Liburan idulfitri masih beberapa hari lagi. Setiap hari, Mima bisa menikmati kue kering yang dihidangkan di rumah. Mima sudah mengumpulkan uang lebaran dari berbagai kerabat. Dia tidak sabar untuk membelanjakannya bersama teman-teman mainnya. Mereka membuat janji berkumpul di rumah Santi jam empat sore. Mereka akan pergi ke toko es krim, lalu menikmatinya di pinggir lapangan.
Sementara itu, hari ini Ibu sangat sibuk karena memasak ketupat, gulai, dan menyiapkan beberapa kue. Setiap kali Mima akan meminta izin kepada Ibu, Ibu harus melakukan ini dan itu. Sampai setelah selesai salat zuhur, akhirnya Mima bisa berbicara dengan Ibu. Akan tetapi, sebelum Mima menyampaikan yang sudah dia simpan dari tadi, Ibu berbicara duluan.
“Mima, nanti Ibu mau minta tolong untuk mengantar ketupat ke tetangga-tetangga, ya.”
“Eh?” jawab Mima sedikit terkejut.
“Ibu juga ikut mengantar. Kita bagi tugas karena Ayah akan pulang terlambat hari ini.”
“Jam berapa, Bu?”
“Jam setengah empat bisa kita mulai,” jawab Ibu sambil tersenyum.
“Sebenarnya … aku harus ke rumah Santi jam empat, Bu.”
“Oh, begitu.”
“Tapi, Ibu sendirian, ya?”
Mima sedikit mengkhawatirkan Ibu. Ibu pasti sudah lelah karena memasak sejak pagi. Mima tidak mau Ibu sakit pinggang lagi seperti ketika Ibu harus membuat kue kering waktu itu.
“Mima bantu sebisanya saja, enggak apa-apa, kok!” kata Ibu.
Begitulah, Mima memang bisa saja membantu Ibu sampai sebelum jam empat. Namun, Mima punya ide lain. Mima berniat cepat-cepat mengusung rantang ke rumah para tetangga.
Setelah salat asar, rupanya Ibu sudah menyiapkan rantang-rantang. Masing-masing rantang ada tiga susun. Mima tahu kebiasaan Ibu. Tingkat paling bawah berisi ketupat. Tingkat selanjutnya berisi gulai. Lalu, tingkat paling atas berisi kue-kue. Mima sudah sepuluh tahun. Ia yakin kalau dia bisa mengangkat dua rantang dalam sekali jalan. Ibu menutup rantang dan menaruhnya di ruang tamu. Di tutupnya ada tulisan nama tetangga penerima rantang tersebut.
“Baiklah, saatnya aku beraksi!” ujar Mima dengan percaya diri.
Mungkin semangat Mimalah yang membuatnya merasa kalau rantang lebih ringan dari tahun-tahun sebelumnya. Mima memeriksa nama yang tertera, lalu segera meluncur menuju tujuannya.
“Ibu! Mima berangkat, ya!” teriak Mima dari ruang tamu.
Tidak ada jawaban dari Ibu. Mima tidak bisa menunggu Ibu yang mungkin sedang di toilet. Misi ini harus Mima selesaikan sebelum jam empat. Dia memutuskan untuk langsung berangkat saja.
Setelah beberapa kali pulang dan pergi mengantarkan rantang, Mima menemui Ibu yang sepertinya sedang bingung di ruang tamu rumahnya.
“Ibu!”
Mima tersenyum lebar-lebar sambil menunjukkan giginya. Mima yakin ibunya bangga karena inisiatifnya.
“Kok sudah diantar kemana-mana, Mima?”
“Santai, Bu. Mima sudah hafal nama tetangga-tetangga kita. Mima gerak cepat tanpa Ibu minta!” jawab Mima sambil menunjukkan jari jempolnya.
“Tapi, ketupatnya kan baru mau ibu masukkan!”
Mima terdiam tidak bisa berkata apa-apa.
“Tadi ketupatnya baru matang dan masih sangat panas. Jadi, Ibu ke rumah Bu Ajeng dulu untuk mengambil kue pesanan yang kurang.”
“Aduh, bagaimana, dong?” jawab Mima.
Kaki Mima sedikit lemas. Dia merasa bersalah. Apa kata tetangga yang tadi menerima rantang? Mima sangat malu atas perbuatannya.
“Ya, sudah. Ayo kita antar saja ketupatnya,” ujar Ibu sambil sedikit cekikikan.
Sambil melirik jam, Mima tahu kalau waktunya mengantar ketupat hanya tinggal lima belas menit lagi. Namun, ia tidak kuasa untuk tidak meminta maaf kepada para tetangga.
“Maaf, ya, Pak Soleh! Ketupatnya ketinggalan,” ucapnya di rumah Pak Soleh.
Di rumah Bu Wiji pun, dia harus mengucapkan hal yang sama. Permintaan maafnya harus ia ulang sampai sepuluh kali. Setiap kali ia meminta maaf, Ibu ikut menemaninya. Wah, bukannya membantu Ibu, Mima malah membuat acara mengantar rantang tidak kunjung selesai. Untungnya, di tengah-tengah, Ayah datang. Ayah membantu mengantarkan sisa rantang di rumah.
Jam sudah menunjukkan waktu hampir setengah lima. Mima harus bergegas ke rumah Santi. Dia khawatir sekali karena gagal menepati janji. Sebelum Mima berangkat, Ibu menghampiri Mima.
“Terima kasih, ya, Mima! Mima mau ikut meminta maaf tadi. Padahal, ada sepuluh rumah yang harus didatangi,” ucap Ibu.
“Iya, Bu. Terima kasih juga, ya! Ibu mau menemani Mima minta maaf.”
“Ibu senang, deh. Ternyata Mima tahu arti ketupat.”
“Eh, memangnya arti ketupat apa?”
Mima bertanya-tanya, tidak mengerti maksud ucapan Ibu.
“Ketupat itu dari bahasa Jawa, Kupat. Artinya mengaku lepat atau mengaku kesalahan,” jelas Ibu kemudian.
“Oh, Mima tahu sekarang.”
“Pantas saja orang membagikan ketupat setelah lebaran!” tambah Mima.
Sebelum berangkat ke rumah Santi, Mima melepas lagi sepatunya.
“Ibu, ada sisa wadah ketupat kosong?” tanya Mima.
“Masih ada. Memangnya kenapa?” tanya Ibu kembali dengan mengernyitkan mata.
“Mau aku bawa ke rumah Santi!”
“Buat apa?”
“Ada, deh. Boleh, ya?”
Walaupun Ibu curiga, Ibu membolehkan Mima untuk membawa sisa wadah. Ada empat wadah ketupat yang dia bawa sesuai dengan jumlah teman-temannya. Mima mampir ke toko Pak Dana untuk menanyakan apakah teman-temannya sudah membeli es krim. Mima tahu bisa melancarkan rencananya.
Di rumah Santi, teman-temannya terlihat bermuka masam. Mima sudah sangat telat. Santi sedang membaca komik. Tiga temannya yang sedang membaca majalah langsung menutup bacaannya melihat kedatangan Mima.
“Mimaaa! Sudah jam berapa ini?” tanya mereka semua hampir bersamaan.
Mima hanya bisa nyengir. Tidak ada kata-kata yang bisa dia ungkapkan untuk menunjukkan rasa bersalahnya. Dari balik badannya, Mima menunjukkan ketupat-ketupat kepada semua kawannya.
“Ini, nih! Aku mengaku lepat, eh, mengaku salah, hehehe.”
“Ketupat?” tanya Santi dengan melebarkan bola matanya.
Teman-temannya yang lain pun melenggangkan tangan di pinggang tak habis pikir.
“Ketupat spesial,” ujar Mima.
Mima ingat es krim favorit teman-temannya. Ia memasukkan masing-masing es krim ke dalam wadah ketupat. Sebagai permintaan maaf, Mima mentraktir semuanya.
Santi berujar, “Ini sih, ketupat enggak jadi lepat. Ketupat jadi bermanfaat!”
“Hahaha!”
Syukurlah, semua orang tertawa dan melupakan rasa kesalnya.
Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024