Celengan Bambu Bubang

“TIDAAAK!” teriak Bubang Beruang sambil mengejar layangannya yang putus terbawa angin.

Mino Sapi temannya mengikuti Bubang, berlari melewati gang sempit dan perkebunan kopi yang luas. Tapi ternyata layangan Bubang berakhir menyangsang di pohon kelapa. Aduh, mereka tidak mungkin memanjat pohon setinggi itu.

“Jangan bersedih, Bubang. Layanganku juga pernah putus, kok. Itu bisa karena angin atau karena benangnya kurang bagus,” kata Mino.

“Kamu membeli benangmu dimana?” tanya Bubang mulai bersemangat.

“Di pasar. Di toko Pak Naka Kakak Tua,” jawab Mino.

“Terima kasih atas sarannya, Mino.”

Bubang pun bergegas pulang untuk mengambil uang, lalu berlari kencang sebelum pasar tutup.

Sesampainya di toko Pak Naka, seketika mata Bubang terbelalak melihat layangan naga yang digantung.

“Waaah, aku belum pernah melihat layangan sebesar dan sebagus ini, Pak Naka.” Bubang sangat takjub.

“Ini layangan paling bagus dan cuma ada satu lho, di pasar ini,” kata Pak Naka.

“Harganya berapa, Pak Naka?” tanya Bubang.

“Harganya seratus ribu rupiah, Bubang.”

Bubang terkejut. Ia mana punya uang sebanyak itu. Akhinya ia pun pulang dan tak membeli apapun.

Semalaman Bubang tak bisa tidur. Ia terus membayangkan sedang menerbangkan layangan naga itu. Pasti sangat seru. Pikirannya juga cemas, bagaimana kalau ada yang lebih dulu membeli layangan itu? Semoga tidak.

Tiba-tiba Bubang teringat sesuatu. Aha! Ia punya celengan bambu. Segera ia mengambilnya lalu mengocoknya. Wah, terasa berat. Isinya hampir penuh. Ia pun mencungkil uang dari lubang celengannya dengan pensil. Mencungkil lagi dan lagi. Dalam sekejap, banyak sekali uang lembaran yang berhasil dikeluarkan.

“Yey! Uang celenganku cukup untuk beli layangan naga dan benang yang paling bagus!” Bubang berteriak girang.

Bubang membawa semua uang itu ke pasar. Di tengah perjalanan, ia bertemu Mino yang sedang menyambung benang layangannya yang putus.

“Hei, Bubang! Kamu mau kemana dengan uang sebanyak itu?” Mino kaget melihat lipatan uang yang tebal di tangan Bubang.

“Aku mau beli layangan yang paling bagus.”

“Layangan naga? Itu sangat mahal, Bubang,” kata Mino terkejut.

“Tenang. Isi celenganku masih banyak, kok.”

“Ya ampun, celengan itu kan untuk biaya tamasya bersama teman-teman bulan depan,” imbuh Mino.

“Yang penting aku bahagia, Mino,” sahut Bubang.

“Tidak perlu mainan mahal agar kita bahagia, Bubang. Yang paling penting, kita bisa bermain bersama teman kita.”

Bubang tidak mendengarkan perkataan Mino. Ia malah berlari kembali menuju pasar.

Lega sekali perasaan Bubang, layangan naga itu masih ada. Ia pun membelinya dan membawanya ke lapangan untuk diterbangkan bersama layangan teman-temannya. Wow, layangan Bubang menjadi layangan yang paling bagus.

Namun Bubang belum puas. Ia mencungkil kembali celengan bambunya untuk membeli lampu kerlap-kerlip. Dan hasilnya, hanya layangannya yang bersinar terang di malam hari. Sangat indah sekali. Bubang semakin merasa bahagia.

Mendengar kabar ada lampu kerlap-kerlip edisi terbaru, Bubang selalu paling cepat mendatangi toko Pak Naka. Selalu dengan membawa uang hasil mencungkil dari celengan bambunya. Ia juga sering membeli cat untuk menggonta-ganti warna layangannya.

Tidak terasa hari tamasya pun tiba. Mino dan teman-temannya sudah bersorak gembira di dalam bus. Tapi ada satu kursi yang kosong. Oo, itu kursi Bubang. Kemana dia?

Mino pun turun dan segera pergi ke rumah Bubang. Ia melihat Bubang sedang menangis di depan celengan bambunya yang terbelah dua.

“Ada apa Bubang?” tanya Mino bingung.

“Aku tidak bisa ikut berlibur. Uang celenganku habis.” Bubang menangis semakin kencang. Uang di celengannya hanya tersisa tiga lembar.

“Aku tidak mau bermain layangan itu lagi,” imbuhnya.

Bubang menangis hingga hidungnya meler. Mino mengelus-elus pundak Bubang.

“Jangan menangis, Bubang. Kamu masih bisa ikut tamasya,” ucap Mino.

Tangisan Bubang berhenti.

“Kita bisa menawarkan lampu kerlap-kerlipmu kepada Bu Riri, pemilik toko besar di seberang jalan sana. Kulihat lampu kerlap-kerlipnya sudah banyak yang mati. Dia pasti akan membelinya,” terang Mino.

“Tapi tidak mungkin kita menjualnya kepada Bu Riri sekarang,” jawab Bubang.

“Tenang, kamu boleh meminjam uang celenganku dulu, Bubang. Lampunya kita jual sepulang tamasya,” kata Mino.

“Benarkah?”

Mino mengangguk. Bubang pun langsung memeluknya.

“Terima kasih, Mino. Kau teman yang baik.”

Akhirnya Bubang pun bertamasya bersama teman-temannya. Ia begitu bahagia.

***

Sumber gambar: Pixabay

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar