Berawal dari kisah dua laki-laki bersaudara, Nusa dan Busu yang sedang mencari ikan di Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Mereka mengayuh perahunya hingga memasuki beberapa sungai kecil atau handil. Di sebuah handil, perahu mereka terhenti karena ada sebatang pohon besar yang tumbang dan melintang di tengah sungai.
Nusa menepikan perahu, Busu dengan sigap turun berusaha menyingkirkan pohon tumbang itu. Namun, tenaga Busu tak cukup untuk memindahkannya sehingga Nusa memutuskan agar mereka menebang pohon itu dahulu. Setelah ditebang, tentu lebih mudah memindahkan batang pohon ke tepi sungai.
“Kak, biar aku saja yang memindahkan pohon ini. Sekarang sudah lewat tengah hari, kita belum memperoleh apa-apa,” kata Busu.
“Baiklah, kalau begitu aku akan menyusuri sungai di sebelah sana. Barangkali ada banyak ikan,” jawab Nusa.
“Baik, Kak. Aku akan menunggu di sini,” kata Busu lagi.
Nusa bergegas naik ke tebing sambil berjalan di sepanjang pinggir handil itu. Pandangannya tertuju pada sebuah tumpukan batu besar di sungai. Ia mendekati bebatuan itu, berharap ada sarang ikan di sana. Tetapi bukan ikan yang ia dapatkan, melainkan sebutir telur berukuran besar.
“Telur apa ini? Lebih besar dari telur angsa. Tetapi milik siapa? Sepertinya tidak ada siapa-siapa, mungkin induknya sudah pergi,” kata Nusa. Meski kebingungan, Nusa memutuskan untuk membawa pulang telur itu. Ia kembali menemui Busu yang sudah selesai memindahkan batang pohon tumbang.
“Dapat ikannya, Kak? Aku juga menangkap ikan dan lumayan dapat beberapa ekor, Kak,” seru Busu riang. Rupanya, di bawah batang pohon tumbang itu ada ikan-ikan yang bersembunyi dan Busu berhasil menangkap sebagian di antaranya.
“Aku tidak memperoleh ikan, tapi aku mendapatkan ini,” jawab Nusa memperlihatkan telur di tangannya.
“Telur apa itu, Kak? Jangan diambil, kasihan nanti induknya pasti akan mencari,” sahut Busu dengan raut wajah khawatir.
“Tenang saja, Busu. Aku yakin telur ini ditinggalkan oleh induknya jadi sebaiknya aku bawa pulang saja,” kata Nusa tersenyum.
Busu merasa janggal dengan telur yang tampak tidak biasa itu. Tetapi, ia tidak mampu menentang keinginan kakaknya. Nusa dan Busu mengayuh perahu mereka dan menuju ke arah pulang. Rumah Nusa berada di tepian sungai Kahayan, sebagaimana umumnya tempat tinggal penduduk yang hidup di sepanjang sungai. Setibanya di rumah, istri Nusa menyambut kedatangan mereka. Busu menyerahkan ikan hasil tangkapannya, dan Nusa memberikan telur yang ia peroleh tadi. Dengan penuh keheranan, istri Nusa menerima sekaligus bertanya kepada suaminya.
“Telur apa ini, Kanda? Besar sekali, apakah hendak dierami?” tanya istri Nusa.
“Tidak, aku ingin mencoba telur itu, sepertinya lezat,” jawab Nusa.
“Tapi, bagaimana jika berbahaya? Aku tidak mau, Kanda!” tukas istri Nusa dengan ragu.
“Kalau begitu, siapkan saja untukku. Busu, kau juga mau mencicipinya nanti?” tanya Nusa pada adiknya.
“Tidak, Kak. Aku tidak mau,” sahut Busu dari balik pintu kamar.
Lalu, istri Nusa mengolah ikan dan telur tersebut. Meski ukurannya besar, isi telur itu sama seperti telur biasanya, ada putih dan kuning telur. Kekhawatiran istri Nusa terhadap telur itu sedikit berkurang. Tidak berapa lama, wangi masakan telah tercium hingga seisi rumah. Mendengar panggilan istrinya, Nusa langsung menuju ruang tengah. Mereka berlesehan, duduk di lantai yang dialasi dengan tikar rotan hasil anyaman istri Nusa. Nusa lalu memanggil adiknya untuk makan bersama. Nusa sangat lahap memakan telur yang telah diolah istrinya menjadi telur dadar, sedangkan istri Nusa dan Busu tidak ikut menyantapnya.
Menjelang sore, Nusa merasa ada yang tidak beres dengan perutnya. Ia merasa mulas, mual, dan pusing bersamaan.
“Sepertinya aku masuk angin. Sebaiknya aku tidur sebentar, nanti juga pasti hilang sakitnya,” batin Nusa. Nusa tidak menceritakan kondisinya tersebut pada sang istri. Ia meringkuk menahan nyeri. Keringat mulai mengucur, kepalanya terasa makin berat, dan kulitnya tampak memerah.
“Ah, panas sekali rasanya! Keringat ini membuatku gatal. Aku tidak tahan!,” teriak Nusa sembari menggaruk-garuk badannya. Istri dan adiknya yang mendengar teriakan Nusa, bergegas menemui Nusa. Mereka terkejut sekaligus keheranan melihat Nusa.
“Apa yang terjadi, Kak?” tanya Busu khawatir.
“Cepat, bawa aku berendam di sungai. Aku kepanasan,” pinta Nusa pada adiknya. Busu menuruti perintah Nusa. Setibanya di sungai, Nusa langsung menceburkan dirinya. Ajaib, berangsur-angsur rasa gatalnya menghilang. Namun, seiring itu pula tubuh Nusa perlahan-lahan berubah. Kulitnya menebal dan mengeluarkan sisik, badannya memanjang, telapak kaki dan tangannya melebar, wajahnya pun menyerupai naga.
Istri Nusa menjerit histeris menyaksikan perubahan tubuh Nusa. Sadarlah mereka apa yang menyebabkan keanehan itu. Rupanya, telur yang telah disantap oleh Nusa adalah telur naga. Konon, siapa pun yang memakan telur naga akan menjelma menjadi naga. Menyadari kesalahannya, Nusa berpamitan kepada istri dan adiknya kemudian pergi menuju handil tempat ia mengambil telur itu. Handil itu dikenal dengan nama Tumbang Nusa.