Matahari perlahan tenggelam. Malam itu langit kehilangan pesona, tanpa sinar bulan dan bintang. Akan tetapi, halaman sekolah terlihat luar biasa oleh kerlap lampu minyak yang digantung di tenda-tenda warna-warni.
Sabtu itu sekolah Lala mengadakan Persami (Perkemahan Sabtu Minggu).
“Brrr, dinginnya!”
Lala mengatupkan jaketnya rapat-rapat saat keluar dari tenda. Ternyata bukan hanya dia yang kedinginan. Mita dan beberapa temannya tampak duduk mengelilingi api unggun yang hampir padam.
Suara peluit yang melengking, membubarkan mereka. Anak-anak segera berkumpul dan berbaris. Tidak berselang lama Kakak Pembina maju, berdiri di depan barisan dan memberikan arahan tentang jelajah malam.
“Mit, kenapa gak bangunin aku? Aku juga ingin ikut menghangatkan tubuh di dekat api unggun,” bisik Lala.
Mita tidak menjawab karena khawatir dilihat kakak kelas. Dia berdiri tegak, dengan tangan menyilang di belakang pinggang. Setelah pemberian arahan, setiap regu membentuk lingkaran untuk diskusi sebelum berangkat.
Rute jelajah malam adalah hutan belakang sekolah. Mita bingung karena tidak ada yang mau berjalan di barisan belakang. Lala yang sedari tadi diam saja mengajukan diri berjalan di barisan belakang.
“La, kamu enggak apa-apa jalan paling belakang?” tanya Mita ragu.
“Memangnya kenapa?” Lala bertanya balik.
Mita agak merinding mengatakannya. “Ada hantu,” ucapnya pelan. “Penunggu hutan di belakang sekolah kita. Hantu itu seringnya mengganggu anak di barisan paling belakang.”
Lala mengangguk. Kemudian, dia menatap anggota regunya dan berkata, “Tenang saja. Aku tidak takut. Kan, ada kalian.”
Hutan tampak sunyi dan gelap. Angin malam bertiup agak kencang. Daun-daun akasia berbunyi saling bergesekan. Serangga malam saling sahut menyahut, mengerik memecah kesunyian.
Satu per satu regu mulai diberangkatkan. Regu Lala menjadi grup terakhir. Lala berjalan paling belakang sambil menyorotkan sinar senter dan mengamati sekeliling hutan yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan semak-semak.
“Berhenti sebentar!” Tiba-tiba Lala menjatuhkan senter. Dia lalu merasakan ada yang memegang tangannya. Dingin.
“Ada apa, La?” tanya Mita.
Perlahan, Lala menoleh ke belakang saat mengambil senter yang jatuh. Dia lalu menyorotkan cahaya senter. Kosong.
Saat berdiri, dia merasakan sesuatu yang basah melekat di punggung tangannya. Ternyata, lumut. Sepertinya seseorang sengaja menempelkannya.
“Tidak apa-apa. Ayo, jalan lagi!” sahut Lala sambil menyingkirkan lumut dari tangannya. Dia tidak ingin teman-temanya khawatir.
Pos satu berhasil dilewati tanpa hambatan. Mita dan regunya lanjut melangkah dengan hati-hati menuju pos kedua. Jalan setapak yang mereka lewati licin.
Saat di pos kedua, Lala kembali merasakan hal aneh. Saat berbaris, tiba-tiba dia merasakan angin dingin melewati tengkuknya. Dingin sekali, hingga bulu kuduknya berdiri. Namun, dia berusaha menahan suaranya. dia tidak ingin teman-teman satu regunya panik.
Setelah menyelesaikan tugas di pos dua, Lala dan regunya melanjutkan berjalan ke pos terakhir. Di tengah perjalanan Mita berhenti mendadak, membuat semuanya panik dan bertanya-tanya.
“Ada apa, Mit?” Lala berteriak dari belakang.
Mita mengajak anggota regunya membuat lingkaran. Dia lalu berbisik kepada angota-anggotanya. “Apa kalian lihat sosok putih di balik-balik pohon?”
Lala menoleh ke belakang, lalu secepatnya membetulkan ke posisi semula. “Iya, aku lihat.”
“Apa itu hantu yang diceritakan kakak kelas?” tanya Ami, salah seorang anggota di regu.
“Aku tidak tahu,” jawab Mita. “Tapi, yang pasti itu bukan hantu. Kalian jangan takut. Sekarang, kita jalan lagi dan terus tatap ke depan.”
“Bagaimana kamu tahu?” tanya Riza.
“Karena hantu tidak jejak,” jawab Mita yakin.
“Mereka pasti kakak kelas yang menakuti.” Lala menambahi.
Sesuai kesepakatan, mereka tidak terganggu dengan sosok-sosok yang melintas cepat, melompat-lompat, atau mengesot. Mereka juga tidak terganggu dengan suara-suara aneh yang terdengar menyeramkan.
Akhirnya, mereka sampai di pos terakhir, yaitu halaman sekolah. Lala dan teman-temannya telah berhasil menyelesaikan rute penjelajahan. Mereka pun kembali ke tenda untuk beristirahat.
“Kamu belum tidur, La?” tanya Mita.
“Belum.” Lala membalik badan. Posisi mereka kini saling berhadapan.
“Tadi seru, ya!”
“Ternyata hantunya kakak kelas.” Mita menahan tawanya.
“Banget. Bahkan, ada yang nempelin lumut di tanganku sebelum kita sampai di pos satu. Kakak kelas pura-pura tarik tanganku juga buat menakuti kita.” Lala terkekeh mengingatnya.
Mimi menatap Lala. “Serius, La? Setahuku, Kakak kelas baru muncul setelah pos dua.”
Tawa Lala terhenti. Dia terkejut dengan respon Mimi. Dia teringat di pos dua, ada yang meniup tengkuknya.
“Kamu merasa ada yang niup leher di pos dua, gak?” tanya Lala.
Mimi menggeleng. Jangan-jangan ….
Lala menarik selimutnya, lalu menutup matanya kuat-kuat. (*)
Cibinong, 1 Maret 2024