Di sebuah desa kecil yang terletak di tepian Sungai Martapura, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Anang. Anang adalah anak yang ceria dan selalu penuh semangat. Setiap pagi, sebelum matahari menyingsing, dia sudah berlari-lari kecil ke hutan belakang rumahnya.
“Anang, kemana kamu pergi setiap pagi?” tanya ibunya sambil tersenyum lembut.
“Ke hutan, Ibu. Aku ingin melihat burung-burung terbang dan mendengarkan suara alam yang indah,” jawab Anang sambil tersenyum.
Setiap hari, Anang bermain di hutan belakang rumahnya. Dia menyukai keindahan alam yang masih asri dan hening. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tertarik selain alam, yaitu suara riang yang terdengar dari balik pepohonan.
“Hmm, suara apa itu?” gumam Anang sambil mendekati suara tersebut.
Ternyata, suara riang itu berasal dari lapangan di tengah hutan. Di sana, para ibu-ibu dan nenek-nenek sedang berkumpul sambil tertawa riang.
“Hei, Anang! Kamu ingin ikut bergabung dengan kami?” tawar salah satu nenek sambil tersenyum ramah.
Anang pun bergabung dengan mereka. Dia melihat para ibu-ibu dan nenek-nenek sedang asyik menari dan bernyanyi dengan penuh semangat. Mereka memainkan alat musik tradisional yang terbuat dari bambu dan kayu.
“Ini namanya madihin, Anang. Kesenian tradisional dari Kalimantan Selatan yang selalu menghadirkan kegembiraan dan kehangatan di antara masyarakat desa,” jelas salah satu ibu kepada Anang.
Dari hari itu, Anang selalu menyempatkan waktu untuk ikut bergabung dengan para ibu dan nenek di lapangan. Dia belajar menari dan bernyanyi dengan penuh semangat. Setiap gerakan dan lirik lagu madihin menggambarkan keindahan alam dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat desa.
Waktu pun berlalu, dan hari-hari di desa terus berjalan dengan penuh keceriaan. Namun, suatu hari, kabar buruk datang menghampiri desa mereka. Sungai Martapura yang menjadi sumber mata air utama bagi desa tersebut mengalami pencemaran yang serius.
“Anak-anak, kita harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Sungai Martapura! Ini adalah warisan nenek moyang kita yang harus kita jaga bersama-sama,” seru Kakek Surya, tokoh tua yang dihormati di desa itu.
Para warga desa pun berkumpul untuk mencari solusi. Mereka melakukan berbagai cara, mulai dari membersihkan sampah di sepanjang sungai hingga melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan.
Namun, upaya mereka belum membuahkan hasil. Sungai Martapura semakin tercemar, dan kehidupan di desa pun semakin terancam. Para ibu dan nenek yang biasanya ceria dan penuh semangat juga mulai kehilangan semangat.
“Bagaimana ini, Anang? Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan desa kita?” tanya salah satu nenek dengan wajah sedih.
Anang terdiam sejenak, lalu matanya tiba-tiba berbinar. Dia ingat akan keceriaan dan semangat yang selalu dihadirkan oleh kesenian madihin.
“Aha! Saya punya ide!” serunya tiba-tiba.
Anang pun bergegas mengumpulkan semua anak-anak di desa. Dia memimpin mereka untuk belajar menari dan bernyanyi madihin. Meskipun awalnya para anak ragu, namun dengan semangat yang dipancarkannya, mereka pun ikut bergabung.
Dengan semangat yang membara, Anang dan anak-anak desa berlatih madihin setiap hari. Mereka berusaha mengumpulkan dana dengan mengadakan pertunjukan madihin di berbagai tempat. Walaupun awalnya hanya sedikit yang datang menonton, namun mereka tidak pernah menyerah.
Hari demi hari berlalu, dukungan dari masyarakat mulai meningkat. Banyak orang yang terinspirasi oleh semangat anak-anak desa dalam melestarikan budaya dan menjaga lingkungan. Akhirnya, pertunjukan madihin yang diadakan oleh anak-anak desa menjadi semakin ramai dan mendapat perhatian luas.
Tidak hanya itu, berkat kerja keras mereka, kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan Sungai Martapura juga meningkat. Banyak warga yang mulai sadar akan pentingnya menjaga lingkungan dan berusaha untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Suatu hari, sebuah keajaiban terjadi. Para anak-anak desa yang berlatih madihin berhasil mengumpulkan dana yang cukup untuk membeli alat penyaring air. Mereka memasang alat tersebut di Sungai Martapura untuk membantu membersihkan air yang tercemar.
Ketika alat penyaring air mulai berfungsi, air Sungai Martapura perlahan-lahan kembali bersih dan jernih seperti dulu. Masyarakat desa pun sangat bahagia dan berterima kasih kepada anak-anak desa yang telah bekerja keras untuk menyelamatkan sungai mereka.
Puncak kebahagiaan datang saat desa mereka mendapat penghargaan sebagai desa yang memiliki inisiatif untuk melestarikan budaya dan menjaga lingkungan. Para ibu dan nenek yang awalnya kehilangan semangat kini kembali ceria dan penuh harapan.
Di tengah-tengah kebahagiaan itu, Anang merasa sangat bangga. Dia menyadari betapa pentingnya kearifan lokal dan bagaimana kesenian madihin dapat menjadi alat untuk menginspirasi dan menyatukan masyarakat.
“Hari ini adalah bukti bahwa dengan kerja keras dan semangat yang tinggi, kita bisa menjaga warisan nenek moyang kita dan menjadikan desa kita tempat yang lebih baik untuk hidup,” ucap Anang dengan penuh rasa syukur.
Malam itu, seluruh desa mengadakan pesta rakyat untuk merayakan keberhasilan mereka. Di tengah pesta, para ibu dan nenek memimpin seluruh warga desa untuk menari dan bernyanyi madihin dengan penuh kegembiraan. Mereka merayakan keberhasilan mereka dalam menjaga kearifan lokal dan melestarikan alam.
Dengan langkah yang riang, Anang bergabung dengan para ibu, nenek, dan teman-temannya. Mereka semua menari dan bernyanyi dengan penuh semangat, menunjukkan kepada dunia betapa pentingnya melestarikan kearifan lokal dan menjaga lingkungan untuk generasi yang akan datang.
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen PaberLand 2024”