Jembatan Pembeda Zaman

Ardi masih terengah-engah menaiki tangga berbatu di wilayah Baduy Luar. Ingin rasanya berteriak minta berhenti tetapi anak laki-laki kelas 4 sekolah dasar itu merasa malu. Dia tidak ingin lagi dianggap bermental strawberry seperti yang pamannya katakan tadi pagi ketika masih di rumah. Untuk membuktikan dirinya kuat, Ardi menerima tantangan sang paman masuk ke wilayah Baduy Luar bahkan Baduy Dalam. Tentu saja dengan iming-iming hadiah berupa makan durian sepuasnya di area suku Baduy jika Ardi tidak mengeluh atau merengek sedikitpun. Jika satu kali saja mengeluh apalagi merengek, maka hadiahnya hangus.

Rombongan kecil yang terdiri dari Ayah, Paman dan tentu saja Ardi terus menaiki tangga demi tangga secara perlahan. Ayah dan Paman memakai ikat kepala berwarna biru khas Baduy Luar yang dibeli di area gerbang masuk suku Baduy. Mereka pun membawa ransel yang cukup berat sebagai perbekalan selama perjalanan. Ardi membawa ransel yang tidak begitu berat, isinya hp, power bank dan air minum.

Bersama mereka ada satu orang suku Baduy yang bertugas mengiringi perjalanan. Dia tidak memakai alas kaki, bajunya hitam, ikat kepalanya biru seperti yang Ayah dan Paman kenakan. Namanya Sarmin, Ayah memanggilnya Aa Sarmin. Dalam bahasa Sunda, Aa itu berarti kakak laki-laki.  Katanya Aa Sarmin ini dari suku Baduy Luar, dilihat dari ikat kepalanya. Kalau orang Baduy Dalam, ikat kepalanya berwarna putih, bajunya pun putih.

Suku Baduy Luar boleh memakai listrik, daerahnya boleh difoto atau divideo, boleh juiga memakai alas kaki. Tetapi Aa Sarmin memilih tidak menggunakan alas kaki, entah kenapa. Mungkin karena sudah terbiasa. Ardi melihat telapak kaki Aa Sarmin sangat tebal, sepertinya menginjak batu kecil atau besar sudah tidak terasa sakit.

Berbeda dengan Baduy Dalam yang masih memegang teguh adat pelestarian lingkungannya. Di sana tidak boleh ada listrik, mandi tidak boleh menggunakan sabun, begitupun sampo dan pasta gigi. Tidak boleh ada hp apalagi mengambil foto dan video. Tidak boleh menggunakan alas kaki. Tidak boleh ada semen sehingga rumah dibuat dari kayu, rotan, dan beratap sirap. Betul-betul bagaikan di zaman dahulu. Katanya, sungai-sungai di Baduy Dalam sangat jernih, minumnya langsung dari sumber mata air yang dialirkan lewat bambu.

Ardi tidak bisa membayangkan bagaimana hidup seolah di zaman dulu. Tidak ada listrik yang berarti kalau maghrib datang, suasana langsung gelap. Bagaimana kalau mau main game? Ardi geleng-geleng kepala, rasanya dia tidak bisa hidup seperti itu.

Tiba-tiba muncul rombongan anak-anak dan remaja laki-laki menaiki tangga dengan cepatnya sambil memanggul buah durian dengan sangat banyak. Buah-buah durian itu diikat di sisi-sisi kayu yang dipanggul, depan dan belakang. Ardi teringat tukang kerupuk keliling yang menjajakan kerupuknya dengan cara seperti itul. Pada tukang kerupuk saja, dia sudah kagum melihat kekuatannya memanggul kerupuk. Karena Ardi tahu, dia tidak bisa memanggul seperti itu. Dia kan masih kecil. Tetapi sekarang, dia melihat anak-anak sebayanya memanggul durian depan belakang sambil bertelanjang dada. Nampak dada-dada mereka berotot, begitu juga betisnya. Mereka tidak memakai sandal atau sepatu dan mereka menaiki tangga dengan sangat cepatnya.

Ardi melongo melihat itu semua. Kuat sekali mereka. Paman berdecak kagum sambil berkomentar, “Waw, ini sih namanya latihan beban alami. Tidak usah ke gym pun badan sudah berotot.”

Ayah ikut berkomentar, “Ardi, kamu bisa tidak membawa durian-durian itu? Nanti kita yang makan.”

Rombongan kecil itu tertawa-tawa kecuali Ardi. Anak itu melengos tidak suka diperbandingkan. Tetapi dia mengakui kalau mereka betul-betul kuat. Setiap hari mungkin mereka mengangkat beban yang berat-berat. Sedangkan dia hanya bermain game di hpnya sehabis pulang sekolah.

Setelah menapaki jalanan bertangga, jalanan menjadi landai. Ada yang sudah dipasangi batu alam, ada pula yang polos. Jikalau hujan akan terasa licin. Mereka terus berjalan, rasanya seperti zaman tempo dulu, pemandangan alamnya sangat indah, dikelilingi pepohonan dan hutan. Tidak ada tempat duduk-duduk di pinggir jalan untuk melepas lelah.

Tibalah mereka di kampung yang lain, katanya sudah dekat dengan Baduy Dalam. Ardi terus mengukur lamanya mereka berjalan, ternyata sudah berjam-jam lamanya. Nampak rumah-rumah banyak yang menjajakan durian. Wanginya sudah terasa ketika memasuki kampung. Ardi ingin mencolek pamannya, menanyakan kapan waktu makan durian. Tetapi dia takut disangka mengeluh, karenanya niat bertanya ia urungkan.

Rupanya Ayahpun sudah mulai kelelahan, Ayah mengaso dulu di rumah yang menjajakan dawegan (kelapa muda yang diambil airnya). Mereka minum dawegan hingga puas. Tak jauh dari sana nampak sungai yang sangat jernih, di tengah-tengah sungai banyak bebatuan besar yang dapat diduduki. Sepertinya segar sekali apabila mandi di sungai itu.

Di atas sungai tergantung jembatan bambu yang menghubungi dengan kampung di depannya. Itulah Baduy Dalam. Jembatan bambu ini merupakan pintu masuk menuju Baduy Dalam. Di sanalah dimulai petualangan kembali ke zaman abad-abad yang lampau, tidak ada listrik, kemajuan zaman atau teknologi. Semuanya dilarang di Baduy Dalam. Ardi memandangi jembatan itu. Itulah jembatan pembeda zaman, begitu yang ada di pikirannya. Dia berdecak kagum pada orang-orang yang hingga kini hidup di sana.

Paman membuyarkan lamunan Ardi, “Halo, Juara!” serunya sambil menepuk pundak keponakannya itu. “Hebat sekali akhirnya bisa sampai ke sini. Ayo, mau makan durian tidak?”

Ardi langsung melupakan lamunannya tentang kehidupan tempo dulu. Durian yang dijanjikan telah mengembalikannya ke zaman kini.

“Ayo, Paman. Ardi siap makan banyak,” katanya sambil mengelus-elus perutnya.

Ayah telah membeli empat buah durian, semua dibuka untuk dinikmati bersama. Hmmmm, rasanya lezat dan manis.

“Durian-durian ini mungkin saja yang dibawa anak-anak tadi, kita kebagian enaknya saja, tinggal makan,” kata Ayah mengingatkan.

“Bagaimana Ardi, apakah mau diteruskan sampai ke Baduy Dalam dan kita menginap semalam di sana atau mau langsung pulang?” tanya Ayah lagi.

Ardi membelalakkan matanya. Menginap satu malam? Berarti dia akan merasakan malam gelap gulita tanpa listrik dan juga kehidupan di masa tempo dulu. Sepertinya seru.

“Boleh Yah, Ardi mau,” jawabnya mantap.

Ayah dan Paman terlihat senang, mereka pun melanjutkan menikmati durian. Ardi menoleh pada jembatan pembeda zaman itu, sebentar lagi dia akan melewatinya.

“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Jembatan Pembeda Zaman”

Tinggalkan komentar