masuk kamar lantas mengganti seragam sekolahnya dengan gaun putih yang dipakainya tadi pagi. Setelah semuanya siap, mereka berangkat menuju Museum Kartini dengan menaiki sepeda motor.
Museum sedang tidak begitu ramai. Seusai mengisi buku pengunjung, Bulek Yus dan Widuri mulai berkeliling museum. Ada banyak sekali foto-foto, lukisan, serta barang-barang peninggalan Kartini. Selain itu ada pula ruangan khusus berisi benda-benda bersejarah yang ditemukan di wilayah Jepara, salah satunya adalah kerangka ikan sepanjang 16 meter yang dinamai Joko Tuo. Namun sepertinya Bulek Yus lebih tertarik dengan foto-foto yang dipajang di sepanjang dinding museum. Bulek menjelaskan siapa saja sosok dalam foto-foto tersebut, sementara Widuri mendengarkannya dengan seksama.
“Dulu, anak-anak perempuan hanya boleh menghabiskan sepanjang hari di dapur. Tidak boleh sekolah, tidak mendapatkan pendidikan, dan ketika dirasa sudah cukup umur, mereka akan dinikahkan,” celetuk Bulek tiba-tiba. “Widuri sudah pernah dengar soal itu, kan?”
Widuri mengangguk. Ia pernah dengar soal itu di sekolah. Bu Guru yang menjelaskannya.
“Nah, Raden Ajeng Kartini berjuang supaya kita—para perempuan—mendapatkan hak untuk mengenyam pendidikan, karena beliau percaya masyarakat tidak akan bisa maju tanpa memajukan dulu kaum perempuan.”
“Betul sekali, Bulek. Bu Guru pernah bilang kalau mendapatkan pendidikan adalah hak semua orang, bukan hanya untuk laki-laki, tapi juga perempuan. Widuri beruntung sekali lahir di masa sekarang. Pasti capek sekali kalau harus menghabiskan waktu sepanjang hari di dapur.”
Bulek Yus tersenyum lebar, mengangguk penuh semangat. “Maka dari itu, Widuri tidak boleh malas lagi berangkat sekolah. Dengan memiliki semangat yang besar dalam menuntut ilmu, sama artinya dengan kita menghargai perjuangan Raden Ajeng Kartini. Widuri sudah mengerti, kan, sekarang?”
Pipi Widuri memerah. Benar juga. Widuri sadar bahwa selama ini ia sering memohon pada Ibu untuk bolos sekolah hanya karena perkara-perkara kecil. Ia jadi malu. Seharusnya ia bersyukur karena bisa bebas bersekolah, bertemu dengan banyak teman, serta guru-guru yang baik. Bahkan, Ibu juga selalu memberi uang saku yang cukup agar ia bisa membeli jajanan yang diinginkannya di sekolah. Ayah juga selalu bersedia mengantar serta menjemputnya selama ini.
“Widuri harus minta maaf pada Ibu, ya, karena sudah merajuk pada Ibu tadi pagi,” pesan Bulek Yus halus.
Widuri mengangguk-angguk. Ia berjanji untuk meminta maaf pada Ibu ketika pulang nanti.
Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024