Menanam Jagung
Rini DST
Laras dan adiknya Kana pergi berlbur ke rumah kakek dan neneknya di kaki Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Engki Bidin begitu panggilan kakeknya dan Nini Ridia panggilan bagi neneknya. Engki Bidin dan Nini Ridia senang menanam berbagai hasil kebun. Kebetulan beberapa hari lalu mereka memanen sngkong, dan menjual hasinya ke Pasar Lembang. Hari ini mereka menyibukkan diri menanam jagung.
Rumah mereka tidak terlalu besar, tetapi kebunnya sangat luas. Meskipun begitu Laras, adik dan kedua orang tuanya bisa menginap di sana. Mereka bisa tidur di kamar Tika dan Mita, anak-anak Engki Bidin dan Nini Ridia, yang semuanya sudah menikah. Tika adalah ibunya Laras dan Kana, kini tinggal di Kota Kembang Bandung. Mita adiknya Tika saat ini sedang pergi merantau ke Negara Sakura Jepang.
Mendengar kedatangan mobil yang membunyikan klakson tiga kali, Engki Bidin mencuci tangannya dengan sabun yang tersedia di pancuran air dekat pintu belakang. Ia segera menyambut kedatangan anak, menantu dan cucu-cucunya.
“Engki, mana Nini?” tanya Laras yang turun dari mobil, segera memberi salam dan memeluk Engkinya.
“Nini sedang menanam jagung di kebun di belakang sana,” jawab Engki Bidin sambil menunjukkan tangannya ke arah Nini menanam jagung.
Nini Ridia memasukkan tiga butir jagung dalam setiap lubangnya, yang sudah dipersiapkan beberapa hari lalu. Lubang yang dibuat berderet rapi, sudah diisi dengan sejumput kotoran ayam. Kemudian didiamkan dulu semalam, agar tahi ayam itu tidak mengeluarkan hawa panas lagi.
Tika beranjak turun dari mobil, sambil menuntun Kana. Dia segera bersalam kepada Engki Bidin. Kana yang cantik tidak menolak ketika Engki mengangkat dalam gendongannya. Sementara Prama sibuk memarkir mobilnya di keteduhan pohon durian. Pandangan matanya ceria melihat warna-warni bunga di halaman depan. Dia membersihkan tangannya, saat melihat pancuran air yang disediakan di samping teras depan. Segera setelah masuk ke dalam rumah, dia mencium tangan ayah mertuanya.
“Engki, Nini sedang marah kepada Laras ya?” tanya Laras kepada Engki Bidin, setelah kembali dari kebun belakang.
“Tentu saja tidak, mengapa harus marah?” Engki balik bertanya kepada Laras.
“Nini mengatakan Assalamualaikum Cu,” kata Laras
“Apakah Laras sudah menjawabnya?” tanya Engki.
“Sudah Engki,” jawab Laras, “Lalu Laras tersenyum, tetapi Nini melihat Laras, tidak tersenyum dan tetap menutup mulutnya.”
Engki yakin Nini tidak marah. Namun, dia heran mengapa Laras mempunyai dugaan neneknya marah. “Apakah Nini terlalu letih memasukkan butiran jagung ke dalam lubang?” pikirnya
Engki mengajak anak, menantu dan cucu-cucunya menikmati aneka jajanan yang dibuat oleh Nini. Ada sawut, getuk lindri, kolak singkong, singkong goreng dan kripik singkong.
Tika sudah mengetahui, pasti jajanan ini buatan orang tuanya. Pada masa kecil hingga remaja, dia sering menikmati berbagai kue karya orang tuanya yang merupakan hasil panen.
Seperti Engkinya yang mencuci tangan dengan sabun, mereka juga berbondong-bondong menuju pancuran air. Setelah itu mereka menikmati aneka penganan singkong, dengan asyik.
Tiba-tiba terdengar teriakan Nini dari pintu belakang
“Wah, senangnya Nini dan Engki dikunjungi amancu,” katanya dengan tertawa lebar, mengembangkan kedua tangannya.
Tika dan Prama terkejut, mengapa Nini giginya ompong semua? Mereka tdak berani mengatakan apa-apa. Laras yang berlari menuju neneknya yang segera mendekapnya dengan pelukan hangat.
“Hi… gigi Nini ompong,” katanya menertawakan Nini Ridia.
Tika tak tahan untuk tidak menanyakan, kenapa gigi ibunya.
“Abis ini gigi Nini, waktu jatuh dari angkot saat menjual hasil panen ke pasar,” kata Nini Ridia dan Engki Bidin hampir bersamaan.
Nini segera berjalan menuju dapur, dia memasak nasi dan menghangatkan lauk pauk yang disimpan di kulkas. Laras mengikuti dari belakang.
“Nini tadi marah ya, kok menutup mulut dan cemberut,” kata Laras,
“Oalah cucuku, Nini bukan marah,” kata Nini Ridia, “Nini sedang menanam jagung. Kalau biji jagungnya melihat gigi Nini yang ompong nanti jagungnya juga juga ompong,”
Laras menanyakan kepada mamanya Tika, apakah benar pendapat neneknya. Namun, mamanya meminta Laras bertanya kepada papanya Prama yang kebetulan dokter gigi.
Papanya tersenyum sambil mendatangi Nini dan Laras. Walaupun dia meyakini Nini Ridia salah pendapat, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Pendapat ibu mertuanya hanya merupakan salah satu kearifan lokal, dari sebuah daerah.
Benar. Menurut Nini Ridia, itu merupakan nasihat yang diberikan orang tuanya saat dia kecil. Dia menghabiskan masa kecil di Desa Ketami, di Kabupaten Kediri.
Kearifan lokal seringkali sulit dibuktikan kebenarannya. Bagi kebanyakan anak-anak, kearifan lokal memberikan manfaat. Misalnya dalam kasus seperti yang dialami Nini Ridia, agar setiap anak-anak merawat giginya agar tidak ompong. Bagi yang mendapat musibah seperti Nini, giginya yang ompong harus dibawa ke dokter gigi untuk dibenahi. Gigi yang bagus dipertahankan dengan dipasang tambalan, yang busuk dibuang akar-akar yang tersisa dan diganti dengan gigi palsu.
“Yuk, Nini besok ikut ke Bandung,” kata Prama, “Kita perbaiki kerusakan giginya ya.”
“Hore, besok Nini dan Engki ikut ke Bandung,” kata Laras, “Supaya nantinya kalau menanam jagung tidak harus cemberut lagi.”
Bandung, 30/04/2024
Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba cerpen Anak Paberland 2024
Terima kasih Paberland atas ilustrasi yang indah. Semoga tulisan saya bisa diikutserakan dalam Lomba Cerpen Anak Paberland 2024. Salam hangat dari Rini DST