Hatcimm…hatcimm… Bian bersin-bersin ketika memasuki gudang. Dia berjalan cepat lalu membuka sebuah lemari kayu besar yang ada di pojok ruangan. Seketika, suara berderak pun timbul. Begitu lemari terbuka, bukk…. Bian melemparkan mobil mainannya dengan keras ke dalam lemari.
“Bian, jangan melemparku seperti itu!” Teriak Lemari itu protes. Bian acuh, karena dia memang tak akan bisa mendengarkan keluhan si kotak besar yang berdiri gagah itu.
Lemari itu hanya bisa melihat Bian dengan kesal. Begitu pintu ditutup, suasana gudang tambah pengap dan sedikit gelap. Penerangan hanya dari lubang angin yang terletak di samping ruangan. Itu pun sudah penuh dengan debu.
“Ukire Kuno, jangan cemberut saja! Mari kita bernyanyi!” Ajak Kursi kayu yang tidak kalah kusam dengannya. Lemari yang bernama Ukire Kuno cepat-cepat tersenyum. Dia tidak mau terlalu lama kesal. Malu dengan badanya yang besar.
Lemari itu namanya Ukire Kuno. Dia adalah lemari tua. Seluruh tubuhnya tertutup debu. Bahkan, kakinya tempat sarang laba-laba. Teman-teman di gudang sering memanggilnya Ukire Kuno, karena tubuhnya banyak ukiran-ukiran. Bagian atas lemari berukiran dua naga. Laci dan pintu berukiran bunga matahari. Kayunya tebal karena terbuat dari pohon jati. Umurnya sudah tua, bahkan melebihi umur Pak Danu, si pemilik rumah.
Malam telah larut, jangrik semakin asik bernyanyi. Ukire Kuno belum bisa tidur. Kejadian beberapa hari ini membuatnya sangat takut dan sedih. Satu persatu teman-temannya diangkut keluar. Entahlah mereka mau dibawa kemana?
Mula-mula Sepeda tua milik Pak Danu. Ukire Kuno tidak tahu nasibnya sekarang. Apakah dijual atau berakhir di peleburan besi. Beberapa hari kemudian satu karung mainan Bian, anaknya Pak Danu, dibawa keluar. Selanjutnya etalase bekas jualan pulsa. Hal ini berlangsung terus menerus sampai tersisa beberapa barang saja di gudang.
Ukire Kuno memikirkan nasib mereka yang telah pergi, nasib dirinya, dan teman-teman yang masih tertinggal. Akankah mereka dimanfaatkan?
Ah! Dia jadi teringat masa lalu. Saat pertama sekali dia dibeli oleh Bu Surip, ibunya Pak Danu. Betapa bangganya Bu Surip waktu itu. Belum banyak warga yang punya lemari jati bagus. Kebanyakan mereka menyimpan pakaian di rak-rak kayu kecil, rak-rak bambu atau lemari rotan.
Bu Surip sangat sayang kepadanya. Dulu, dirinya mengkilap karena setiap hari dibersihkan. Badannya yang lebar mampu menampung pakaian keluarga besar Bu Surip. Ukire Kuno ingat, ketika Pak Danu masih bayi, bajunya yang wangi diletakkan di bagian tengah. Lengkap dengan bedak bayi. Ukire Kuno sangat menyukai itu.
Tahun pun berganti. Sekarang pemilik rumah ini adalah Pak Danu. Sepeninggal Bu Surip Ukire Kuno kurang diperhatikan. Tak ada lagi yang suka membersihkannya. Bahkan, dia dikeluarkan dari kamar Bu Surip, diganti dengan lemari baru yang sangat indah. Bentuknya lebih kecil, berwarna coklat dengan list emas pada pinggirnya.
Ukire Kuno ditempatkan di ruang keluarga. Di sana dia menampung barang-barang mainan anak-anaknya Pak Danu. Buku dan majalah bekas. Bahkan, sepatu Bian yang bau terasi juga pernah mampir di tubuhnya.
Lumayan lama di ruang keluarga, Ukire Kuno dipindahkan ke gudang. Tempatnya digantikan oleh bufet indah untuk meletakkan hiasan dan piala anaknya Pak Danu. Di sana dia dan barang-barang yang tidak terpakai berkumpul. Walaupun pengap mereka tetap bersyukur karena masih ditampung di rumah ini.
***
Hari terus berganti, Kursi Tua yang menjadi teman akrab Ukire Kuno juga diangkut keluar gudang. Tinggalah dia sendirian di situ. Ukire Kuno sangat sedih. Hanya, suara tikus mencicit dan kecoa menjadi temannya seharian.
Sampailah suatu sore, pintu gudang terbuka lebar. Tampak Pak Danu dan seorang perempuan muda berdiri di pintu. Ukire Kuno mengucek-ngucek matanya. Sepertinya dia mengenal perempuan itu. Tapi, dimana?
“Mobil sudah siap, tinggal tunggu Pak Wawan dan teman-temannya mengangkat lemari ini!” Ujar Perempuan muda itu.
“Sepertinya kamu semangat sekali, Wid?” Jawab Pak danu sembari memandang Ukire Kuno.
“Hehehe….itu lemari bagus. Mas Danu saja yang tidak bisa merawatnya.” Ukire Kuno tersenyum. Ia sekarang ingat. Itu adalah Widya, anak Bu Surip yang terakhir.
“Iya…ya…ngaku salah. Tapi, kamu harus benar-benar menjaga lemari peninggalan Ibu. jangan dijual ya!”
Dengan mobil truck Ukire Kuno dibawa. Dia sangat senang akhirnya bisa bermanfaat lagi. Tidak hanya itu, Ukire Kuno juga mendapat kejutan. Sampai di rumah Widya, Ukire Kuno bertemu sahabat karibnya lagi, si Kursi Tua.
Kini Ukire Kuno tidak bersedih lagi. Widya merawatnya seperti yang pernah dilakukan Bu Surip dahulu. Ukire Kuno dan Kursi Tua sama-sama tersenyum bahagia.
Majalah Bobo
Terbit 23 November 2017