Ali membaca secarik koran bekas pembungkus cabai yang dibeli ibunya. Atlet Caeleb Dressel Memenangkan Tiga Medali Emas dalam Semalam di Kejuaraan Renang Dunia, begitu judul beritanya. Melihat foto di koran itu, angan-angan Ali melayang jauh ke Budapest, tempat perlombaan itu berlangsung. Ia membayangkan dirinyalah yang sedang berdiri di atas panggung dan menerima ketiga medali itu. Ali jadi senyum-senyum sendiri, asik melanglang buana dalam khayalnya. Meskipun kenyataannya, raganya masih tetap ada di sana, di Desa Darawa.
Berenang adalah kegiatan sehari-hari Ali. Sepulang sekolah ia terjun ke laut untuk bermain sambil menangkap gurita di sela-sela batuan karang. Berburu gurita dengan tangan kosong adalah keahliannya. Ali tak pernah belajar berenang secara khusus. Sambil bermain di laut, teman-temannya yang lebih besar mengajari Ali cara mengapung dan menyelam. Mereka menjadikan ban dalam mobil bekas sebagai pelampung. Sejak kecil, anak-anak Darawa memang sudah bersahabat dengan laut.
Sore itu Ali datang ke tempat Kak Udin, tukang pangkas termasyhur di desanya.
“Tolonglah, Kak, buat rambut saya jadi seperti rambut Kak Dressel ini.” Ali memperlihatkan secarik koran sambil mengelus rambut keriwilnya.
“Kak Dressel? Macam kenal dekat saja.” Kak Udin menggeleng-geleng. Akan tetapi Ali tidak peduli apa kata orang. Ia ingin model rambut seperti Dressel yang dikaguminya.
Keterampilan Kak Udin sungguh tak diragukan lagi. Ali pulang dengan rambut cepaknya, melangkah dengan penuh percaya diri.
“Masya Allah. Ada angin apa kamu potong rambut, Li? Dari dulu Ibu suruh potong cepak, tak pernah kamu mau.”
“Ini model keren sekarang, Bu.”
“Model itu tak ada habisnya, Li.” Ibu pun pasrah.
*
Jam istirahat sekolah, Ali masih asyik memandangi foto Kak Dressel. Pak Israjudin, wali kelasnya, melihat anak itu sedang termenung.
“Tampaknya ada yang istimewa di koran itu, Li.” Pak Isra mendekati Ali.
“Iya, Pak. Kak Dressel ini orang yang paling hebat berenang sedunia.” Ali menunjuk foto atlet itu.
“Kalau giat berlatih, Insya Allah kamu pun bisa, Li.”
“Ah, mana mungkin? Masuk kolam renang saja saya belum pernah, Pak.” Bahu Ali melorot.
“Tapi kita punya kolam renang terbesar di dunia, Li. Laut namanya.”
Ali tersenyum lebar mendengar jawaban Pak Isra. Semangatnya mulai membuncah.
“Bapak dengar bulan depan ada pertandingan renang antar SMP di Wangi-wangi. Pemenangnya akan mewakili Kabupaten Wakatobi untuk bertanding di Kendari. Kamu mau ikut?”
“Mau, Pak! Tapi … Wangi-wangi itu jauh sekali, biayanya juga mahal. Belum lagi, saya tak punya celana renang.” Niat Ali mulai kendur. Ia sadar ayahnya adalah seorang petani rumput laut. Penghasilannya hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari dan membiayai sekolahnya.
“Masih ada waktu satu bulan untuk mengumpulkan uang. Kalau mau, nanti Bapak antar ke sana.”
*
Seperti biasa, sepulang sekolah Ali pergi ke laut. Ia berniat menangkap gurita lebih banyak dari biasanya. Sebagian dibawa pulang untuk Ibu dan sebagian lagi dijual kepada penadah. Ali harus mengumpulkan uang untuk membeli celana renang dan karcis kapal ke Wangi-wangi. Ia juga berlatih berenang lebih serius, sebagai persiapan untuk mengikuti lomba di ibu kota kabupaten.
Rutinitas itu dilakukan Ali hampir setiap hari. Kadang-kadang Pak Israjudin juga datang untuk menyemangatinya. Dua pekan pun berlalu. Ali sudah punya sedikit tabungan untuk membeli celana renang.
Ali pergi ke Toko Haji Zainudin, tempat menjual perlengkapan olahraga.
“Pak Haji, saya mau beli celana renang seperti ini.” Ali menunjukkan foto Dressel di koran lusuhnya.
“Kamu seperti pelancong saja, Li, ke laut saja pakai celana renang.”
“Saya mau ikut lomba di Wangi-wangi, Pak Haji.”
“Wah, kalau begitu kamu cukup bayar setengahnya saja. Mudah-mudahan nama desa kita jadi harum karena kemenanganmu.”
Mata Ali berbinar-binar mendapat potongan harga dari Pak Haji Zainudin. Senyumnya lebar hingga giginya terlihat.
“Terima kasih, Pak Haji! Doakan saya,” ujarnya antusias.
*
Hari pertandingan pun tiba. Ali berangkat ke Wangi-wangi bersama Pak Israjudin. Sebetulnya tabungan Ali masih kurang untuk membayar karcis kapal, tapi Pak Israjudin menggenapkannya.
Peluit tanda mulainya pertandingan sudah dibunyikan. Ali meluncur ke air bagai seekor lumba-lumba yang bergerak lincah. Ia berjuang sekuat tenaga mencapai ujung kolam. Kecepatan renangnya hanya terpaut tiga detik dengan sang juara bertahan. Tak disangka Ali bisa mengantongi medali perak. Anak itu senangnya bukan kepalang. Mungkin ia lebih bahagia dari pada Dressel saat mendapat medali emas. Seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
Saat perjalanan pulang, Ali terus memandangi medali peraknya di bangku kapal.
“Tak apa, Li. Tahun depan kita coba lagi. Mudah-mudahan kamu bisa ikut lomba ke Kendari,” hibur Pak Israjudin. Ali hanya tersenyum memandang gurunya itu.
“Hari ini saya sudah memutuskan cita-cita saya, Pak,” ujar Ali serius.
“Kamu pasti ingin jadi juara dunia seperti Kak Dressel idolamu itu, kan?”
“Tidak. Saya ingin jadi guru seperti Bapak. Saya ingin mengantar anak-anak Darawa menggapai mimpi-mimpi mereka.”
“Eh …?” Pak Israjudin tercengang.
***