Asal Mula Nama Pantai Watu Ulo

Hari ini,  penduduk di tepi pantai kembali menggerutu. Mereka kesal karena Nogo Rojo selalu mendahului turun ke laut. Naga besar itu lagi-lagi menghabiskan isi laut. Penduduk sama sekali tidak mendapatkan makanan ketika jaring ditebarkan. Jangankan ikan, ganggang laut saja tidak ada satu pun yang tersangkut di jaring mereka.

“Kalau seperti ini terus kita bisa kelaparan!” teriak seorang pria tua sembari melemparkan kailnya ke pasir.

Teriakan pria tua itu disambut seruan marah penduduk lainnya. Mereka saling tuding karena tidak ada yang becus menjaga pantai. Padahal penjaga sudah ditugasi agar Nogo Rojo tidak masuk ke laut dan mengambil semua makanan di dalamnya.

“Berenangnya sangat cepat!” Seru seseorang. “Sulit sekali mengejarnya.”

“Dia bisa terbang!” Seru yang lain. “Kita kan tidak punya sayap!”

Sedangkan yang lainnya berteriak kalau Nogo Rojo badannya sangat besar sehingga banyak penjaga yang mundur ketakutan begitu melihatnya.

Tidak ada yang ingat kapan naga besar itu mulai muncul. Penduduk benar-benar resah sekaligus marah. Naga jahat itu telah menghabiskan semua makanan yang ada di laut. Berkali-kali mereka memburu naga itu. Sayangnya Nogo Rojo sulit dikalahkan. Orang sakti di antara mereka saja angkat tangan. Mereka menyerah karena naga sangat sulit ditangkap.

Penduduk saling berteriak menyalahkan satu sama lain. Mereka bahkan tidak menyadari kehadiran Nenek dan Kakek Sambi. Kedua orang tua kebetulan lewat pantai dalam perjalan pulang ke rumah. Tampak Nenek dan Kakek Sambi menuntun seorang anak laki-laki.

“Ayo, Nek, jangan hiraukan mereka,” bisik Kakek pada istrinya. Ia menarik lengan Nenek agar perhatiannya dari kerumunan penduduk teralihkan.

Nenek mengangguk, menurut pada kakek. Sebenarnya ia penasaran dengan keributan itu. Keberadaan Naga besar memang sangat merepotkan. Sekarang penduduk jadi kesulitan mendapatkan ikan. Semua habis dilahap Si Naga jahat.

Kemudian Nenek dan Kakek Sambi kembali berjalan menuju rumah mereka. Anak laki-laki yang sedari tadi diam-mengikuti mereka perlahan.

***

Nenek dan Kakek Sambi tidak memiliki anak. Keduanya kemudian menjadikan Raden Said dan Raden Mursodo sebagai anak angkat. Nenek dan Kakek Sambi sudah sangat tua, tapi mereka membesarkan kedua anak angkatnya dengan penuh kasih sayang.

Raden Said dan Raden Mursodo sangat kompak. Mereka saling menyayangi satu sama lain. Keduanya juga dikenal cukup tinggi ilmunya oleh penduduk.

Suatu hari Raden Mursodo mengajak saudaranya untuk memancing. Awalnya Raden Said ragu, karena Raden Mursodo mengajaknya memancing di kawasan Nogo Rojo berkuasa.

“Jangan takut Saudaraku!” seru Raden Mursodo sambil mengangkat pedangnya. “Sekali tebas saja past i dia hancur!”

Raden Said tertawa. “Tentu saja aku tak meragukanmu, Saudaraku!”

Raden Mursodo menurunkan pedang, lalu mulai berjalan digagah-gagahkan. Tawa Raden Said makin keras. Ia bergegas mengikuti saudaranya tersebut. Kesaktian Raden Mursodo memang tidak diragukan lagi.

Kemudian keduanya mulai berjalan menuju tenpat memancing. Tentu saja Nenek dan Kakek Sambi tidak tahu tujuan mereka yang sebenarnya. Raden Mursodo sengaja merahasiakannya karena tidak ingin membuat mereka khawatir.

***

Tempat tinggal Nogo Rojo sangat sunyi. Pepohonan lebat menyembunyikan tanah dari sinar matahari. Raden Said beberapa kali sampai harus mengangkat paksa kakinya yang tenggelam di tanah basah. Sementara itu Raden Mursodo tampak asyik menyusuri sungai yang airnya sangat jernih. Raden Said memperhatikan saudaranya yang tengah asyik sendiri itu. Tiba-tiba rasa seram menghinggapi dirinya. Bagaimana kalau Nogo Rojo datang? pikirnya.

“Bagaiman kalau naga jahat itu datang?” Tanyanya buru-buru pada Raden Mursodo.

Raden Mursodo mengangkat tangannya, menyuruh Raden Said Diam. Ia tengah mengukur kedalaman sungai sebelah mana yang tepat untuk mulai memancing.

“Dia tidak akan datang. Karena pasti sibuk mencari makan di tempat lain.” Raden Mursodo menjawab penuh keyakinan.

Kedua saudara itu kemudian mulai menyiapkan alat pancing. Raden Said sebenarnya ragu akan mendapatkan ikan. Terlihat dari sungai tempat mereka memancing, sama sekali tidak ada ikan yang berenang. Satu jam kemudian Raden Mursodo pun mulai terlihat kesal. Sungai di depan mereka tenang sekali. Tak terlihat riak air karena ada ikan yang berenang.

“Sepertinya kita memang harus pindah tempat,” keluh Raden Mursodo yang akhirnya mengakui kalau dugaan saudaranya itu memang tepat.

Raden Said mengangguk lega. “Bagaimana kalau kita memancing di tepi pantai sebelah utara saja?”

Raden Mursodo mengangguk setuju. Ia pun menarik tali pancingannya. Tiba-tiba tali itu terasa agak berat. Raden Mursodo melihat ke dalam air ke tempat ujung mata kail berada. Dilihatnya ada gerakan, dan tali pancingnya jadi mengencang. Raden Said terpana begitu saudaranya menarik tali pancing. Ada seekor ikan di ujung mata kailnya.

“Hahaha. Lihat ini! Ikan Mina!” Raden Mursodo mengangkat tali pancingnya. Seekor ikan tampak menggelepar, mulutnya terjebak kail pancing.

Raden Said ikut senang. Walaupun hanya seekor ikan yang tertangkap, tapi cukup mengurangi kekesalan mereka. Kemudian ia membantu saudaranya melepaskan ikan tersebut dari mata kail. Sesuatu yang aneh terjadi ketika ikan mina itu sudah terlepas dari pancingan. Ikan itu membuka mulutnya lebar-lebar, dan mulai berbicara.

“To-tolong le-lepaskan a-aku,” rintihnya. Tubuhnya menggelepar-gelepar di tangan Raden Mursodo.

Raden Mursodo sangat terkejut. Nyars saja ikannya terlepas dari tangan. “Ha! Ikan ini ajaib! Ia bisa bicara!”

Raden Said sama terkejutnya dengan saudaranya tersebut. Ia mengamati ikan mina yang terus menggelepar-gelepar. “Hei, kau ini apa sebenarnya?” teriaknya. Ada nada takjub dalam suaranya Raden Said.

“Tolong lepaskan aku, jangan makan aku.” Ikan itu menangis.

Raden Mursodo masih setengah terkejut ketika terlintas sebuah ide di kepalanya. “Apa yang akan kau berikan pada kami kalau kau dilepaskan?” tanyanya penuh selidik. Ia ingin tahu kesaktian apa yang dimiliki ikan tersebut.

Ikan Mina menggelepar hebat. Rupanya ia mulai merasa sesak napas. “A-aku akan mem-memberikan sisikku padamu. Si-sik milikki akan berubah jadi e-emas,” ucapnya megap-megap. Lalu sebuah sisik terjatuh ke tanah. Sisik itu langsung berubah jadi emas begitu menyentuh tanah di tepi sungai.

Kedua bersaudara tersebut sangat takjub melihatnya. Mereka tak sadar ada sepasang mata kuning mengintai saking terpesonanya menatap sisik emas ikan Mina. Raden Mursodo pun bersepakat akan melepaskan Ikan Mina asalkan ia memberinya sisik lebih banyak lagi. Ikan Mina menyanggupi permintaan tersebut.

“Ba-baiklah, akan kuberikan si-sik emas la-lagi, asalkan ka-kalian le-lepaskan aku,” jawabnya megap-megap.

Raden Mursodo dengan senang hati melepaskan sang ikan ke sungai kembali. Beberapa sisik di tubuh ikan Mina mulai terlepas. Kedua bersaudara itu menahan napas, menunggu keajaiban terjadi begitu ikan Mina sudah dilepas. Keasyikan mereka terganggu sebuah suara geraman keras dari balik air sungai. Tiba-tiba saja Nogo Rojo muncul ke permukaan. Mulutnya terbuka lebar. Naga jahat itu menyambar ikan Mina yang sedetik lagi akan menyentuh air. Hap! Ikan itu langsung lenyap ditelan si naga besar. Harapan Raden Mursodo dan Raden Said mendapat banyak emas hilang dalam sekejap.

“Dasar naga jahat!! teriak Raden Mursoso marah. Dengan cepat ia menarik pedangnya, lalu melompat ke atas tubuh naga.

Raden Said menghunus pedangnya juga. Ia melompat, membuat luka panjang di perut Nogo Rojo yang mulai terbang. Nogo Rojo menggeram, menyemburkan api panas pada Raden Said. Dengan cekatan Raden Said menghindar semburan api tersebut. Sementara itu Raden Mursodo mulai menebas ekor naga. Naga menjerit kesakitan. Ekornya terlempar jauh ke arah Jawa tengah. Naga terbang turun naik, berusaha menjatuhkan Raden Mursodo.

Namun serangan Raden Said dari bawah memaksanya terbang lagi. Sedangkan serangan Raden Mursodo membuatnya sangat kesakitan. Raden Mursodo sangat marah karena tidak jadi mendapatkan emas.

“Mati kau naga jahat!!” teriaknya sambil melompat tinggi lalu menebaskan pedangnya berulang kali.

Nogo Rojo menjerit kesakitan begitu pedang Raden Mursoso memotong tubuhnya. Bagian kepala Nogo Rojo terlempar ke arah Banyuwangi, sedangkan badannya yang besar terhempas di tepi pantai. Tamat sudah riwayat si naga besar itu di tangan Raden Mursodo.

Tentu saja kehebatan kedua bersaudara mengalahkan Nogo Rojo langsung tersebar. Penduduk memuji dan menghormati Raden Mursodo karena berhasil membinasakan naga jahat. Kini penduduk tidak khawatir lagi akan kehabisan makanan. Dan kemakmuran daerah mereka pun tergambar jelas.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar