Apakah Anda masih mengkotak-kotakkan gaya belajar seseorang menjadi visual, auditorial, dan kinestetik?
Kalau iya, mungkin saatnya untuk memikirkan ulang. Tiga gaya belajar ini seling disalah kaprahi sebagai sesuatu yang bakat-bakatan, alias tiap orang punya gaya belajar sendiri yang tak bisa diubah.
Menurut Pooja K. Agarwal, Patrice Bain dalam bukunya Powerful Teaching, agar optimal dalam belajar, kita justru harus pandai menggunakan ketiganya, karena masalah yang berbeda kerap membutuhkan gaya belajar yang berbeda pula untuk memahaminya. Karenanya, jangan buru-buru memberi label gaya belajar tertentu pada anak-anak sebelum benar-benar berusaha untuk mengoptimalkannya.
Sajian Layar dan Keterampilan Berpikir Visual
Kemajuan teknologi informasi membuat kita mendapat lebih banyak stimulasi visual ketimbang stimulasi auditori dan kinestetis. Informasi dalam bentuk visual semakin banyak digunakan, selain teks, juga dalam bentuk infografis, diagram, tabel, sampai animasi. Proses brainstorming pun bisa dilakukan walau tim dalam lokasi yang berjauhan dengan menggunakan metode mind mapping, yang juga berupa informasi visual.
Sayangnya, di sisi lain, media sosial memborbardir dengan video-video singkat yang tak cuma cepat, tapi juga tidak memberi kesempatan berpikir. Algoritma media sosial terus mendorong penggunanya untuk terus menggulung layar demi mendapat informasi “seru” lainnya tanpa memberi kesempatan pikiran untuk mengendapkan informasi lalu memikirkannya secara kritis. Akibatnya sungguh aneh. Orang sering “membaca” media sosial, tapi malas membaca buku, sering “melihat” gambar, tapi tak paham isi infografis, sering “menonton” opini, tapi ternyata hanya bisa menaruh komen emosional, bukannya berargumen dengan data. Dengan kata lain, kita mendapat asupan visual luar biasa namun ternyata tidak membuat literasi visual kita meningkat.
Jarak antara tersedianya informasi visual dengan literasi visual dapat dijembatani dengan keterampilan belajar. Jembatan itu adalah kemampuan berfikir visual atau visual thinking skills .
Kemampuan berpikir visual perlu dilatih sejak dini agar apa yang menjadi asupan mata dapat mengembangkan kecerdasan sehingga berguna di masa depan. Untuk melatihnya pada anak-anak, kita membutuhkan sesuatu yang bisa dinikmati secara visual, mengikuti kecepatan berpikirnya, dan dapat dieksplorasi kapan saja. Alat itu –salah satunya– adalah Silent Book alias buku senyap.
Buku Senyap atau Silent Book
Buku senyap adalah buku yang disajikan dalam lembaran-lembaran bersisi gambar, tanpa teks. Karena tanpa teks, pembaca bebas menginterpretasikan cerita berdasarkan gambar-gambar yang ada.
Popularitas buku senyap diawali pada tahun 2012. Saat itu banyak pengungsi dari Afrika dan Timur tengah yang tiba di pulau Lampedusa, Italia. Untuk menjembatani perbedaan bahasa, International Board on Books for Young People (IBBY) meluncurkan proyek “Silent Books, from the world to Lampedusa and back”. Sejak saat itu IBBY mengadakan pameran silent books dwitahunan. Daftar buku-bukunya bisa dilihat di wikipedia
Salah satu buku favorit saya dari daftar tersebut adalah Ronan Badel, L’ami paresseux (The Lazy Friend)
Melatih Keterampilan Berpikir Visual
Phillip Yenawine di Museum of Modern Art di New York City menyusun Visual Thinking Strategies (VTS) tahun 2013. VTS adalah teknik pembelajaran untuk membantu guru dalam mendorong muridnya untuk berdiskusi mengenai karya seni visual. Dalam prosesnya, siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis, berbahasa, dan literasi visual.
Caranya cukup sederhana. Guru atau orangtua bisa mengajukan tiga pertanyaan ini,
1. Apa sih yang sedang terjadi di gambar ini?
2. Apa saja yang kamu lihat sehingga menyimpulkan begitu?
3. Ada kejadian apa lagi ya, selain itu?
Pada pertanyaan pertama, siswa melihat lalu memikirkan pendapatnya mengenai apa yang dia lihat. Pada pertanyaan kedua, siswa ditanya lebih detail agar belajar untuk menyusun pendapatnya. Biasanya di tahap ini interpretasi siswa masih lebih sederhana dari yang seharusnya. Karenanya di pertanyaan ketiga, Guru bisa memancingnya untuk melihat hal lain sehingga dia akan memikirkan ulang, apa pendapatnya sudah tepat? atau dia dapat menemukan kejadian lain dalam gambar yang ia lihat. Guru atau orangtua bisa kembali menanyakan ke poin satu.
Bagaimana, siap mengeksplorasi buku senyap?
Ilustrasi : Sampul buku senyap berjudul “Lari, Eli!” (2024) ditulis oleh Tethy Ezokanzo.
Referensi :
https://en.wikipedia.org/wiki/Silent_books