Tarian Ajeng di Negeri Impian (Part. 7)

Bab 7

Mengenal Tari Reog Ponorogo

Meski sudah paham dengan tari yang akan disaksikan, Ajeng tetap penasaran dengan pertunjukan Reog Ponorogo. Pertunjukan itu biasanya diadakan di arena terbuka sebagai hiburan rakyat dan mengandung unsur magis.

Reog Ponorogo sendiri merupakan seni budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut. Ponorogo sendiri dianggap sebagai kota asal Reog.

“Coba dengar itu, Bufi.” Ajeng meminta Bufi memasang pendengarannya. “Suaranya dari sana. Ayo, cepat!”

Sejauh apa pun suara gamelan, indra pendengaran Ajeng selalu bisa menangkap. Seolah-olah jiwa seninya sudah mendarah daging sehingga tahu arah suara gamelan pengiring Tari Reog yang sebetulnya masih jauh. Ajeng pun menarik lengan Bufi supaya mengikutinya.

“Ya ampun Ajeng, tanganku sakit. Kita pasti nonton, kok.”

Tak peduli ucapan Bufi, Ajeng makin mempercepat langkahnya. “Aku nggak mau ketinggalan sedikit pun, Bufi.”

Bufi menggeleng dan bergumam, “Ajeng … Ajeng ….”

Tak selang lama, mereka sampai di tanah lapang. Banyak orang sudah berkerumun, menyaksikan seni daerah yang masih berbau hal-hal mistis dan ilmu kebatinan.

“Tuh, kan, sudah mulai.” Wajah Ajeng mendadak masam. “Kamu, sih, jalannya lama,” sungut Ajeng sambil melipat tangan di dada.

“Iya, maaf, Ajeng.” Bufi merasa tidak enak hati, sudah mengecewakan sahabatnya.

Untuk mengurangi rasa bersalahnya, Bufi menceritakan tentang Tari Reog Ponorogo pada Ajeng.

“Jeng, kamu tahu nggak, nama-nama penari dalam seni Reog Ponorogo?”

“Maksudnya?” Ajeng garuk-garuk kepala dengan bibir manyun.

“Kamu lihat, penari yang berjumlah enam, pria gagah berani dengan pakaian serba hitam itu?”

“Iya, yang mukanya dipoles merah-merah itu?”

“Iya, itu namanya Warok. Kalau kelompok penari yang menunggangi kuda-kudaan itu namanya Jathilan atau Jaran Kepang.”

“Jaran artinya kuda, kan, dalam bahasa Jawa. Terus kenapa namanya kepang? Apa kuda-kudaannya punya rambut dikepang kayak kamu, Bufi?”

Seketika itu Bufi tertawa, Ajeng yang mulanya cemberut pun ikut tertawa.

“Ya ampun, Ajeng. Kamu bikin aku sakit perut tahu.”

Anak berkepang dua itu kemudian memegang rambut kepangnya sendiri dan kembali terbahak. Sambil sesekali cekikikan, Bufi menjelaskan, dinamakan jaran kepang karena kuda-kudaannya terbuat dari bambu yang dianyam.

“Ooh, gitu, ya.” Ajeng meringis malu. “Tapi aku suka sama gerakan penari Jathilan, Bufi. Gerakannya halus, lincah, dan cekatan sesuai irama.”

“Iya, Jeng. Bikin kita nggak bosan menonton. Sekarang kamu tahu enggak, nama penari utama pada seni Reog Ponorogo?”

“Maksudnya, orang yang pakai topeng berbentuk kepala singa dengan hiasan bulu merak itu?” Bufi mengangguk. “Kalau itu aku tahu, namanya Singa Barong. Bener, ‘kan?”

“Yey, seratus buat kamu.” Bufi tepuk tangan pelan.

Kembali Bufi menerangkan jika pertunjukan seni Reog Ponorogo menceritakan tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning. Namun, di perjalanan sang raja dicegat Raja Singa Barong dari Kediri yang membawa pasukan dari merak dan singa.

“Wah, jadi ada ceritanya, ya.”

“Emang, menurut kamu mereka nari-nari asal gitu?” Bufi memicingkan mata sinis.

“Nggak gitu juga, Bufi. Gemes, deh, sama kamu.” Ajeng mencubit pipi Bufi gemas.

Kemudian, keduanya hening tak bersuara karena fokus menikmati pertunjukan. Ajeng makin kagum kepada penari Singa Barong.

“Bufi, topeng Singa Barong besar banget, ya. Apa orangnya nggak keberatan?”

“Itu karena sudah berlatih, Jeng. Kamu tahu nggak, beratnya berapa kilo topeng Singa Barong?”

Ajeng menggeleng. “Emang berapa?”

“Lima puluh sampai tujuh puluh kilogram.”

“Apa?!” Ajeng terbelalak. “Kamu nggak salah? Itu, sih, berat banget!” seru Ajeng keheranan.

“Ya, memang berat dan yang lebih hebatnya lagi, penari Singa Barong menggunakan giginya, loh.”

Decak kagum terus terlontar dari mulut Ajeng. Dia merasa bangga dengan seni tradisional yang ada di Jawa Timur. Pantas, Tari Reog Ponorogo terkenal hingga luar negeri.

“Makanya, kamu rajin gosok gigi, biar giginya kuat kayak penari Singa Barong,” canda Bufi.

“Kamu kali yang malas gosok gigi,” balas Ajeng seraya cekikikan.

Tak terasa seni Reog Ponorogo sudah usai. Padahal, keduanya masih ingin terus melihat pertunjukan. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini Bufi merahasiakan tempat yang akan dituju.

Seperti biasa, Bufi meminta Ajeng menutup mata. Ajeng yang sudah paham, langsung mengangguk dan menuruti. Saat matanya terpejam, Ajeng seperti mendengar suara seseorang.

“Ajeng … bangun, Sayang!”

Ajeng langsung mengerjap. Setelah melihat sekitar, dia baru sadar jika masih ada di perpustakaan sekolah.

“Ajeng, kamu sudah bangun?” tanya Bunda.

“Bunda?”

“Kamu sekarang, kok, jadi pelor, sih? Di mana-mana langsung tidur. Dulu di taman, sekarang di perpustakaan,” ledek Bunda.

“Hehe … habisnya Bunda nggak jemput-jemput. Ajeng, kan, jadinya ngantuk.” Ajeng berkilah.

“Ya sudah, pulang, yuk. Sini Bunda bantu.”

Dibantu Bunda, Ajeng berdiri dan berjalan sambil senyum-senyum sendiri. Sontak membuat Bunda menautkan alis karena heran.

“Kenapa senyum-senyum sendiri gitu? Apa mimpi indah lagi?” tanya Bunda.

“Kok, Bunda tahu? Ajeng emang mimpi indah, seneng banget pokoknya.”

“Bunda jadi penasaran, ceritain dong.”

Bukannya menceritakan, Ajeng justru terkekeh-kekeh sendiri. Bunda yang sebenarnya bingung pun ikut terbahak dan mengusap kepala Ajeng. Wanita 30 tahunan itu lega, akhirnya Ajeng tidak murung lagi dan menerima keadaan yang menimpanya.

“Bun, nanti setelah makan dan salat Zuhur, Ajeng mau tidur siang, ya,” ungkap Ajeng sesampainya di rumah.

“Tumben?”

“Mau lanjutin mimpi,” jawab Ajeng asal.

“Emang mimpi bisa dilanjutin? Udah kayak nonton film aja,” canda Bunda yang kemudian terbahak bersama.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar