Catatan Pencatat #1: Semuanya Tentang Sudut Pandang (Bag. 1)

“Reality simply consists of different points of view.”

— Margaret Atwood

Realitas hanyalah terdiri dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Begitulah kira-kira arti kutipan dari Margaret Atwood, seorang penulis kenamaan, di atas. Begitu juga dengan sebuah cerita: ia adalah realitas yang dialami oleh para tokohnya.

Dalam pengisahan sebuah cerita, penulis hanya melihat “realitas” tersebut dari kacamata satu orang pengisah. Inilah yang disebut sebagai sudut pandang atau POV (point of view). Baik cergam, cerpen, cerbung, hingga novel membutuhkan sudut pandang untuk dapat menceritakan alurnya.

Sudut pandang adalah cara pembaca memahami alur, karakter, dan dunia yang penulis telah buat. Dengan kata lain, sudut pandang dapat dikatakan adalah “suara” si pengisah yang menarasikan cerita tersebut.

Sudut pandang secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu sudut pandang orang pertama, sudut pandang orang kedua, dan sudut pandang orang ketiga. Dari ketiga jenis ini, sudut pandang orang ketiga adalah jenis yang paling banyak digunakan dalam pengisahan, disusul sudut pandang orang pertama, kemudian (meskipun sangat jarang) sudut pandang orang kedua. Banyak pula yang hanya mengelompokkan sudut pandang menjadi sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Alasannya … akan dibahas di bagian selanjutnya.

Sudut Pandang Orang Pertama yang Emosional

Dalam sudut pandang orang pertama, pengisah adalah orang pertama tunggal (biasanya “aku”), atau lebih jarang lagi, orang pertama jamak (“kami”/”kita”). Penceritaan dengan sudut pandang orang pertama relatif mudah dilakukan karena seperti itulah biasanya manusia menceritakan kisahnya. Sudut pandang ini dapat dibagi lagi menjadi dua kelompok.

  • Orang Pertama sebagai Tokoh Utama

Coba tebak, siapakah tokoh utama pada cerita dengan sudut pandang ini? Benar, tokoh utamanya adalah si pengisah, yaitu si tokoh “aku”.

  • Orang Pertama sebagai Pengamat

Berbeda dengan kelompok sebelumnya (tentu saja, kalau tidak kenapa perlu dipisahkan, bukan?), tokoh utama pada kelompok ini bukanlah si pengisah. Tugas tokoh “aku” di sini hanyalah mengamati dan memberikan komentar terhadap tokoh utama.

Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, penulis mendapatkan akses ke pikiran, emosi, dan lain sebaginya yang dimiliki oleh pengisah. Tentu saja penulis tidak memiliki akses tersebut untuk karakter lain (kecuali si tokoh “aku” dapat membaca pikiran orang lain, atau lainnya). Karena itu, penulis harus berhati-hati melakukan eksposisi dengan sudut pandang ini. Eksposisi hanya dapat dilakukan untuk hal-hal yang dapat secara langsung dipersepsikan oleh tokoh “aku”.

Dalam bahasa Indonesia juga terdapat beberapa kata ganti orang pertama tunggal. Selain “aku”, kata ganti yang lazim digunakan adalah “saya”. Kata ganti “aku” berkesan lebih santai dan dekat, sementara “saya” lebih formal dan berjarak. Penulis perlu mempertimbangkan nuansa penggunaannya. Sebaiknya pemilihan kata ganti “aku” dan “saya” tidak dapat dipertukarkan tanpa ada perbedaan yang berarti dalam cerita. Kalau meminjam istilah para suhu, artinya pemilihan kata ganti itu jangan sekadar tempelan (bukan berarti tidak bagus, hanya kurang istimewa, hehe).

Penggunaan sudut pandang orang pertama dapat memberikan pengalaman membaca yang mendalam. Pembaca seperti mendapatkan “curhat”-an dari si pengisah sehingga dapat menimbulkan kedekatan emosional. Selain itu, sudut pandang orang pertama cenderung menaruh karakternya di garis depan cerita sehingga penokohan dapat lebih mudah dilakukan.

Pengisah lancung (unreliable narrator) juga dapat membuat sudut pandang orang pertama semakin menarik untuk dibaca. Pengisah lancung adalah pengisah yang tidak dapat dipercaya, misalnya karena memiliki bias, praduga, atau sengaja menyembunyikan fakta tertentu.

Mungkin selanjutnya timbul pertanyaan, apakah bisa menggunakan lebih dari satu sudut pandang dalam sebuah cerita? Jawabannya: tentu, asal pembaca yang disuguhi tidak menjadi bingung. Aturan jempolnya adalah “jangan menggunakan lebih dari satu sudut pandang untuk setiap adegan.” Jika tidak yakin, sebaiknya sudut pandang yang digunakan tidak usah diubah. Jika perubahan itu tidak terlalu penting, tentunya. Perubahan sudut pandang sebenarnya bisa memberi pengalaman tersendiri kepada pembaca, jika berhasil dieksekusi dengan baik.

Itulah sedikit catatan mengenai sudut pandang orang pertama. Mumpung #Talis sedang berlangsung, dan topiknya agak nyambung, tidak ada salahnya melihat catatan ini sambil merenung. Semoga dapat membantu dalam proses penulisan.

n.b.

Oh, ya. Sekadar penafian, tulisan ini hanya merupakan catatan Pencatat. Jika ada yang dirasa kurang pas, sila tinggalkan komentar untuk menambah referensi, khususnya bagi Pencatat.

n.b.b.

Tadinya Pencatat ingin memasukkan pembahasan semua sudut pandang di dalam satu catatan ini. Namun, ternyata panjang catatan ini melebihi perkiraan awal sehingga Pencatat memutuskan untuk memecahnya menjadi dua bagian.

Nantikan catatan selanjutnya tentang sudut pandang orang ketiga (dan sedikit tentang orang kedua). Namun, jangan heran jika catatan itu tidak kunjung datang. Pencatat cuma bilang nanti, ‘kan? ✌

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar