Yuk, Kita Kondangan!

Yuk, Kita Kondangan!

Oleh: Siti Sonia Aseka

Mudik adalah momentum menyenangkan yang kerap hanya terjadi sekali dalam setahun. Kampung halaman ayah dan bunda terletak di salah satu ibukota provinsi di pulau Sumatera. Lebih tepatnya ialah kota Palembang, Sumatera Selatan. Kota pempek yang terkenal dengan Sungai Musi dan Jembatan Ampera itu membawa kesan hangat dan harmonis.

Di hari keduanya, Gania sudah diajak berjalan-jalan ke Kambang Iwak oleh ayah dan bunda. Pagi-pagi sekali, Gania telah mengenakan pakaian dan sepatu olahraga. Beberapa kali, ia menguap.

“Kambang Iwak itu tempat apa sih, ayah? Mau ke kolam ikan kok harus pakai baju olahraga?”

Ayah dan bunda tertawa.

“Ini bukan sekadar kolam ikan, tapi juga tempat rekreasi. Danau yang disebut kambang iwak ini dikelilingi oleh taman bermain, jogging track, skate park, area olahraga, dilengkapi kursi-kursi dan pohon-pohon rindang,” jelas ayah.

“Jangan lupa, Kambang Iwak juga jadi tujuan wisata kuliner. Karena sepanjang jalannya dipenuhi penjual makanan. Apapun ada di sana. Makanan khas Palembang, sampai makanan siap saji,” bunda menambahkan.

“Oooh, jadi bukannya mau pergi memancing,” Gania mengangguk-angguk polos.

Pada hari Minggu, Gania diajak menghadiri pesta pernikahan seorang kerabat oleh ayah dan bunda. Ketika sampai, Gania berdecak kagum melihat dekorasi yang dominan berwarna cerah dan menonjol.

“Meriah sekali!” seru Gania, bersemangat.

“Tentu,” sahut ayah, tersenyum.

“Pesta ini menggunakan adat Sumatera Selatan, berhiaskan warna merah dan emas yang menjadi ciri khas daerah,” jelas bunda.

“Warna-warna ini melambangkan apa, bunda?”

“Dari yang bunda ketahui, warna merah berasal dari warna merah Buah Manggi, filosofi yang berkembang pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Buah Manggis melambangkan kejujuran, karena jumlah kelopak yang ada pada bagian bawahnya sama dengan jumlah daging buah di dalamnya, sehingga ajaran akhlak pada masa kesultanan sangat ditekankan.”

“Lalu warna emas?” tanya Gania lagi.

“Warna merah manggis sangat indah jika dipadukan dengan warna emas yang melambangkan keanggunan, kemakmuran dan kemegahan,” sambung bunda.

“Pasangan pengantin pun mengenakan pakaian adat berwarna merah dan emas. Indah, bukan?” ayah menimpali. Gania mengangguk setuju.

Mereka tiba cukup awal, sehingga berkesempatan menyaksikan susunan pembukaan acara resepsi secara utuh, salah satunya penampilan tari tanggai.

“Tarian apa ini, bunda? Unik sekali,” tanya Gania.

Bunda tersenyum, “Ini namanya Tari Tanggai. Digunakan untuk menyambut tamu pada berbagai acara seperti acara pernikahan dan acara-acara resmi lainnya.”

“Apakah harus ditarikan oleh tiga orang saja, bunda?” tanya Gania, ingin tahu.

“Tidak, sayang. Tari Tanggai bisa dibawakan oleh lebih dari tiga orang asal dalam jumlah yang ganjil. Misalnya, lima atau tujuh orang,” terang bunda.

“Kenapa begitu?” Gania semakin penasaran.

“Karena berpedoman pada tradisi Rasan Tuo yang menonjolkan satu orang sebagai primadona atau pusat perhatian,” ucap bunda.

“Tarian ini bercerita tentang apa sih, bun?” Gania tertarik untuk menggali lebih dalam.

“Tari tanggai melambangkan keramahtamahan dan penghargaan penduduk Sumatera Selatan serta penghormatan mereka terhadap tamu,” jelas bunda.

Gania kagum melihat para penari bergerak begitu halus, anggun, gemulai, namun tegas dan juga menyatu dengan alunan musik.

“Itu apa yang dikenakan di kuku para penari?” Gania mengamati kuku-kuku panjang berwarna emas pada jemari penari Tanggai di atas panggung.

“Oooh, kuku-kuku itulah yang disebut dengan tanggai. Terbuat dari lempengan tembaga, dikenakan pada delapan jari kecuali jempol,” ujar bunda, membuat Gania mengangguk mengerti.

“Wah, kelihatannya penuh makna sekali ya, bunda,” Gania berkata takjub.

“Benar. Melihat kekayaan budaya, tradisi, dan adat daerah membuat kita semakin merasa bangga dan cinta terhadap asal usul kita.”

Gania mengedarkan pandangan. Tak sengaja, ia melihat beberapa orang terutama ibu-ibu yang lebih tua menggunakan kain unik sebagai bawahan.

“Itu rok apa ya, bunda? Kok baru kali ini Gania lihat?” tanya Gania.

Bunda menoleh, meneliti. Kemudian mengangguk.

“Itu kain songket asal Palembang. Kain yang ditenun atau disulam menggunakan benang emas dan perak, sehingga membentuk motif bunga atau bintang,” kata bunda.

Gania menatap kagum. Kain songket tersebut tampak begitu indah.

“Tahu tidak? Songket adalah salah satu karya budaya dari Sumatera Selatan yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, lho,” ayah ikut menimpali.

“Benar. Selain karena bentuk dan jenis benang yang dipakai tidak biasa, lama pengerjaan dan proses menggunakan alat yang masih sangat tradisional, membuat songket dianggap sangat berharga di kalangan masyarakat Sumatera Selatan,” bunda menambahkan.

Setelah naik ke atas panggung untuk bersalaman dengan kedua mempelai, bunda dan ayah mengajak Gania mengantre makan siang.

Gania memilih menyantap tekwan, yaitu pentol-pentol yang terbuat dari ikan, tepung terigu, dan satu dan dinikmati bersama dengan kuah segar. Dibumbui sedap malam, bengkuang, jamur kuping, soun, serta kaya akan rempah. Bersama sedikit perasan jeruk nipis, saus tomat, kecap manis, dan potongan timun, Gania menghabiskan semangkuk porsi dengan sukacita.

Berbeda dengan Gania, bunda dan ayah memutuskan menikmati seporsi laksan. Laksan adalah makanan khas Sumatera Selatan yang terbuat dari tepung sagu dan ikan. Bentuknya oval, teksturnya mirip dengan pempek, disantap dengan kuah santan yang dibumbui oleh rempah-rempah. Begitu penjelasan bunda saat Gania pertama kali mencicipinya dulu.

Menghadiri undangan pernikahan kali ini menghadirkan pengetahuan dan ilmu baru bagi Gania tentang adat dan budaya daerah asal kedua orangtuanya. Mulai dari pakaian, tarian, hingga kuliner. Mudik memang selalu menyenangkan dan semoga selamanya begitu.

***

“Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar