Akibat Abai Nasihat Ibu

Setelah hujan deras turun selama tiga hari, pagi ini, matahari bersinar lembut. Seluruh penghuni Hutan Lindung Desa Sangginora, Poso, Sulawesi Tengah, menyambutnya dengan gembira. Tak terkecuali Noa, seekor anoa kecil yang tubuhnya mirip kerbau kerdil.

“Ayo, bangun.” Ibu menepuk pipi Noa.

Noa menggeliat dan membuka mata. “Asyik, hujan sudah reda. Saatnya bermain!” serunya kegirangan.

“Sarapan dulu, Noa. Jangan lupa … nanti kalau main, harus tahu waktu, agar makan siangmu tak terlambat dan bisa tidur siang. Ibu pergi dulu untuk mencari daun pakis. Persediaan makanan kita tinggal sedikit.”

Noa mengiyakan. Diam-diam, ia menyelinap keluar setelah ibu pergi.

Hujan membuat hutan terlihat segar. Sinar matahari menyinari dedaunan yang masih basah.

Noa senang sekali. Menurutnya, sekarang adalah saat yang tepat untuk bermain seharian. Terkurung selama tiga hari di rumah membuatnya bosan. Apalagi, ibu selalu menyuruhnya makan tepat waktu supaya perutnya tidak sakit. Ia juga diharuskan ibu untuk tidur siang agar pertumbuhannya bisa maksimal.

Setelah jauh berjalan, Noa bertemu sahabatnya, Bingbing si kambing hutan.

Mereka berdua pun asyik bercengkerama, berkejar-kejaran, dan lomba lari.

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, matahari sudah berada di atas kepala.

“Aku pulang dulu, Noa,” pamit Bingbing.

“Nanti aja, Bing. Tanggung, nih.”

Bingbing menggeleng. “Aku mau makan siang, tak boleh terlambat agar perutku tak sakit. Aku juga harus tidur siang. Kata ibu, tidur siang baik untuk pertumbuhan.”

Noa terdiam. Semua yang dikatakan Bingbing, sama dengan nasihat ibu. Namun, ia tak mau pulang karena masih ingin bermain lebih lama.

Noa pun berjalan sendirian, menikmati keindahan alam berupa pepohonan hijau, suara merdu aliran sungai, juga nyanyian burung-burung yang terbang di atasnya.

Tiba-tiba, matahari bersembunyi di balik awan. Seketika itu, hutan menjadi gelap. Tak terdengar lagi suara burung bernyanyi. Suasana terasa sunyi. Sebentar kemudian, tetes-tetes air membasahi tubuh anoa kecil tersebut.

Noa berlari menuju pohon besar di depannya untuk berteduh.

Seolah air ditumpahkan dari tempayan, hujan deras turun mengguyur bumi.

Noa menggigil. Tubuhnya basah semua. Perutnya juga keroncongan. Ia menyesal sekali karena telah mengabaikan nasihat ibu.

“Ibu!” teriaknya ketakutan tatkala mendengar suara petir menggelegar.

Noa tersedu-sedu. Benaknya dipenuhi bayangan rumah yang nyaman, sebaskom daun pakis yang nikmat, dan pelukan ibu yang hangat.

Untunglah, hujan lekas reda. Tanpa buang waktu, Noa menyusuri jalanan berumput yang becek. Sesekali, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jalan yang dilaluinya itu sudah benar.

Kedatangan Noa disambut ibu dengan ciuman yang bertubi-tubi. “Makanlah, Noa. Ibu tahu kamu pasti lapar.”

Noa mengangguk. Ia pun meminta maaf dan berjanji untuk mematuhi semua nasihat ibu.

Gresik, 7 September 2021

Catatan:

Cernak ini pernah dimuat di Nusantara Bertutur KOMPAS, edisi Minggu, 26 September 2021

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar