Namaku Banyu. Aku tinggal di kaki Gunung Ungaran. Aku tumbuh bersama alam yang hijau. Setiap hari aku melihat pohon-pohon berjejer, beragam rupa dan bentuk. Aku mencium aroma bunga mawar, bunga dahlia, bunga anggrek, bunga cempaka, bunga kopi, bunga kecubung, dan bunga liar yang tumbuh di sepanjang jalan, wanginya segar dan manis. Di sini aku bisa mendengarkan suara sungai setiap waktu, kadang tenang, deras, dan bergemuruh.
Rumahku berada di samping sungai. Ayahku sengaja membuatkan rumah di sini, katanya supaya aku dan adikku bisa bermain leluasa di sungai. Adikku bernama Bhumi. Kami adalah saudara kembar. Bapak dan Ibu mengatakan nama kami adalah doa agar kami bisa menjadi orang yang bermanfaat.
Bapak dan Ibu sering mengajak kami ke sungai. Tepatnya sejak usia kami baru delapan bulan. Katanya sungai adalah laboratorium belajar yang luar biasa. Tempat belajar terbaik bagi anak-anak. Disana kita bisa mengamati pohon, memegang lumut yang basah, melihat beragam batu yang berwarna-warni, bermain dengan pasir, mencium aroma bunga liar yang sedang mekar, mengendap-ngendap untuk melihat capung jarum berwarna biru metalik yang menjaga sungai ini, juga mencari udang yang bersembunyi di balik batu.
Sungai kami sangat jernih, sejernih-jernihnya sungai sampai-sampai bebatuannya terlihat dengan jelas. Yang menyenangkan lagi aku jarang menemukan sampah plastik di sungai, sehingga bisa leluasa bermain di sungai yang bersih. Rasanya senang sekali bisa bermain di sungai. Bapak dan ibuku senang mengajak kami ke sungai, tapi kami harus selalu dengan orangtua, karena bisa berbahaya jika anak kecil bermain di sungai sendirian.
Bapak dan Ibu adalah seorang pengamat lingkungan dan pendidik. Mereka membuka saung belajar untuk anak-anak di desaku, gratis tanpa dipungut biaya sepeser pun. Setiap hari Minggu aku dan teman-teman desaku selalu belajar bersama di saung. Kami belajar tentang lingkungan dan budaya kami. Bapak selalu membuka kegiatan dengan menggunakan bahasa Jawa Krama katanya supaya kami selalu ingat siapa leluhur kami. Di saung, kami belajar hal-hal di luar dari apa yang kami pelajari di sekolah. Kadang kami mengamati tumbuhan, hewan, bermain di sungai, memasak di alam, membuat kerajinan dari tanah liat, menggambar, pokoknya seru. Ini lebih asyik daripada tidur sampai siang dan menonton televisi atau bermain gadget. Bermain dengan teman-teman lebih seru, walaupun kadang kami bertengkar, saling kesal, menangis, namun percayalah itu hanya sebentar.
Bapak selalu bilang kalau tempat kami adalah surga. Para penjaga surga kami adalah pohon. Semakin banyak pohon maka semakin banyak tentara yang membela desa kami dari gempuran bencana banjir dan tanah longsor. Semakin banyak pohon, para binatang juga semakin senang karena taman bermain mereka semakin indah. Monyet-monyet bisa meloncat riang, burung-burung bisa membuat sarang dengan nyaman, para lebah bisa membuat rumah yang luas, cacing-cacing akan semakin bersuka hati karena mendapat daun yang jatuh untuk dimakan, tanah semakin subur, dan manusia bisa mendapatkan udara yang segar dan air yang jernih. Namun, bayangankan jika tidak ada pohon para binatang pasti akan bersedih. Anak-anak burung tidak punya tempat bernaung, para monyet tidak bisa melompat dan bernyanyi, para rusa tidak bisa makan karena yang ada hanyalah remahan daun kering, tidak ada para penduduk yang mencari kayu bakar, udara menjadi kotor dan mata air akan mengering. Sungguh pasti sangat sengsara.
Setiap satu bulan sekali aku dan teman-temanku menanam pohon supaya desa kami indah dan asri. Seperti hari ini, mengawali bulan Februari.
” Tanam saja apapun yang adik-adik suka, boleh benih bunga atau benih pohon, boleh apa saja. “, kata bapak dengan tersenyum kepada kami.
” Kalau pohon jambu, apakah boleh?”, Adit temanku bertanya dengan serius.
” Tentu saja”
” Bunga matahari? “, kata Nadin dengan sedikit ragu.
” Tentu sangat boleh”, Bapak berkata dengan sangat meyakinkan
” Bunga sepatu?”
” Buah durian?”
” Semuanya boleh adik-adik intinya menanam, karena dengan itu kita telah membantu satu makhluk dari Tuhan untuk menenuaikan tugas mulianya di bumi, yaitu memberi manfaat untuk sekitar. Satu tanaman yang kita tanam adalah berkah untuk semesta, mereka berterimakasih karena ada anak manusia yang baik”, begitu kata bapak dengan menatap kami hangat.
Bapak dan ibu membagikan bibit-bibit tanaman kepada kami. Ada yang mendapat bunga, buah dan jenis pohon pewarna alam seperti mahoni dan ketapang. Sebelumnya bapak dan orang-orang dewasa lainnya sudah melubangi dan membersihkan area tanam agar tanaman baru bisa tumbuh dengan subur. Mereka semua saling bekerja sama agar kampung terlihat semakin indah. Bapak memang hobi menanam, apa saja ditanamnya dengan senang hati.
Aku dan teman-teman menerima bibit dengan perasaan senang. Kami seperti mendapatkan sebuah tugas mulia dengan membawa tanaman ini, rasanya seperti membawa piagam. Bapak sangat percaya dengan tangan-tangan kecil kami, katanya alam selalau menyukai anak kecil. Aku dan teman-teman merasa bangga mendengarnya. Aku kira anak kecil hanya bisa merepotkan orang dewasa, ternyata kami juga bisa membantu.
Aku dan teman-teman saling bekerja sama. Saat satu teman sudah selesai menanam kami membantu teman yang lain untuk membawakan bibit tanamanan. Kami membuka polybag bersama dan bersentuhan langsung dengan tanah tanpa jijik, lalu menyirami dengan air yang sudah disiapkan, terakhir kami menaruh pupuk dari kotoran kambing di atasnya agar tanah semakin subur. Tanah yang gembur dan subur adalah rumah terbaik bagi tanaman untuk semakin bertumbuh dan berkembang.
Sepanjang aku dan teman-teman menanam para burung tidak berhenti berkicau, juga serangga lain yang turut menambah indah harmoni suara alam. Apakah mereka juga merasa senang seperti kami? Padahal sebenarnya kami hanya melakukan sesuatu yang kecil dan sederhana, namun semua jadi ikut gembira. Pagi ini dibawah langit yang membentang biru, dan awan yang berarak cantik aku percaya bahwa kami juga bisa menjadi seperti pohon yang turut menjaga alam ini agar indah dan lestari.
Lomba cerpen 2024 Paberland