BUE PALI

Baru beberapa hari menikmati liburan, Andre merasa banyak hal-hal baru yang ia ketahui selama tinggal di desa kelahiran ibunya, desa kecil di pinggir Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah.

Minggu itu memang hari libur sekolah dan orangtua Andre sengaja mengambil cuti untuk menjenguk keluarganya di Kalimantan.

Kakek Andre sudah tua, namun tetap tampak kuat. Orang-orang memanggilnya bue bapa Sanang. Kakek  tinggal di sebuah rumah betang yang panjang dan tinggi. Kakek bercerita kalau rumah orang Dayak dibangun seperti itu untuk menghindari binatang buas dan bahaya banjir yang kerap terjadi di desa itu karena letaknya yang memang dekat pinggir sungai. Andre senang karena rumah itu memiliki banyak kamar dan setiap kamar diisi oleh keluarga sepupunya. Mereka memang tidak lagi tinggal di rumah tersebut karena semua anak-anak Kakek bapa Sanang sudah berpencar kesana kemari. Ada yang menikah dengan orang Batak; ada yang menikah dengan peranakan Cina. Ada juga yang menikah dengan orang Jawa seperti ibunya. Ada juga yang menikah dengan sesama orang Dayak namun bertempat tinggal di luar Kalimantan karena tuntutan pekerjaan. Keluarga Pelangi, kata tante Wila, adik ibunya. Karena permintaan kakek dan neneknya, mereka semua berkumpul di rumah itu untuk merayakan kebersamaan mereka yang tidak pernah mereka rasakan selama belasan tahun.

Keluarga Pelangi itu sekarang menikmati makan malam lesehan di tikar rotan yang sudah tua setua usia kayu bangunan rumah kakek. Makanan yang dihidangkan adalah wadi.  Awalnya lidah Andre tidak terbiasa makan makanan semacam itu, namun indra perasanya beradaptasi setelah matanya melihat betapa rakusnya sepupu-sepupunya makan makanan tersebut.

Andre makan dengan lahap. Bian dan Gian, sepupu kembarnya sudah selesai makan. Andre berhenti makan juga. Masih ada sisa nasi dan lauk wadi di piringnya. Mata kakek mendelik melihatnya. “ Andre, habiskan makananmu. Pali. Nasimu nanti akan menangis.”

Andre segera menyuap sisa nasi di hadapannya dengan patuh walaupun dalam hatinya bertanya-tanya. Pikirnya tadi pagi kata pali disebut-sebut juga oleh kakek. Semua gara-gara ia berdiri di tepat di ambang pintu rumah sambil mengamati pemandangan kebun kakek di seberang yang ditumbuhi pohon pisang. Di ujung kebun terbentang Sungai Kahayan yang mengundang niatnya menceburkan diri mandi beramai-ramai dengan sepupu-sepupu dan anak tetangganya.

“Hei, jangan berdiri di ambang pintu. Pali,” suara kakeknya terdengar jelas di belakangnya. Andre cepat-cepat melangkah menuju deretan bangku di teras rumah. Suara kakek membuyarkan hayalannya. Sepupunya, Bian nyengir. “Rasain, dimarahi kakek Pali.”

Esok paginya, sesuai janji Bian dan Gian setelah mendengarkan permintaan menghiba-hiba Andre untuk berenang di sungai, mereka menelusuri jalan setapak di antara kebun pisang kakek yang berjejer dengan rapi. Kakek Pali. Hmmm. Ia mulai terjangkit cara cucu-cucu kakek menyebut namanya tanpa sepengetahuan beliau. Mereka berangkat ke sungai tanpa membawa baju ganti, handuk dan sabun. Yang penting, diriku sudah lihai berenang, kata Andre dalam hati. Sekembalinya ke kota nanti, ia akan membanggakan petualangannya kepada teman-teman sekelasnya.

Rombongan anak-anak usia belasan tahun itu mandi dengan riang gembira. Mereka berenang di daerah yang airnya tidak terlalu dalam. Sungai Kahayan memang tidak berarus deras di musim kemarau seperti sekarang ini. Namun anak-anak desa tidak ada yang nekat berenang ke tengah. Pesan kakek tadi ketika mereka izin mandi sudah lebih dari cukup membuat mereka berhati-hati. “Ada jata di dalam air.  Bila tak kau ganggu, tak apa-apa. Namun  bila kau menyombongkan dirimu di tengah air, mereka yang berkuasa di dunia air akan mengajarmu.”

Bulu kuduk Andre merinding. Cepat-cepat ia keluar dari dalam air sungai dan mengajak mereka semua yang sedang asyik mandi untuk segera pulang. Tangannya mulai berkeriput dan ia menyadari bahwa mereka sudah mandi selama hampir sejam dan waktunya kembali ke rumah sebelum kakek sendiri yang datang menjemput mereka.

Andre dan sepupunya berlari-lari melintasi jalan. Tampak kakek duduk menunggu di kursi rotan di beranda rumah. Dengan baju yang masih basah, Andre berniat masuk ke dalam rumah. Dia menginjakkan kaki di anak tangga pertama rumah kakek yang tinggi. Namun kakek sudah menyambutnya dengan handuk di tangannya. “Eitss, pali masuk ke rumah dengan baju basah.”

Andre meringis malu. Dia mengambil handuk di tangan kakek, mengucapkan terima kasih dan kembali ke halaman rumah. Tentu saja ia harus melepaskan bajunya dulu, mengeringkan badannya dan masuk ke rumah dalam keadaan bersih. Bian, Gian dan sepupunya yang lain juga melakukan hal yang sama.

Siangnya kata pali itu kembali ia dengar. Kali ini ketika mereka diajak mencari kayu bakar di hutan kecil di belakang rumah. Mereka mengambil ranting-ranting kayu kering yang yang tergeletak di atas tanah. Andre ingin buang air kecil. Ia berlari kecil ke arah semak-semak tinggi dimana ia bisa terlindung dari pandangan yang lainnya. Namun kakek yang sigap sudah memegang tangannya dan menyuruh ia permisi dulu dengan alam di sekitarnya. “Pali melakukan hal seperti kencing atau panggilan alam lainnya tanpa permisi dulu ketika berada di hutan seperti ini. Setiap alam pasti ada penghuninya dan siapapun penghuninya, tidak ada yang suka bila diganggu. Kau juga pasti marah bila tempat kediamanmu diperlakukan sembarangan oleh orang lain. Cepat kau tiru kata-kata minta izin ini.” Andre dengan patuh mengulang kata-kata kakeknya meminta izin kepada sekelilingnya.

Sore harinya lagi, Andre belajar lagi tentang pali yang lain. Senja sudah tiba ketika cucu-cucu kakek Sanang masih bermain-main di halaman rumah. Halaman rumah yang dipenuhi dengan tanaman bunga, tanaman obat-obatan dan rempah-rempah menjadi tempat yang cocok untuk bermain petak umpat. Andre sudah menyembunyikan  dirinya di bawah bangku kayu panjang yang memojok di dekat pohon jambu. Kakek dengan matanya yang tajam mengawasi mereka tepat di anak tangga paling atas. Katanya tegas,” Siapa yang ingin diincar makhluk alam gaib, boleh saja tetap bersembunyi. Pali masih bermain di luar ketika hari sudah mulai gelap. Apalagi bermain petak umpat.”

Anak-anak bubar dengan sekejap. Andre yang langsung mencari ibunya. Kakek memang perusak kesenangan, pikirnya. Ia lalu memberanikan diri menanyakan sikap kakeknya kepada ibunya. Ia berpikir harus ada penjelasan yang masuk akal atas semua pali atau tabu yang selalu didengarnya sepanjang hari selama berada di kampung ibunya. Ibunya menanggapi dengan bijak. Ibu Andre mencoba menjelaskan dengan singkat dan sederhana. “Cobalah kau ingat-ingat lagi, Andre, apakah dengan tidak mematuhi pali itu, ada keuntungan yang engkau dapatkan?”

Andre mengernyitkan keningnya. Ia tidak memahami maksud ibunya. Ibunya melanjutkan,” Misalkan kau tetap masuk ke rumah dengan badan dan pakaian yang basah. Bagaimana keadaan rumah? Tentu jadi basah juga bukan. Rumah jadi lembab dan keadaan seperti itu akan gampang menimbulkan penyakit bagi penghuni rumah. Misalkan juga kamu tetap bermain petak umpat pada saat sudah mulai gelap. Bisa jadi kau tidak melihat lagi sekelilingmu dan kau tidak sadar tercebur ke sungai. Dalam keadaan panik karena gelap kau bisa tenggelam sekalipun kau merasa jago berenang.”

Andre terdiam. Dia mulai memahami maksud ibunya. Dia menyadari kakeknya memang luar biasa. Beliau tinggal di sebuah kampung yang boleh dibilang  terpencil namun mampu membesarkan semua anaknya sehingga berhasil. Kakek pali  selalu mempunyai aturan yang terkadang tidak dipahami. Namun, sesungguhnya semua aturan itu bertujuan untuk keselamatan diri.

“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar