Kabar Baik Untuk Tina

https//bit.ly/KabarBaikUntukTina

“Makanannya sudah siap bu?”

“Sudah, ini tolong bawa ke Bapak ya.”

aku berjalan meninggalkan rumah dengan membawa rantang yang berisikan makan siang untuk Bapak, sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk mengantarkan makan siang jika Bapak sedang bekerja di sawah. 

perjalanan dari rumah ke sawah menempuh waktu sekitar 10 menit dengan berjalan kaki, di jalan aku mendapati daun pisang yang cukup lebar tergeletak dan tanpa berpikir panjang aku langsung mengambilnya, ku pegang dengan tangan kiriku yang kosong dan kujadikan daun pisang sebagai payung karena terik matahari yang cukup tajam siang ini.

ku dapati juga segerombolan anak sekolah dasar yang baru saja pulang dari sekolahnya, mereka mengenakan seragam putih dengan celana dan topi merah, aku berhenti sejenak dan memperhatikan mereka yang tengah berjalan dengan saling bercanda satu sama lain.

“kapan ya Tina bisa sekolah lagi?”

setelah puas menikmati pemandangan anak-anak yang pulang sekolah kini aku melanjutkan kembali perjalananku menuju sawah, “pasti Bapak udah nungguin.”

dari kejauhan kini kudapati Bapak yang sedang duduk di saung bersama kawan-kawannya, lantas aku mempercepat langkahku.

“pak.”

“eh ada neng Tina, dari mana aja? Itu Bapaknya udah nungguin loh.”

“hehe telat ya? Ini makan siang dari Ibu.” Sembari membuka satu per satu rantang.

setelahnya kami menghabiskan makan siang bersama, teman-teman Bapak juga membawa bekal dari rumah, ada yang membawa ubi, singkong, jagung, dan juga telur ceplok. Sedangkan makan siang yang Ibu siapkan itu ada nasi, sayur bayam, tahu goreng, dan tak ketinggalan juga sambalnya.

“lusa panen pak?” Ucapku sembari menyuap nasi.

“iya na, alhamdulillah padi nya udah bagus dan layak panen.”

“neng Tina mau bantuin?”

“ya enggak bisa.” Jawabku cengengesan, “Tina bantu bawain makan siang Bapak-bapak aja yaa.”

kami menghabiskan makan siang dan Bapak juga teman-temannya sempat melemparkan banyak candaan, ada yang lucu tapi ada juga yang menurutku tak lucu.

setelah selesai makan dan membereskan kembali saungnya kini aku dan Bapak berpamitan pada yang lainnya untuk pulang lebih dulu, karena terik matahari yang masih saja tajam pada akhirnya Bapak memberikan topinya kepadaku.

“Bapak gimana?”

“gausah, nanti kalau sampe rumah muka kamu jadi merah ya Bapak juga yang kena marah Ibu.” Jawabnya dengan kekehan.

aku mengangguk mendengar jawaban Bapak, sekarang aku dan Bapak berjalan bergandengan menuju rumah.

***

“serius bu?”

“serius” Jawabnya, “Ibu juga sudah bicarain sama pak guru, katanya kamu bisa lanjut di kelas empat.”

Aku melompat saking girangnya, “tapi-“ Ucapanku terjeda, “Bapak ada uang dari mana bu?” Aku bertanya dengan wajah sedikit gusar.

Ibu tersenyum dan membalas, “alhamdulillah ada rezekinya neng dan halal juga.”

Aku mengangguk bersamaan dengan senyumanku yang kembali terlukis, “makasih Ibuu.” Di susul pelukan yang erat.

Hari ini Bapak bersama petani lainnya tengah berada di sawah untuk memanen padi, sawah yang di panen hari ini cukup luas dan Bapak diberi amanat oleh sang pemilik sawah untuk memberi arahan bagi petani lainnya karena sang pemilik sawah sedang ada urusan di kota.

Ibu memintaku untuk mengantarkan jagung rebus sebagai cemilan sore untuk Bapak, aku pun berjalan menuju sawah sembari bersenandung di sepanjang jalan.

“Bapak!”

Kulihat Bapak sedang duduk di pinggir sawah sambil mengipaskan topi ke wajahnya. Aku berjalan dengan langkah yang lebih cepat dan berjongkok di samping Bapak, tak lupa juga kuberikan wadah makan yang berisi jagung rebus pada Bapak.

“alhamdulillah ada jagung rebus, makasih neng.”

Bapak mencuci tangannya dengan air bersih dan memakan jagung yang kubawa dengan lahap.

“manis pak?”

“manis, gak makan neng?”

“sudah di rumah pak.”

Aku menatap wajah Bapak dengan senyum penuh arti, bisa kulihat wajah Bapak yang cukup kebingungan karena terus-terusan aku tatap.

“sudah beres ya pak? Sudah sepi.” Tanyaku sambil celingukan.

“alhamdulillah sudah, Bapak makan satu lagi baru kita pulang ya.” Ucapnya.

Setelah Bapak menghabiskan semua jagungnya kini kami beranjak dan berjalan beriringan menuju rumah, suasana sore di pedesaan terasa sangat menenangkan, selain bisa melihat hamparan pegunungan dari kejauhan, berbagai macam suara kicauan burung pun mulai terdengar dari segala arah.

Kami tiba di rumah pada pukul empat sore, setelah beristirahat sebentar aku beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah selesai bebersih kini aku sedang menemani Ibu menjahit seragam sekolahku, ada beberapa bagian yang sudah sobek tetapi masih bisa di perbaiki. Ini seragam lama dan warna putihnya sudah sedikit menguning tetapi tak apa, yang terpenting adalah aku bisa kembali bersekolah.

***

“neng.”

Aku menoleh ke arah suara, “iya, kenapa pak?”

Bapak mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya, “ini ada hadiah.”

Aku langsung meninggalkan cucian piring yang belum beres dan berjalan ke arah Bapak, mataku gelagapan dan kedua tangan yang sudah ku keringkan meraih bungkusan yang Bapak sodorkan.

Bungkusan ini berisi selusin buku, tiga buah pensil, dan satu penghapus, “i-ini seriusan pak?” Aku bergantian menatap Bapak dan bungkusan yang ada di tanganku, “makasih pak …” Ucapku sambil memeluknya.

“ini bukan dari Bapak neng.” Celetuk Bapak.

Aku menengadahkan wajahku, “terus? Dari siapa pak?” Tanyaku heran.

Bapak melepaskan pelukannya dan menggandengku keluar dari rumah, aku tak bertanya apapun, dari jalannya tentu saja aku kenal, ini jalan menuju ke sawah.

“itu ada apa pak? Kenapa rame-rame di saung?”

“lagi ada kunjungan kampus neng.”

Aku mengangguk saja, tak tahu juga hubungannya dengan tujuan kami berjalan ke area sawah.

“itu siapa neng?” Bapak bertanya sembari menunjuk ke arah kerumunan.

Aku celingukan, “yang mana pak? Itu banyak orangnya.”

“yang pakai topi hitam neng.”

Aku berjinjit untuk meninggikan pandanganku, “ohh itu, hmm … agak mirip Abang yang pak?”

“mirip ya? Mirip banget ya neng?”

Aku menoleh ke arah Bapak sambil menautkan kedua alisku, “iya … mirip …”

Tak berselang lama aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat, “gak kangen?”

Aku berbalik dan mendapati seorang pria yang mengenakan topi hitam, “eh? Ini … beneran Abang?” Aku menatap Bapak meminta penjelasan, “yang ngasih buku juga Abang?” Pria di hadapanku mengangguk, “iih Abang pulang? Mau apa bang?” Masih dengan wajah bingung.

“loh kok? Maaf deh selama ini Abang enggak pulang, tapi Abang berusaha kuliah sambil ngenalin beras dari desa kita na, alhamdulillah mulai banyak yang minta kerja sama loh.”

Entah mengapa air mataku malah turun membasahi kedua pipi, aku memeluk bang Tama sambil menangis sesenggukan.

-Tamat-

“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”https://bit.ly/KabarBaikUntukTinahttps://bit.ly/KabarBaikUntukTina

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar