Hari itu, hari Minggu. Kami sekeluarga menonton film bersama. Di tengah film, aku mengantuk. Kutaruh kepalaku di atas perut ibuku. Empuk dan nyaman sekali. Untukku perut ibu adalah bantal paling empuk sedunia. Aku sangat suka memeluknya.
Ketika mataku hampir terpejam di atas perut Ibu, tiba-tiba ada suara dari luar rumah, “Bakso! Bakso!”seru suara itu, diiringi suara tabuhan mangkuk, Ting ting ting! Itu suara Pak Timo, tukang bakso keliling di komplek rumahku. Setiap dua hari sekali, dia lewat depan rumah, dan ibu pasti membelinya.
“Ibumu sebentar lagi pasti ambil mangkuk,” kata ayah.
Pak Timo di depan rumah, lalu berteriak lagi, “Beli bakso, tidak, Bu?”Ibu lalu balas berteriak, “Libur dulu, Pak!”
Aku dan ayah saling berpandangan, heran.
Sore harinya, ayah mengajak kami bermain di taman bermain di depan komplek rumah kami. “Sebentar, Ayah keluarkan motornya dulu, ya,” kata ayah.
“Kita jalan kaki saja, kan dekat,” sahut ibu. Aku dan ayah saling berpandangan. Tumben, biasanya ibu paling malas jalan kaki, pikirku.
“Oh, siap! Kita jalan kaki saja, ya,” ucap ayah. Kami pun berjalan kaki, menyusuri gang-gang rumah dan menyapa para tetangga yang kami temui.
Saat tiba di taman, aku melihat banyak jajanan. Ada cireng, cilok, cimol, martabak mini, sempol, papeda, es potong, es teh jumbo, dan masih banyak lagi. Ibu yang biasanya bersemangat membeli semua jajanan yang ada, hanya diam saja. Ibu malah membeli buah-buahan di penjual buah yang tak jauh dari taman. Lagi-lagi, aku dan ayah saling berpandangan.
“Tumben, ya?” ayah mencolekku. Aku mengangguk-anggukkan kepala.
Hari-hari berikutnya, ada banyak kejutan dari ibuku. Ibu tidak pernah menyentuh lagi camilan krupuk yang selalu tersedia di atas meja. Kalau sore hari, ibu tidak pernah menyediakan sepiring gorengan untuk ayah yang baru saja pulang dari kantor.
“Lho, lho, lho, kenapa meja makannya kosong? Biasanya sudah ada sepiring pisang goreng,” ucap ayah saat membuka tudung saji. Ayah kecewa. Tapi kemudian ibu datang membawa sepiring pisang rebus.
“Direbus saja, Yah… biar enggak bosan,” senyum ibu. Wajah ayah berubah senang.
Begitu pula, sore-sore berikutnya, tidak ada lagi camilan yang digoreng. Semua makanan serba direbus; pisang rebus, kacang rebus, ubi rebus, sukun rebus, atau jagung rebus. Aku dan ayah, senang-senang saja. Makanan rebusan rasanya tetap enak kalau ibu yang buat. Kami sekeluarga pun jadi lebih sering makan rebusan dan buah-buahan.
Suatu hari, Pak Timo lewat depan rumah. Dia berhenti dan membujukku untuk membeli baksonya.
“Ayo Panji, dibeli dong. Enggak kangen makan bakso buatan Pak Timo apa?” kata Pak Timo.
“Sebentar Pak,” Aku lalu masuk ke dalam rumah dan meminta ibu membelikan bakso untukku.
“Ambil uangnya di dompet Ibu sana,” ujar ibu.
“Ibu enggak mau beli juga?” tanyaku.
Ibu menggeleng. “Ibu sedang tidak ingin makan bakso,” jawabnya.
Pak Timo kecewa. “Ibumu kenapa? Kok tidak mau makan bakso lagi? Bakso buatan Pak Timo apa tidak enak, ya?” tanya Pak Timo kepadaku.
“Tidak tahu, Pak. Tapi menurutku sih enak-enak saja,” jawab aku sambil menyeruput kuah bakso di mangkokku. Pak Timo pun kembali merenung. Dia mengingat-ingat apa ada bumbu yang terlupa saat membuat bakso, sampai pelanggannya tidak mau membeli baksonya lagi.
“Sudah Pak, enggak usah dipikirin. Itu, ada Bu Nanda, Bu Jarwo, dan Bu Sani, sedang berjalan ke sini bawa mangkok. Pasti mau beli bakso,” kataku. Pak Timo tersenyum. Ternyata, dia masih punya banyak pelanggan.
Seminggu berlalu. Bertemu lagi dengan hari Minggu, hari untuk kami sekeluarga bersantai ria. Minggu pagi, ibu mengajak ayah dan aku untuk jogging di sekitaran rumah. Sepulang jogging, ibu membuatkan kami segelas jus mangga dan sepiring kacang rebus. Nikmat sekali. Siang harinya, kami lalu bersantai di ruang keluarga. Kutaruh kepalaku di atas perut ibuku. Eh, eh, kenapa rasanya berbeda, ya? Tidak seempuk biasanya. Aku peluk erat perut Ibu. Eh, iya…memang tidak seempuk biasanya.
“Ibu, perut ibu kenapa mengempis?” kutekan-tekan perut ibu dengan jari telunjukku.
“Kamu enggak lihat, perut Ayah juga mengempis, lho,” ucap ayah sambil memegang perutnya.“Kan, sudah seminggu kita mengurangi makan goreng-gorengan, memperbanyak makan sayur dan buah, lalu pergi ke mana-mana juga jalan kaki. Ya tentu saja mengempis,” jelas ayah.
“Iya, tapi yang lebih penting, badan Ibu juga terasa lebih ringan, tidak cepat pusing, dan Ibu merasa lebih sehat,” ucap ibu.
“Jadi enggak mau tiduran di perut ibu lagi, nih?” goda ayah.
“Eh, siapa bilang? Perut Ibu kan bantal paling empuk sedunia, bantal paling nyaman,” kataku sambil memeluk erat perut ibuku.