Strategi Bocah-Bocah Karangduwur (Part 4)

“Kalau kita diajak, kan?” tanya Yono dengan percaya diri.

“Ya, udah, kalian semua diajak. Tapi, Evan, kamu harus janji enggak jahil lagi!” Sekar memperingatkan.

“Oke!” Evan mengacungkan ibu jari kanannya.

“Ayo, ke rumahku sekarang. Kita bagi tugas,” ajak Sekar.

Mereka beranjak menuju rumah Sekar yang tak jauh dari masjid. Sesampainya di rumah, Sekar mengeluarkan buku tulis dan mulai membagi tugas.

“Mau masak apa kita besok?” tanya Sekar.

“Masak yang beneran ajalah, biar bisa dimakan,” usul Yudi.

“Gimana kalau masak mie instan?” Evan berpendapat.

“Ah, enggak seru,” Ais menolak.

“Masak sayur lodeh,” kata Yono.

“Terlalu banyak bahan. Ribet. Lagian emangnya pada bisa masak lodeh?” tanya Sekar.

Semuanya menggeleng.

“Kita masak bayam goreng aja gimana? Yang simpel,” usul Sekar.

“Bayam goreng?” tanya Yono meyakinkan.

“Iya. Bayam dibaluri tepung terigu, terus digoreng sampai renyah,” jelas Sekar.

“Kayaknya enak, tuh,” gumam Evan.

“Boleh, deh.” Mereka setuju. Sekar mulai menulis apa saja yang perlu dibawa.

Sekar bertugas membawa wajan, susuk, dan serog. Ais membawa minyak goreng dan garam. Yono dan Yudi membawa tepung terigu. Sementara Evan, membawa piring dan sendok.

“Bayamnya kita petik di belakang rumah Mbah Biyah, ya. Minta izin bareng-bareng.” Sekar menutup buku tulisnya.

“Siap!” jawab mereka serentak.

“Minumnya bawa sendiri-sendiri,” tambah Ais.

“Oke!”

Azan isya berkumandang. Mereka bersiap menuju ke masjid. Namun, tanpa diduga listrik padam. Ais dan Sekar menjerit ketakutan. Suara Azan juga tak terdengar lagi.

“Aduh, berisik banget, sih, kalian!” keluh Evan. “Sekar, orang tuamu di mana?”

“Masih di masjid.” Sekar dan Ais saling berpegangan kuat-kuat.

“Ya, udah. Ayo kita ke masjid. Pelan-pelan aja. Saling pegangan. Tapi, yang cewek jangan sentuh kulit, ya. Nanti harus wudu lagi aku.” Evan mulai melangkah paling depan, teman-teman mengekor di belakang.

“Sebelah mana ini pintu keluarnya?” Evan meraba-raba tembok.

“Dekat lemari tv,” jawab Sekar.

“Masalahnya, lemari tvnya juga enggak kelihatan.”

“Tunggu bentar. Bawahan mukenaku jatuh,” kata Ais menarik mukena Sekar.

“Cepat ambil!” perintah Sekar.
Ais meraba-raba lantai. Ia menemukan mukenanya. Tapi, kemudian,

“Aaa!” teriak Ais saat tangannya menyentuh sesuatu yang lembut berbulu, mengejutkan teman-temannya.

“A … apa itu, apa itu?” Ais ketakutan.

“Apa, sih, Is? Cuma kucing.” Sekar tahu saat hewan berbulu itu mengeong dan berlari menjauh.

Mereka mulai melangkah pelan. Evan sangat lega saat akhirnya menemukan pintu belakang rumah Sekar. Mereka hanya perlu melewati lorong kecil antara rumah nenek dan paman Sekar untuk sampai di masjid. Namun, saat baru saja berbelok ke lorong, mereka berpapasan dengan sesosok makhluk tinggi besar dengan sinar di wajahnya yang membuat matanya seakan-akan melotot.

“Huwa …!” Seketika mereka berteriak dan berbalik arah hingga menabrak tembok. Semuanya mengaduh.

Siapakah sosok itu? Apakah orang tua sekar yang kembali untuk menjemput Sekar? Ataukah sosok makhluk halus seperti dugaan mereka?

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar