Sekawanan semut sedang asyik memakan kutu putih di kulit rambutan. Namun, tiba-tiba mereka berhenti. Mereka baru sadar, ada seekor semut asing. Tubuhnya persis seperti mereka, tetapi tak ada seekorpun dalam kawanan yang mengenalinya.
“Dari mana asal lu?” gertak seekor semut menggunakan logat Betawi.
“Saya dari Surabaya,” kata semut asing itu dengan suara medhok khas Jawa Timur.
Seketika semua semut tertawa, “Ha ha ha, Surabaya? Itu kan jauh banget. Bangau Bluwok aje butuh berhari-hari sampai ke sono.”
“Tapi, saya jujur. Tadi pagi saya ada di pasar buah Surabaya, tahu-tahu siang-siang ada di sini.”
“Ah, kagak mungkin semut seperti kite bisa selamat berjalan sejauh itu! Pembohong, lu!” omel semut yang lain.
“Udeh. Ayo makan lagi!” kata seekor semut mendamaikan.
Tiba-tiba, angin kencang bertiup. Para semut berpegangan sekuatnya di rambut-rambut buah. Terlihat kilatan petir, lalu tiba-tiba mereka ada di tengah keramaian. Sambil berusaha merayap ke atas batu-batuan agar jangan sampai terinjak-injak, mereka mendengar orang-orang bicara.
“Pendusta! Bagaimana mungkin dia bilang ke Baitul Maqdis semalam, ha ha ha!” seseorang tertawa terbahak-bahak.
“Apalagi, sampai ke langit ketujuh segala. Bahkan bertemu Allah! Dia sudah gila betulan!” sahut yang lain, disambut tawa yang semakin keras.
Saat tawa mulai mereda, seseorang yang lain berkata, “Hei, tapi bukankah dia dipanggil Al-Amin? Yang terpercaya? Kita sendiri yang memberikan gelar itu untuknya.”
Orang-orang itu terdiam sejenak, “Ya, saya bahkan pernah menitipkan emas di rumahnya,” yang lain berkata lirih.
“Tapi itu aneh sekali, kan, mana mungkin ke Baitul Maqdis secepat itu. Kita setidaknya butuh satu bulan sampai ke sana, belum lagi kalau ada yang sakit di jalan, bisa lebih lama lagi.”
“Ya, ya, kamu benar, ‘Gila kamu, Muhammad!’” orang itu mulai berteriak , diikuti teriakan yang lain.
Namun tak sedikit pula yang jadi terdiam. Mereka mulai merenungi betapa jujurnya Muhammad, ia hampir tak mungkin berbohong.
“Lihat, Abu Bakar maju!” kata seseorang “Ha, ha. Bahkan Abu Bakar akan menertawakan Muhammad. Saya akan berpihak pada apapun yang lelaki keren itu katakan!”
Seketika orang-orang menjadi sunyi. Para semut lega, kini mereka bisa merayap naik ke tembok-tembok tanpa terlalu takut terinjak. Mereka bisa melihat seorang lelaki yang tampak dihormati maju ke depan.
“Wahai Abu bakar, apa kamu percaya, Muhammad telah datang ke Baitul Maqdis dalam semalam? Bahkan ia mengaku naik ke langit!” seru seseorang, disambut tawa yang lain.
“Sungguh saya telah membenarkannya perihal khabar langit (Mi’raj) , maka bagaimana mungkin saya mengingkarinya dalam peristiwa itu (Isra’). Selama Muhammad berkata, maka sungguh dia benar.” kata orang yang disebut Abu Bakar itu dengan tenang dan elegan.
Para semut menoleh ke arah semut dari Surabaya. Mereka tahu cerita Isra’ Mi’raj itu benar. “Hei, ngomong-ngomong, Bagaimana caramu tiba di Jakarta?”
“Entahlah, saya dimasukkan ke dalam kardus, lalu mereka masukkan ke dalam benda besar, berbentuk seperti besi. Bahkan, saya belum selesai makan, tahu-tahu sampai di Jakarta.”
Lalu tiba-tiba, angin kencang bertiup, gelap. Mereka sudah kembali ke atas sebuah tikar piknik di teras Mushola Madanee. Empat Anak sudah berkumpul di sana, siap menyantap rambutan.
“Duh, ayo kita segera pergi, lebih baik cari makan di tempat lain,” kata mereka sambil mengajak si semut dari Surabaya.