“Ayo, ke rumahku. Bapakku bisa membuat dua pasang egrang untuk kita,” hibur Sekar.
“Tapi, aku juga tidak bisa main egrang.”
“Bukan tidak, tapi belum. Kita juga belum bisa. Kan, nanti latihan bareng-bareng.”
“Aku udah bisa, lho, ” kata Evan menyela.
“Oh, ya?” Mata Sekar melebar dan menatap Evan. “Jadi, Evan yang akan mengajari kita.”
“Sebenernya, aku juga udah bisa. Tapi, belum lancar,” imbuh Yono.
“Oke, Ais. Bagaimana? Ikut, kan?” Sekar menggandeng lengan Ais.
“Ya, kalau ada yang buatkan egrang.”
“Oke!” Sekar tersenyum senang.
Mereka tidak langsung pulang. Melainkan mampir ke warung Mbah Biyah di belakang masjid untuk membeli pecel.
Sisa uang Sekar hanya lima ratus rupiah, sementara Ais masih seribu. Mereka menggabungkannya agar bisa mendapat pecel dan gorengan. Sementara Evan hanya membeli dua potong tempe goreng yang dibumbui sambal pecel.
“Kalian mau gorengan sisa kemarin, enggak?” tanya Mbah Biyah.
“Mau, Mbah.” Yono dan Yudi yang paling keras menjawab.
“Nih, Mbah kasih satu-satu.” Mbah Biyah membagi gorengan untuk kami.
Ais dan Evan kebagian pisang goreng. Yono Yudi tempe dan bakwan. Sementara Sekar mendapat tape goreng. Meski sudah agak hitam, tapi rasanya tetap enak. Sekar paling suka tape goreng. Sepertinya Mbah Biyah sengaja memberinya itu.
….
Ayah Sekar memotong bambu dengan panjang 200 cm sebanyak empat buah. Ia akan membuat dua pasang egrang seperti permintaan Sekar. Kemudian bambu yang lain dipotong sekitar 30 cm dengan diameter yang lebih besar, untuk dijadikan pijakan. Tidak lupa, ayah Sekar juga membersihkan potongan bambu yang dapat membuat gatal.
Bambu pijakan dilubangi pada bagian ujung sesuai dengan diameter bambu panjang. Kemudian, bambu panjang dimasukan ke pijakan. Ayah Sekar mengukur tinggi pijakan hanya sekitar 35 cm. Jika untuk anak laki-laki, biasanya akan dibuat setinggi 45 – 50 cm. Yang terakhir, simpul antara bambu panjang dan pijakan diberi paku agar kuat.
Sekar dan Ais memgamati dengan seksama. Tiba-tiba, sepasang mata Ais meremang. Tangannya bergetar menahan tangis. Ia ingat ayahnya.
“Andaikan papaku masih ada. Dia pasti akan membuatkanku egrang terbaik. Papa juga akan melatihku bermain egrang, supaya aku bisa memenangkan pertandingan,” batin Ais.
“Egrangnya sudah jadi, nih. Ayo, dicoba dulu,” kata Ayah Sekar.
“Wah, terima kasih, Bapak!” Sekar mengambil sepasang egrang dan memberikannya ke Ais. Lalu mengambil sepasang lagi untuk dirinya.
“Ayo, Is. Coba! ”
….
Sore hari, Sekar dan teman-teman berkumpul di lapangan sesuai perjanjian. Mereka akan berlatih egrang bersama.
Evan maju lebih dulu, memamerkan ketrampilannya bermain egrang. Dengan berpijak pada batu besar, ia melangkah dengan pasti.
Tap, tap, tap!
Evan menuju ujung lapangan sambil tersenyum. Melihat Evan bermain egrang, terlihat sangat ringan dan mudah. Ia pandai menghindari lubang dan bebatuan yang menghalangi jalan.
Yono dan Yudi juga mulai berlatih. Yudi tidak langsung berhasil naik ke egrangnya. Beberapa kali ia harus mengulang. Sementara Yono, langsung bisa berpijak dengan baik. Namun, masih terlihat kaku. Saat sampai di tengah lapangan, ia limbung dan terjatuh. Tapi, tak apa. Karena Yono jatuh dalam posisi berdiri.
Sekar dan Ais memperhatikan mereka dari sisi lapangan. Keduanya mencermati bagaimana cara berpijak yang baik. Bagaimana cara menjaga keseimbangan, dan mempelajari trik untuk menghindar dari rintangan.
Setelah merasa cukup, Sekar dan Ais memberanikan diri untuk mencoba.
Evan membantu Ais memegangi egrangnya.
“Bismillah ….” Ais gemetar, ia merasa egrang ini terlalu tinggi.
“Jangan goyang-goyang, Is! Tenang aja,” kata Evan.
“Tenang gimana? I, ini … tinggi banget. Aaa!” Ais melompat turun.
“Ayo coba lagi!” seru Evan.
“Biasa aja, dong! Enggak usah bentak-bentak!”
Sekar juga masih kesulitan. Yono dan Yudi membantu memegang sisi kanan dan kiri egrang Sekar.
“Ayo, jalan!” perintah Yono.
“Bentar-bentar. Aku coba jaga keseimbangan dulu.” Sekar masih berdiri di atas egrang. Yono dan Yudi pun masih berada di sampingnya.
Beberapa detik Sekar merasakan sensasi berdiri di atas egrang. Ia merasa seperti berada di atas bukit yang tinggi. Melihat ke tanah membuatnya goyah.
“Jangan lihat ke bawah!” kata Yudi.
“Kita lepas pegangannya, ya?” ucap Yono.
“Tunggu, tunggu, tunggu. Aku belum siap.” Sekar mengatur napas. “Oke, bismillah. Kalian lepas dalam hitungan ke tiga, ya.”
“Satu … dua … tiga!”
Hap!
Hanya sekitar lima detik Sekar mampu bertahan. Akhirnya dia jatuh juga.
Di sisi lapangan lainnya. Evan dan Ais terus berdebat. Ais hampir menangis karena Evan marah setiap Ais terjatuh. Sesekali mereka juga tertawa karena merasa konyol. Terik matahari sore ini cukup membuat tubuh mereka berkeringat.
Berkali-kali terus dicoba. Sebanyak itu juga mereka gagal. Tapi, mereka tak menyerah. Masih ada waktu beberapa hari sebelum perlombaan. Mereka terus berlatih setiap sore.
“Bersiap …! Satu, dua, tiga, maju …!”
Tap, tap, tap!
Sekar dan Ais maju bersamaaan. Meski masih agak kaku, mereka melangkah dengan pasti. Tatapan keduanya fokus ke depan. Mereka tak boleh melihat ke bawah. Saat tiba di ujung lapangan, Sekar dan Ais turun secara bersamaan.
“Yeay …! Kita berhasil!” Mereka melompat-lompat kegirangan.
Yono, Yudi, dan Evan berlari ke arah Sekar dan Ais. Mereka saling bergandengan membuat lingkaran dan berjingkrak bahagia.