Wiwitan dan Megengan di Rumah Mbah

Pagi ini Kudus cerah sekali. Sepertinya alam pun ikut menyertai kepulangan kami ke kampung. Aku dan keluarga akan pulang kampung ke Bojonegoro. Rumah nenek dan kakek.

Perjalanan panjang harus ditempuh menuju Bojonegoro. Kami berangkat setelah salat subuh. Ternyata, kami masih terjebak macet sebentar di jalan pantura. Alhamdulillah akhirnya kami sampai Bojonegoro pukul 10.00 pagi. Nenek dan kakek sudah menunggu di depan rumah.

Beberapa hari ini adalah libur akhir pekan yang berlanjut dengan libur awal puasa Ramadan. Biasanya hanya ayah yang pulang ke Bojonegoro untuk ziarah ke makam kakek dan nenek dari ayah. Tapi, kali ini kami sekeluarga pulang bersama-sama. Tentu saja satu bulan lagi, insyaallah kami berencana pulang kampung lagi untuk merayakan hari raya idulfitri.

Tak kusadari, aku tertidur di sofa sejak tadi siang. Aku kelelahan dan ngantuk. Aku langsung mandi dan menuju musala untuk ikut salat jemaah asar.

Setelah pulang dari musala, aku kaget melihat nenek dan ibu memasak banyak makanan yang disusun di atas tampah. Ada nasi, urap daun pepaya, sambal teri, tumis kangkung, tempe, tahu, dan ikan pindang. Ada dua tampah. Sepertinya tadi aku buru-buru waktu mandi. Aku tidak melihat keriuhan di dapur.

“Banyak sekali makanannya. Ada acara apa, Nek?” tanya Izun.

Wiwitan pari, Le,” jawab nenek sambil melihatku sekilas.

“Acara apa itu? memulai padi?” tanyaku lagi yang kebingungan.

“Kalau orang tani sini mau memanen padinya, harus mengadakan slametan dulu. Biasanya berupa nasi, lauk pauk, dan ada juga yang membawa buah-buahan. Tidak harus nasi dan lauk. Diletakkan di atas tampah dan ditutup daun pisang yang banyak. Nanti daun pisangnya akan dipakai orang-orang sebagai tempat mengambil nasi dan lauk. Orang-orang biasa menyebutnya ambeng. Istilah lainnya disebut sedekah. Ya, tujuannya agar diridai Allah, dimudahkan proses panennya, dan hasil panennya menjadi rezeki yang berkah,” jawab nenek panjang lebar.

“Oh, begitu. Wah, ini semacam adat, ya, Nek. Aku lapar, Nek. Izun makannya sekarang saja, ya!” pintaku yang sudah kelaparan.

“Iya, boleh. Ambil dan makanlah. Ini bisa disebut sebagai kearifan lokal orang Bojonegoro.”

Setelah selesai salat jemaah magrib, kami mengelilingi ambeng yang isinya bermacam-macam. Ternyata bukan hanya nenek saja yang membawa ambeng, tapi ada beberapa orang yang lain juga. Sepertinya, dulu mereka bersamaan juga saat menanam padi. Jadi, masa panennya juga bersama-sama.

“Ibu, tadi Izun kan sudah makan setelah asar. Terus makan lagi setelah magrib karena ada ambeng. Kok rasa makanan dari ambeng enak sekali, ya, Bu. Meskipun enak, Izun hanya mampu makan sedikit saja. Kenyang,” tuturku.

“Nasi atau makanan ambeng yang didoakan di musala memang enak, Zun. Dulu, Ibu harus rela makan sedikit dan berbagi bersama adik-adik Ibu. Makanan apa saja yang didoakan bersama-sama di musala pasti rasanya enak, meskipun hanya dengan lauk pauk sambal dan tempe saja,” jelas ibu.

“Kok bisa, Bu?” tanyaku yang bingung.

“Sebab ada berkahnya. Doa dan keikhlasan petani yang bersedekah tadi nyantol di makanan, lalu jadi enak rasanya,” jelas ibu lagi. Aku semakin kagum sama tradisi ini.

Malam itu, aku memilih tidur di depan televisi. Aku tidur bersama dengan nenek beralaskan kasur tipis. Kami bercerita banyak hal. Ada satu cerita yang membuatku penasaran. Megengan menjelang Ramadan. Kata nenek, megengan itu juga berupa sedekah nasi tapi diwadahi sendiri-sendiri yang didoakan bersama-sama. Bukan nasi ambeng di atas tampah begitu. Besok megengan di rumah nenek. Wah, aku sudah tidak sabar.

Aku bangun tidur pukul 04.00 subuh. Aku bergegas mandi dan salat berjemaah di musala. Ayah yang jadi imamnya. Setelah subuh, aku bergegas pulang dan menuju dapur. Benar saja, ternyata nenek dan ibu sudah menyiapkan bahan masakan sejak sebelum subuh. Mereka berhenti untuk salat subuh lalu baru mau dilanjutkan.

Aku ikut membantu memotong bahan atau menguleni adonan. Ternyata seru sekali. Aku suka kegiatan ini.

“Nenek, apa semua acara megengan harus diadakan di rumah? Dari dulu juga berupa nasi dan lauk?” tanyaku penasaran.

Ora, Zun. Dulu memang megengan diadakan di rumah dan berupa nasi berkat di wadah sendiri-sendiri. Tapi, sekarang ada juga yang mengadakan megengan di musala atau masjid. Bahkan, ada yang hanya membawa nasi dan lauk senampan saja. Tidak menyiapkan banyak berkah per orang begini. Lauknya juga sederhana. Tahu, tempe, dan sambal,” ungkap nenek.

“Bisa bantu apa, Zun?” tanya kakek yang tiba-tiba mengejutkanku.

“Aku pintar memotong bahan, Kek,” jawabku senang.

Tak terasa sudah sore. Semua makanan sudah siap disuguhkan di acara megengan. Orang-orang mulai berdatangan. Ternyata, ada beberapa orang yang mengadakan megengan. Megengan di rumah kakek nenek pukul 16.30 sore. Sementara di rumah orang lain diadakan setelah salat magrib.

Malam ini, aku tidur bersama nenek dan kakek.

“Acara megengan ini sudah tidak seperti dulu. Kalau dulu, satu malam saja bisa sampai lima atau enam orang yang bersamaan mengadakan acara megengan. Jadi, satu orang mendapat banyak nasi berkat. Nah, nasi berkat itu tidak mungkin dimakan semua. Jika mau dimakan keesokan hari, maka harus dihangatkan. Kalau orangnya tidak primpen, ya akan terbuang sia-sia. Kadang nasinya dijemur biar bisa dimasak jadi nasi karak,” ungkap kakek menghela napas.

“Nah, untuk mengatasi masalah itu, akhirnya orang-orang inisiatif membagi waktu saat mengadakan megengan. Ada yang pagi hari. Atau ada yang memberi sedekah mentahan, seperti beras mentah setengah kilo, telur dua butir, dan lainnya. Ada juga yang tetap membuat nasi dan lauk berkat tapi diantarkan ke rumah masing-masing, bukan mengundangnya,” kata kakek sambil tersenyum.

“Jadi, tidak harus selalu mempertahankan tradisi sejak dulu, ya, Kek? Tapi, boleh diubah agar makanannya tetap termakan dan tidak mubazir?” tanyaku.

“Iya, Zun. Semua demi kebaikan bersama. Tidak boleh ada makanan yang terbuang sia-sia. Kami para petani menanam dan memanen dengan jerih payah. Para ibu-ibu memasak dengan kerja keras juga. Maka, saat sudah menjadi makanan, sebaiknya dimakan dengan penuh rasa syukur. Megengan kan intinya sedekah. Tidak harus malam, boleh pagi atau siang. Tidak harus diundang lalu doa bersama ke rumah, tapi boleh diantarkan langsung. Tidak harus makanan yang sudah matang. Tapi, boleh mentahan juga,” jelas kakek.

“Ya sudah, ayo tidur. Besok pagi setelah subuh, kita jalan kaki di pematang sawah belakang rumah,” ajak nenek.

“Baik, Nek.”
.

.

.

“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar