Wahyu mengayuh sepedanya dengan kencang. Budi, Panji, dan Faisal tak kalah semangat menyusul Wahyu. Pagi ini mereka bersepeda menuju ke rumah Pakde Bowo. Pakde Bowo adalah pemandu wisata di desanya. Rumahnya ada di desa seberang. Orang-orang menyebutnya sebagai Desa Wisata.
Pakde Bowo sudah berjanji hari Sabtu ini akan mengajak anak-anak jalan-jalan berkeliling desa wisata. Desa tempat tinggal Pakde Bowo memiliki suasana yang sejuk. Ada sungai yang airnya jernih. Wisatawan biasanya akan disambut dengan jagung bakar. Tapi bukan itu yang membuat Wahyu dan teman-temannya semangat untuk datang.
Setelah berkeliling, anak-anak bisa bermain di pendoponya. Ada banyak mainan di sana. Mainan-mainan itu berbeda dengan milik Wahyu apalagi Panji yang hobinya beli mainan di Kidz Station. Mainan milik Pakde Bowo ini adalah jenis mainan tradisional.
Keempat anak laki-laki yang masih duduk di bangku kelas 4 SD itu mengayuh sepeda menuju halaman rumah Pakde Bowo. Rumah Pakde Bowo bergaya Rumah Joglo. Di sebelahnya terdapat pendopo dan di situlah koleksi mainan tradisional Pakde Bowo berada.
Pendopo Pakde Bowo sering dikunjungi wisatawan. Mereka berkunjung untuk mengenal permainan tradisional. Pakde Bowo biasanya memperkenalkan setiap jenis mainan tersebut. Namun, cara yang dilakukan Pakde Bowo terbilang unik. Itu nanti yang ditunggu-tunggu.
Setelah lelah diajak jalan-jalan berkeliling desa, Wahyu dan teman-temannya beristirahat di pendopo. Bude Lasmi sudah membuatkan es jeruk yang rasanya manis.
“Siang-siang begini enaknya berteduh di pendopo sambil minum es jeruk,” kata Budi sambil menghabiskan segelas es jeruk dalam waktu singkat.
“Hush, kamu ini yang sopan. Masa sekali minum langsung habis,” nasihat Wahyu yang duduk di sebelah Budi.
“Tidak apa-apa. Bude bikin banyak es jeruknya. Kalau mau nambah, boleh. Bude taruh sini ya tekonya. Jangan rebutan, semua kebagian,” kata Bude Lasmi.
Budi jadi tersipu malu.
“Kita tunggu tamu yang lain datang dulu ya,” kata Pakde Bowo yang datang sambil naik egrang.
“Wah, Budi mau coba naik, Pakde!” seru Budi sambil menghabiskan gelas keduanya.
Wahyu jadi tidak enak hati. “Maaf Pakde, Budi suka begitu.”
Wahyu menyikut Budi karena merasa malu. Tapi Budi beringsut-ingsut tanpa merasa bersalah. Dia menunjukkan cengirannya yang nakal kepada Wahyu. Pakde Bowo dan Bude Lasmi menanggapi dengan tertawa.
“Ayo, Faisal, Panji, kamu juga Wahyu kalau mau coba naik egrang. Sini Pakde ajari,” ajak Pakde Bowo.
Langsung saja ketiga bocah laki-laki itu berhambur menuju ke tempat Pakde Bowo berada. Wahyu berebut egrang dengan Budi. Sementara Panji sudah berhasil memegang sepasang egrang, wajahnya merasa puas. Berbeda dengan Faisal yang lebih memilih menunggu di pendopo sambil menikmati camilan.
Berjalan dengan egrang ternyata tidak semudah jalan kaki biasa. Beberapa kali Wahyu terjatuh karena langkahnya tidak seimbang. Pakde Bowo masih mengajari Panji menggunakan egrang.
“Gantian,” protes Budi.
“Baru bentar,” kata Wahyu sebal.
“Kamu udah jatuh tiga kali. Sini! Sekarang giliranku,” Budi terus mendesak.
Pakde Bowo mendatangi mereka. Panji sudah lancar berjalan dengan egrang.
“Coba sekarang Budi naik egrang Pakde,” Pakde Bowo lalu mengajari mereka berdua.
Beberapa waktu kemudian setelah Wahyu, Budi, dan Panji sudah bisa naik egrang, tamu mulai berdatangan. Mereka adalah wisatawan yang ingin mengenal mainan tradisional milik Pakde Bowo.
Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pakde Bowo mulai mengeluarkan koleksi mainan tradisionalnya. Anak-anak maupun orang dewasa tertarik dengan berbagai mainan tradisional tersebut.
Sambil menerangkan cara bermainnya, Pakde Bowo tidak lupa memberi tebak-tebakkan. Ini dia yang ditunggu-tunggu. Semua sudah penasaran dengan tebak-tebakkan yang hendak diberikan oleh Pakde Bowo.
“Aku punya lumbung. Jumlahnya ada delapan. Salah satunya memiliki ukuran lubang yang besar. Jika mau bermain denganku, kalian bisa menggunakan kecik. Apakah aku?”
Semua yang ada di pendopo menyimak tebakan Pakde Bowo. Wahyu tampak berpikir. Begitu juga dengan lainnya. Kecuali Bude Lasmi yang sudah sering mendengar tebak-tebakkan dari suaminya itu.
“Ada yang tahu?” tanya Pakde Bowo sambil mengangkat tangan dan melihat ke arah tamunya.
Belum ada jawaban. Kemudian Pakde Bowo mengambil sebuah mainan tradisional yang ada di dekat Faisal.
“Ada yang pernah bermain ini?”
Seorang anak yang berasal dari rombongan wisatawan mengangkat tangan.
“Apa namanya?”
“Dakon, Pakde,” jawabnya dengan lantang.
Pakde Bowo meletakkan kembali dakon dan bertepuk tangan. Semuanya pun turut bertepuk tangan.
“Oh, ternyata dakon,” kata Panji.
“Kalau yang ini pasti Wahyu dan Budi bisa menjawab,” lanjut Pakde Bowo.
Wahyu dan Budi saling pandang.
“Aku bisa terbang, tapi aku bukan burung. Aku memiliki tali, tapi bukan sepatu. Apakah aku?”
Wahyu buru-buru menjawab sambil mengangkat tangan. “Layangan!”
Semuanya bertepuk tangan. Wahyu terlihat bangga. Kemudian Pakde Bowo mengambil sebuah layangan di atas meja dan memberikannya kepada Wahyu.
“Terima kasih, Pakde,” ucap Wahyu.
Layangan itu memiliki dua warna, merah dan kuning. Tidak ada gambar pada layangan itu.
“Nanti kamu kasih gambar di sini ya,” pinta Wahyu pada Budi.
“Siap,”
Tibalah pada tebakan terakhir dari Pakde Bowo.
“Aku ditiup bukan karena panas. Berbunyi nyaring, tapi bukan klakson. Apakah aku?”
Wah, tebakan yang sulit. Panji terlihat garuk-garuk kepala memikirkan jawabannya.
“Pakde kasih bantuan. Mainan ini terbuat dari bambu,”
“Aku tahu! Aku tahu!” Budi terlihat bersemangat. “Sempritan.”
Pakde Bowo bertepuk tangan. “Betul, Budi. Ini dia sempritan bambu.” Pakde Bowo menunjukkan kepada yang lain bentuk sempritan bambu.
Tebak-tebakkan sudah selesai. Saatnya untuk bermain. Semuanya sangat menikmati mainan tradisional di pendopo Pakde Bowo.
“Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024.”