Di hari Senin pagi, Zahwa masih tertidur pulas. Padahal hari ini, ia harus berangkat lebih awal. Bu Guru menunjuk Zahwa untuk menjadi petugas upacara bendera.
“Zahwa ayo bangun, Nak!”
Zahwa tidak peduli. Ia malah menarik selimut dan menutup telinganya.
“Zahwaaaaaaaaaaaaaa,” Ibu memanggil Zahwa lagi dengan suara yang lebih keras.
“I… iya, Bu,” jawab Zahwa dari dalam selimut. Ia kemudian membuka selimut yang menutupi tubuhnya.
Setelah membangunkan Zahwa, Ibu bergegas menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan.
Tiit! Tiddiiit! Tiddiiit!
Jam weker di atas meja berbunyi menunjukkan pukul lima tepat. Zahwa masih duduk di atas tempat tidurnya. Ia membayangkan berdiri di barisan paling belakang. Belum lagi wajah Ara dan Denis yang selalu usil membuatnya semakin malas untuk berangkat sekolah.
“Hei, Jangkung. Ayo baris di belakang!”
“Kamu harusnya ada di barisan kelas enam, bukan di sini!”
Kalimat-kalimat tersebut selalu Zahwa dengar setiap hari Senin. Ia selalu menahan malu dan kesal setiap selesai mengikuti upacara bendera.
Pernah dulu, waktu masih menjadi siswa baru di sekolah. Bu Suci, wali kelas Zahwa selalu merasa kesulitan untuk mencarikannya tempat duduk. Hingga akhirnya sampai kenaikan kelas pun ia selalu mendapat tempat duduk paling belakang karena ukuran tubuhnya yang lebih tinggi dari teman-teman lain.
“Zahwa, gak apa ya kamu duduk di belakang lagi,” kata Bu Suci.
Zahwa mengangguk meski kesal karena harus mau mengalah demi teman-temannya. Hufft, andai tubuhku tidak setinggi ini, aku pasti bisa duduk di depan seperti Rina, Alisa, Putri dan teman-teman lainnya. Gerutu Fina dalam hati.
“Aku ingin punya tubuh yang tinggi sepertimu, Zahwa,” kata Putri.
Putri tidak memiliki tubuh setinggi Zahwa. Namun, Putri tidak pernah usil atau pun mengejeknya seperti teman-teman yang lain.
Zahwa tersenyum.
“Aku suka sekali main lompat tali di rumah. Aku sering melakukannya setiap hari Minggu sebelum sarapan pagi.”
“Wah, keren. Aku mau dong ikut main lompat tali di rumahmu,”
“Boleh,”
Sejak itu, Putri dan Zahwa menjadi akrab. Putri selalu membela Zahwa saat ada teman-teman yang usil dan mengejeknya.
***
“Selamat pagi, anak-anak,” sapa Bu Rina.
“Pagi, Bu.”
“Anak-anak, hari ini ibu mau mengumumkan sesuatu.”
Zahwa, Putri dan teman-teman sekelas duduk dengan tertib, menyimak pengumuman yang akan diberikan oleh Bu Rina.
“Bulan depan ada pembukaan Rumah Batik di kota kita. Untuk itu, akan ada acara lomba fashion show untuk anak-anak,” kata Bu Rina.
“Fashion show itu apa, Bu?” tanya Denis penasaran.
“Fashion show adalah peragaan busana oleh peragawan dan peragawati.”
“Peragawan dan peragawati itu apa, Bu Guru?”
Putri bertanya dengan semangat.
“Peragawan dan peragawati adalah orang yang memakai busana yang dibuat oleh perancang busana,” jawab Bu Rina.
“Lalu, apa beda peragawan dan peragawati tersebut, Bu?”
Ara mengangkat tangan kanannya dan ikut bertanya penasaran kepada Bu Rina.
“Peragawati jika yang memperagakan busananya adalah perempuan. Sedangkan peragawan adalah laki-laki.”
Semua anak di dalam kelas menyimak dengan serius penjelasan dari Bu Rina.
“Wah, aku mau ikut, Bu.”
“Aku juga mau, Bu.”
Satu persatu anak-anak di kelas mengangkat tangan dan ingin mendaftar lomba. Namun, tidak dengan Zahwa. Ia nampak murung dan tertunduk.
“Apakah Zahwa juga ingin mendaftar untuk ikut lombanya?” tanya Bu Zahwa.
“Tubuhku terlalu jangkung, Bu.”
“Tubuh yang pendek dan tinggi itu adalah pemberian Allah Swt dan anak yang baik adalah anak yang pandai bersyukur.”
“Lalu, bagaimana kita bisa bersyukur, Bu guru?” tanya Ara.
“Saling menghormati dan tidak saling mengejek adalah cara kita bersyukur kepada Allah.”
“Zahwa paham sekarang, Bu. Zahwa menyesal karena sempat tidak bersyukur kepada Allah Swt.”
“Ara juga menyesal, Bu Guru karena tidak bersyukur dan sering mengejek Zahwa.”
“Baiklah, yuk saling memaafkan dan menjadi anak yang pandai bersyukur,” ajak Bu guru.
Tiba-tiba suasana kelas menjadi gaduh karena semua saling meminta maaf. Bu guru pun menjadi terharu.
“Jadi, siapa saja kah yang mau mendaftar untuk ikut lomba fashion show-nya?”
“Saya, Bu guru,” jawab Zahwa.
“Horeee …!”
Semua anak besorak sorai dan bertepuk tangan setelah melihat Zahwa mengangkat tangan dan ingin mendaftar lomba fashion show.
Bu Rina kemudian mengambil pena dan selembar kertas dari dalam tasnya berwarna hitam yang terletak di atas meja.
***
Satu bulan berlalu. Tibalah saatnya acara kompetisi seleksi model cilik. Zahwa sudah bersiap menaiki panggung untuk memperagakan busana yang sudah dirancang oleh seorang perancang busana terkenal.
Tap! Tap! Tap!
Dengan mengenakan gaun berwarna putih dan selendang berwarna merah muda kombinasi coklat batik motif Tengkiang dan Ambung khas daerah Muara Enim, Zahwa melangkahkan kakinya dengan percaya diri. Para peserta lain dan dewan juri bertepuk tangan saat Zahwa melambaikan telapak tangan kanannya.
“Kamu hebat, Nak. Ibu bangga kamu bisa tampil dengan percaya diri,” ucap Bu Rina yakin.
Zahwa akhirnya senang sekali dan menjadi percaya diri lagi karena meskipun tubuhnya tinggi, ia bisa mengikuti lomba untuk mewakili sekolahnya.
Catatan :
- Uwak : Saudara perempuan atau laki-laki yang lebih tua dari ayah atau ibu.
- Tengkiang : Sebutan lumbung padi dari daerah Muara Enim.
- Ambung : sebutan untuk tempat menyimpan makanan, barang, peralatan, buah-
buahan berbentuk bakul yang terbuat dari anyaman rotan.
#Diikutsertakan dalam talis kamis