Volarancione mengangkasa dengan anggunnya. Cuaca cerah langit pun biru. Balon-balon berwarna-warni menghiasi langit Dollisola pagi itu. Angin lembut bertiup menerpa wajah anak-anak yang sedang asik menikmati pemandangan dari balon udara. Nabiella merentangkan lengannya seakan terbang bagai burung. Adora menikmati kerudung merah mudanya yang berkibar-kibar tertiup angin.
Dari ketinggian ternyata Pulau Dollisola terlihat berbentuk seperti hati. Semakin jauh mereka pergi, pulau itu pun terlihat makin kecil. Orang-orang yang ramai menonton di pinggir pantai, kini tampak seperti kerumunan semut di tepi pantai.
Tiba-tiba angin bertiup semakin kencang. Awan hitam besar pun mendekat. Balon Volarancione mulai berguncang. Semuanya di luar dugaan. Padahal perkiraan cuaca hari ini cerah dan tak berangin.
“Berpegangan yang kencang anak-anak!” perintah Om Pasha sigap. “Kita akan segera mencari tempat mendarat.”
Anak-anak mulai ketakutan. Sambil berjongkok Alana menggenggam tangan Nabiella dengan erat sambil memejamkan mata. Mereka semua pasrah sambil terus berdoa. Om Pasha mencoba mengendalikan balon sekuat tenaga hingga keringatnya bercucuran.
Angin besar datang, Volarancione terombang-ambing di udara. Mereka semua berteriak sambil memejamkan mata. Seketika kilatan cahaya memenuhi angkasa, tetapi tidak terdengar suara gemuruh setelahnya. Tak lama Volarancione mulai melayang turun perlahan. Anak-anak masih ketakutan dan tak berani melihat ke bawah. Namun, angin kencang yang tadi menerpa sudah tidak terasa lagi.
“Dukk” Volarancione mendarat dengan selamat.
Om Pasha dan kelima anak itu bersyukur lega. Satu persatu mereka turun dari balon dan kembali menginjak tanah.
“Alhamdulillah, kita selamat,” ujar Kalma lega.
Ia berlari-lari mengelilingi Volarancione kegirangan. Kalma melihat banyak pohon di sekitar tempat mereka mendarat. Pohon-pohon itu berbaris rapi, berdiri kokoh di atas tanah tandus. Buahnya kecil lonjong berwarna hijau. Kalma baru pertama kali melihat pohon ini.
“Om Pasha, ini pohon apa ya? Aku belum pernah melihatnya,” tanya Kalma ingin tau.
Om Pasha yang sedari tadi sedang melipat balon berwarna oranye itu baru sadar dan melihat sekelilingnya. Sesaat beliau tampak kaget.
“Sepertinya ini pohon Zaitun, dan tidak tumbuh di Negeri Dolla” Jawab Om Pasha dengan wajah yang masih bingung.
“Jadi … sekarang kita ada di mana?” Tanya Adora khawatir
“Aku tidak tahu, tapi sepertinya bukan di Negeri Dolla,” jawab Om Pasha. “Tadi ketika kondisi darurat aku menekan tombol merah dengan tulisan T itu. Tiba-tiba kilatan cahaya datang dan akhirnya kita bisa mendarat,” jelas Om Pasha.
Seketika anak-anak teringat pada tombol T di dalam tiram raksasa di Dollisola.
“Hmm … jangan-jangan itu tombol Teleportasi, Yah,” ujar Ghazi.
“Ah, itu kan hanya ada film-film. Paling-paling kita hanya tersasar ke daerah yang belum dikenal …” ujar Om Pasha tak percaya.
“Tapi kami–”
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan di kota ini untuk mencari tahu?” Kalma memotong ucapan Ghazi agar rahasia mereka tak terbongkar. Walau bagaimana pun mereka sudah berjanji kepada Profesor Nakamura untuk merahasiakan semuanya.