Bibi Kecil
Meskipun lelah setelah menempuh perjalanan darat yang cukup menantang. Maryam dan Yahya sangat bahagia bisa pulang ke kampung nenek Umma, Nek Ipa. Kampung yang asri, masih banyak sawah dengan padi-padi yang hijau sepanjang mata memandang. Hewan ternak berlalu lalang di depan rumah, dibawa oleh pemiliknya untuk merumput di kaki bukit. Penduduk desa yang ramah-ramah dan yang paling penting sanak keluarga yang sangat jarang bertemu akhirnya bersua kembali. Bahkan, ada anggota keluarga yang harus dikenalkan kembali ke Maryam dan Yahya. Karena saat ke kampung Nek Ipa terakhir kali, Maryam masih berumur empat tahun, sedangkan Yahya masih berumur dua tahun.
Saat hari pertama di kampung, Maryam dan Yahya masih sangat canggung untuk bergaul. Mereka masih mengekor kemanapun Umma dan Abah pergi.
“Malu, Umma,” kata Yahya.
“Belum kenal Abah, canggung,” sahut Maryam.
Maryam dan Yahya masih merasa agak asing dengan anggota keluarga di kampung. Meskipun mereka sudah pernah beberapa kali saling menyapa lewat telpon video via smartphone.
Hari kedua Maryam dan Yahya sudah mulai berbaur. Bergaul dengan anak-anak sebayanya. Ada yang memiliki hubungan darah dengan mereka, ada juga yang tidak. Salah satunya adalah Aisyah, anak berumur enam tahun yang sejak pagi sudah bertandang ke rumah Nek Ipa. Dia begitu akrab dengan orang di rumah. Begitupun dengan Umma dan Abah. Selain itu, ada Pak Ahmad yang membantu Nek Ipa mengurus bebek dan ayam peliharaannya. Aisyah dan Pak Ahmad masih kerabat dekat Maryam dan Yahya.
Di siang yang terik, Pak Ahmad memanjat pohon kelapa di depan rumah Nek Ipa. Ia memetik beberapa buah kelapa yang akan dijadikan es kelapa muda untuk takjil hari ini. Umma, Abah, Maryam, Yahya, bersama Nek ipa, Aisyah, Ahmad dan beberapa keluarga lainnya duduk melingkar untuk menantikan waktu berbuka puasa. Mereka saling bercengkrama satu sama lain. Namun, ada yang mengganjal di hati Maryam dan Yahya, mereka ingin segera bertanya pada Umma.
Setelah berbuka puasa bersama dan shalat Maghrib berjamaah. Maryam dan Yahya mencari Umma, untuk menanyakan sesuatu.
“Umma, kata nenek, Aisyah itu Bibi kami ya. Tapi, kan dia masih seumuran sama Maryam. Jadi, Maryam harus manggil apa dong, Bibi, Kak, atau apa Umma?” tanya Maryam bingung.
Ia bingung karena Aisyah merupakan anak dari sepupu Mama, nenek Maryam. Tapi, usia Aisyah masih seumuran dengannya. Sehingga ia sebaya namun tak setara dalam silsilah keluarga.
“Nek Ipa juga bilang kalau Pak Ahmad itu sepupu Yahya. Padahal kan usianya kayaknya seperti Abah. Kok bisa gitu sih Umma?” Yahya tak mau ketinggalan, ia juga penasaran.
“Iya Nak, memang dalam silsilah keluarga kadang ada yang seperti itu. Kalau di keluarga kita, selisih usia itu karena Nek Ipa banyak bersaudara, sebelas katanya,” Umma menjelaskan.
“Kayak kesebelasan sepak bola dong Umma,” celetuk Yahya.
“Iya Nak,” Umma menanggapi dengan senyuman lalu melanjutkan penjelasannya.
“Nah, karena banyak bersaudara jadi selisih jarak usia anak pertama dengan anak terakhir cukup jauh. Sedangkan Nek Ipa itu anak keenam. Jadi, seperti pak Ahmad, dia cicit dari kakak pertama Nek Ipa. Makanya, statusnya cicit seperti kalian, tapi udah lebih tua dari Umma,” Umma menjelaskan.
Meski masih agak bingung, Maryam dan Yahya hanya mengangguk-angguk. Setidaknya di penghujung Ramadhan kali ini, mereka bisa berkumpul dengan keluarga besar Umma. Mengenal lebih banyak sanak famili di kampung yang sangat jarang mereka temui. Maryam dan Yahya menyambut Hari Raya di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, bersama dengan keluarga besar yang mereka sayangi.