Pernak-pernik Ramadhan Raya #Part10

Kasih Sayang Allah

Waktu di jam dinding yang tergantung di ruang tengah rumah Maryam, menunjukkan pukul 02.31 dini hari.

“Umma, Umma,” terdengar suara Yahya memanggil-manggil Umma. Umma terbangun, segera membuka pintu lalu menuju ke kamar Yahya.

“Kenapa Nak?” tanya Umma sambil menyentuh badan Yahya. Seketika Umma tahu, apa yang sedang terjadi. Umma segera mengambil termometer dari kotak P3K yang terletak di kamarnya. Umma lalu kembali ke kamar Yahya dan mengukur suhu tubuhnya. 38.2 derajat Celsius, itulah yang tertera pada layar termometernya.

“Tuh kan demam,” Umma bergumam. Umma membangunkan Abah, menanyakan pendapatnya, apakah harus segera diberi obat, atau masih dalam tahap aman.

“Kita kompres, perbanyak minum dan ajak istirahat dulu aja ya. Kalau sampai waktu sahur belum turun juga, baru kita kasih obat penurun panas,” Abah menjelaskan.

“Iya Bah,” Umma mengiyakan saja. Umma memeras handuk kecil yang telah direndam air dengan suhu ruang, lalu meletakkannya di kepala Yahya. Melihat Yahya yang sudah tenang dan mulai tertidur kembali, Umma keluar kamar Yahya. Umma mengambil wudhu lalu shalat tahajjud dan witir.

Setelah selesai shalat, Umma menuju dapur, untuk memasak menu sahur hari ini. Umma memasak nasi, sayur asam, ikan bakar dan tahu-tempe goreng. Saat waktu menunjukkan pukul 03.15, Umma menuju kamarnya lagi lalu membangunkan Abah. Kemudian membangunkan Maryam juga.

Makanan sudah terhidang di meja, lengkap dengan kerupuk rempeyek dan timun segarnya. Abah dan Maryam duduk di meja makan. Tidak lama kemudian, Yahya keluar dari kamar lalu duduk di meja makan. Seperti bersiap untuk ikut sahur.

“Yahya mau apa Nak?” tanya Umma dengan lembut.

“Mau ikutan sahur Umma,” jawab Yahya dengan suara yang terdengar masih begitu lemah.

Umma, Maryam dan Abah saling berpandangan.

“Kan Yahya masih demam, Nak. Enggak usah puasa dulu ya hari ini.” Abah membujuknya.

Yahya menggeleng, “Aku tetap mau puasa,” Yahya bersikeras.

“Yahya, kan masih demam. Istirahat aja dulu dek, nanti kalau sudah sembuh puasanya dilanjut lagi.

“Tapi, Kak?” Yahya masih ingin mengelak.

“Yaudah yuuk, kita makan sahur aja dulu bareng-bareng nanti waktunya keburu lewat,” ajak Umma.

Abah mengambil makanan lengkap dengan lauknya. Setelah Abah mengambil makanan, barulah anggota keluarga lain ikut mengambil makanan.

Setelah selesai makan, semuanya berkumpul kembali di ruang tengah. Umma sempat menggoreng beberapa pisang dan menyajikannya dengan hangat. Umma juga membuat susu dan teh hangat. Setelah menyantap sedikit pisang goreng. Yahya kembali ke kamar, Maryam mengikutinya. Setibanya di kamar, Yahya segera berbaring di tempat tidurnya. Maryam mendekat dan duduk di samping Yahya.

“Dek, polisi sama dokter itu hebat enggak?” tanya Maryam.

“Hebat kak,” jawab Yahya.

“Tahu enggak kalau polisi dan dokter itu juga kadang enggak bisa bertugas, seperti kalau mereka lagi sakit. Padahal mereka hebat kan ya?” tutur Maryam.

“Iya juga ya,” Yahya menjawab.

“Nah, Yahya juga anak hebat. Tapi, kalau Yahya sedang sakit sebaiknya tidak puasa dulu agar bisa segera pulih kondisinya,” Maryam menjelaskan.

Ia menambahkan “dek, waktu Kakak dulu sakit, kakak juga pengen banget segera sembuh, karena mau main lagi dengan teman-teman. Terus, Aku jadi tahu, ternyata Allah ngasih sakit cuma secuil aja ya, cuma beberapa hari, Allah ngasih jaaauh lebih banyak waktu sehat, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ternyata, sakit itu bentuk kasih sayang Allah juga, jadi kita bisa bersyukur lebih banyak.”

“Masyaallah, iya ya kak. Tapi, kalau aku enggak puasa, jadinya enggak cukup sebulan dong puasanya,” ujar Yahya sedih.

“Ya enggak apa-apa tidak penuh, bisa diganti di luar Bulan Ramadhan, nanti aku temenin deh,” jawab Maryam.

“Ooh begitu ya kak. Tapi, beneran temani aku kalau mau puasa untuk ganti yang bolong ya kak,” jawab Yahya singkat. Maryam mengangguk-angguk tersenyum. Tidak berapa lama, suara adzan subuh pun terdengar.

“Yaaah udah adzan, belum sempat minum,” keluh Maryam. Yahya tersenyum usil.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar